BILA BAHAGIA ITU DIJUAL

Sefiti
Chapter #4

SEBUAH PEMBALASAN?

"Terus?"

"Udah, nggak usah bawel," responsnya membuat Diandra kesal. "Kalian satu kelas?" tanyanya kemudian.

Ayu mengangguk, sedangkan Diandra acuh tak acuh menanggapinya.

Kedua lensanya menyoroti penampilan Ayu dari atas sampai bawah. Penampilannya menjadi satu ciri khas. Berkuncir kuda dan berkacamata bulat.

"Kalau boleh saya tahu, apa kamu termasuk murid berprestasi di kelas?" Dia bukan bertanya. Akan tetapi ingin memastikan tebakannya.

Lagi-lagi Ayu mengangguk. "Saya peringkat pertama di kelas Bu." Bukan berniat untuk sombong. Ayu hanya ingin memperjelas.

"Kalau kamu?" tanyanya pada Diandra. Siswi yang agak menambahkan polesan di wajahnya. Sedikit bermaskara, berbedak tipis, dan bibirnya dihiasi liptint berwarna pink orange.

"Itu guru baru ngapain sih? Cari gara-gara aja." Siska yang ikut menyaksikannya mulai muak melihat perilaku Bu Anna. "Baru juga hari pertama ngajar di sini udah berulah. Nggak jauh dia sama si Nona."

"Mereka adik-kakak kali Sis," celetuk temannya.

Siska tersenyum miring. "Cocok sih. Sama-sama pembangkang dan sok paling bener."

Diandra belum menjawab. Dia terlihat meneguk ludahnya.

"Kenapa sekarang diem aja? Dari tadi kamu nyerocos terus tuh." Sindiran Bu Anna membuatnya menggigit bibir. "Ohhh, apa jangan-jangan, kamu murid istimewa yang nggak punya prestasi?" Dia tak lupa untuk menaikkan volume suaranya. Benar-benar menarik keributan.

Sontak Diandra memberi pelototan. Dia tidak terima dikomentari seperti itu.

"Jangan sok tahu!" Matanya menatap Bu Anna dengan tajam. Apa guru pengganti itu berniat mempermalukannya di sini?

"Ya kalau saya nggak boleh sok tahu, kasih tahu dong."

Diandra terdiam. Dia tidak ingin memberitahunya.

"Oke kalau kamu nggak mau ngasih tahu. Saya bisa cari jawabannya sendiri." Bu Anna mengeluarkan ponsel dari saku bajunya, dan membuka data seluruh murid di situs web SMA Berlian yang hanya bisa diakses oleh para guru bersangkutan.

Setelah beberapa menit, ia terlihat menarik salah satu sudut bibirnya ke atas, lalu melirik Diandra dengan tatapan sarkastis. Menahan tawa.

"Kamu ... peringkat terakhir di kelas?" Dirinya tak kuasa menahan tawa. Sangat lucu.

Murid-murid yang lainnya pun terlihat menertawakan fakta itu. Kebanyakan dari mereka adalah murid biasa yang sangat membenci para murid istimewa.

Diandra terlihat mendengus sebal. Ia menggigit bibirnya semakin kuat karena tak terima dipermalukan seperti ini. Sebenarnya, selama menjadi murid istimewa, dia selalu meminta wali kelasnya untuk memanipulasi nilai rapor, agar orangtuanya tidak curiga tentang keterampilannya di sekolah. Tapi, sepertinya dia tak bisa bersembunyi dari nilai-nilainya yang asli.

"Jangan cuma penampilan yang dipoles. Isi otak sama etika kamu harusnya juga ikut dipoles—"

"Cukup ya Bu! Ibu mau malu-maluin saya?!" Wajahnya memerah. Diandra sangat marah. Rasanya ingin menangis sejadi-jadinya.

"Kamu nggak terima?"

"Ya jelas nggak lah! Pake nanya, lagi."

Tanpa memedulikan ucapan dari siswi cerewet di hadapannya, Bu Anna menoleh kepada Ayu. "Ayu, apa kamu terima di-bully sama dia?"

Ayu menggeleng lemah dengan bibir terlipat.

Diandra mendelik. Dia benar-benar muak. "Ibu mau, saya aduin ke papa saya?!"

"Silakan. Saya nggak akan takut, karena saya nggak salah. Justru kamu yang harusnya takut. Saya bisa kok laporin kamu ke polisi atas kasus perundungan dan juga mengganggu kenyamanan orang lain."

Diandra semakin dibuat geram.

"Minta maaf ke Ayu. Cepetan."

Decihan keluar begitu kasar dari mulutnya. "Apa? Saya? Minta maaf ke dia?" Tunjuknya pada gadis berkuncir di sebelah kirinya. "Ogah!"

Bu Anna mulai lelah menghadapi remaja labil seperti Diandra. Sangat menguras emosi dan tenaganya.

"Minta maaf, atau saya telepon polisi sekarang!"

Diandra tertawa merendahkan. "Telepon aja. Papa saya mampu kok, datengin pengacara-pengacara terbaik buat saya."

Ini anak bikin emosi aja.

"Ayu, tadi saya lihat di data murid, kalau papa kamu seorang anggota ¹TKN. Itu bener kan?” ¹Tentara Keamanan Nasional;

Ayu yang kaget dengan pernyataan itu, langsung mengangguk membenarkan. Hal itu pun membuat teman-temannya syok, karena tidak ada yang tahu tentang latar belakangnya. Terutama Diandra. Bola matanya seperti akan keluar saat mengetahuinya. Tak hanya itu, ia kembali menelan salivanya dalam-dalam. Dan sepertinya, mulai hari ini Ayu akan disegani oleh mereka yang terkadang juga merundungnya di sekolah.

"Kok kamu diem aja di-bully sama Diandra? Kamu nggak aduin itu ke papa kamu?"

Ayu mengatur napas terlebih dulu. "Papa saya ngajarin saya buat nggak membesar-besarkan masalah Bu. Selama belum terlalu merugikan."

Bu Anna tertegun. "Bagus banget jawabannya. Nggak kekanakan," sindirnya pada Diandra yang sekarang tampak mati kutu. "Kamu nggak daftarin diri jadi murid istimewa?"

"Saya nggak butuh itu Bu. Lagian, nggak ada gunanya juga."

Dia sangat menyukai pola pikirnya.

"Diandra, kamu beneran nggak mau minta maaf?"

Bukannya menjawab, Diandra malah menggesek-gesekkan bawah sepatunya pada permukaan lapangan. Dirinya benar-benar malu dan takut.

"Kok lo nggak bilang sih, kalau bokap lo itu tentara?" tanyanya pada Ayu. Nada bicaranya mulai berubah. Lebih pelan dan rendah dari biasanya.

"Kamu nggak pernah tanya."

Diandra menggigit bibirnya. Apa sekarang dirinya harus merendahkan diri juga?

Mau dikemanain muka gue?

"Gue—"

"BU ANNA!" Teriakan menggelegar dari luar lapangan mengambil alih keadaan. Si pemilik suara berkacak pinggang dan terlihat menggeleng-geleng kepala. Bisa-bisa, dirinya yang akan dirundung masalah karena ulah guru pengganti itu.

Akhirnya... yang ditunggu-tunggu.

Semua pasang mata beralih menuju sosok Pak Dani, saat suaranya berhasil memecah suasana di sekitarnya.

"DATANG KE RUANGAN SAYA! SEKARANG!" perintahnya, kemudian berbalik dan berjalan menuju ruangannya dengan rasa kecewa dan amarah yang menyatu. "KALIAN SEMUA, BUBAR! AYO MASUK KE KELAS!"

Melihat Pak Dani mengamuk, semua murid pun segera meninggalkan TKP dan berlarian memasuki kelas masing-masing.

Bu Anna tak terlihat takut sama sekali. Ia tampak biasa saja menanggapi sang kepala sekolah yang sekarang mirip seperti banteng mengamuk itu.

"Kalian boleh pergi ke kelas," suruhnya pada Diandra dan Ayu yang masih setia terpaku di tempatnya. Sekarang, dia tak membutuhkan peran dua siswi itu lagi.

"Iya Bu," jawab Ayu dengan suara pelannya.

"Kamu sudah tahu harus ngelakuin apa kan, Diandra?" Itu perkataannya sebelum meninggalkan mereka berdua, dan melangkahkan kaki menuju kandang banteng yang sedang mengamuk.

Diandara merapatkan bibirnya. Dia tak memberi respons apa pun. Dirinya seperti berada di ambang kematian. Matanya melirik Ayu dengan segan. "Sorry," katanya lalu berlari ke arah toilet. Dia ingin menenggelamkan wajahnya ke wastafel air.

Ayu terlihat melebarkan kelopak matanya karena perkataan Diandra yang tiba-tiba itu. Bibirnya pun tampak mengulum senyum. Apa hubungan mereka akan baik-baik saja setelah ini?

***

"Permisi," sapanya seraya melenggang masuk.

"Apa kamu tidak membaca perjanjian di surat kontrak kerja dengan benar Bu Anna?!" Pria itu langsung menyemburnya dengan omelan dan peringatan.

"Perjanjian apa ya Pak?" tanyanya dengan sok polos sembari mendekat ke meja kerja Pak Dani.

Lihat selengkapnya