BILA BAHAGIA ITU DIJUAL

Sefiti
Chapter #5

KELUARGA BAHAGIA?

***

Empat orang anggota keluarga mengisi empat kursi yang mengelilingi meja makan. Mereka terlihat sibuk menyantap makanan tanpa adanya perbincangan.

"Gimana kuliahmu, Rio?" Adiguna membuka pembicaraan setelah makanannya di piring sudah habis disantap.

Rio yang masih meneguk air minumnya hanya mengangguk-anggukkan kepala. "Lancar, Pa. Lusa ada kompetisi karya ilmiah."

Adiguna manggut-manggut. Dirinya tampak bangga dengan anak sulungnya itu. "Bagus. Kamu harus juara satu, Rio," katanya dengan menepuk-tepuk punggung Rio.

Rio mengangguk. "Siap, Pa."

"Tapi kamu jangan lupa istirahat yang cukup. Belajarnya jangan berlebihan." Sekar, mamanya mulai membuka suara.

"Jadi orang harus serba berlebihan, biar hidupnya lebih dihargain. Terutama dalam hal ngejar prestasi dan kekayaan. Karena dari dulu juga, yang dihargain itu yang punya uang banyak sama yang punya kuasa tinggi." 

"Iya tapi kan Pa, kalau terlalu berlebihan juga nggak baik."

"Kamu jangan ngatur-ngatur saya!"

Adiguna mulai merasa tidak suka. Ini memang sering terjadi. Adiguna tak pernah ingin mendengarkan siapa pun lagi.

Sekar tak bisa menyanggah kalau suaminya sudah terlihat marah seperti ini. Dia memilih untuk diam saja daripada suaminya semakin marah.

"Radit," panggil Adiguna dengan nada dinginnya. Berbeda ketika berbicara kepada Rio.

Radit yang baru selesai minum itu pun menoleh. "Iya, Pa?"

"Gimana ulangan Matematika kamu?"

Radit meneguk ludahnya. Kalau dia berbicara jujur, pasti papanya itu akan sangat tidak suka. 

"Kayak biasanya kok, Pa."

Semua pasang mata memerhatikannya dengan penuh pertanyaan. Radit tidak seperti biasanya. Kali ini dia terlihat gugup.

"Jangan bohong kamu!" Adiguna menggebrak meja makan dengan keras sampai semua benda yang ada di atasnya terguncang.

Radit sangat tersentak. Sedangkan Rio, dia terlihat menarik salah satu sudut bibirnya.

"Pak Dinar bilang posisi kamu turun. Kenapa bisa?"

Radit terdiam.

"Udahlah, Pa. Namanya juga masih belajar." Sekar berusaha menengahi.

"Kalau dibiarin, nanti dia malah makin menurun nilainya. Papa nggak mau tahu, kamu harus tetap jadi yang pertama di sekolah!" tuntutnya sebelum mengangkat bokong dari kursi untuk meninggalkan ruang makan. 

"Papa tunggu di ruang tengah, ya. Ada yang mau dibicarain," katanya kepada Rio sembari menepuk bahunya.

"Iya, Pa."

Radit tak bisa berkata apa-apa lagi. Yang sekarang ini dia rasakan adalah kemuakan. Kedua tangannya yang dia sembunyikan di bawah meja terkepal dengan kuat. 

"Makanya, jangan males," cemooh Rio setelah beranjak dari duduknya.

"Rio," tegur Sekar.

Rio hanya tersenyum sarkastis. Mereka memang saudara kandung. Tapi, karena Adiguna terlihat lebih condong ke Rio, dirinya menjadi merasa lebih segalanya daripada adiknya, Radit.

"Kamu jangan masukin hati kata-kata papa, ya." Sekar menggenggam tangan anaknya itu, mencoba menenangkan suasana hatinya.

"Udah biasa kok, Ma. Radit ke kamar dulu, ya," pamitnya tanpa menunggu jawaban.

Sekar geleng-geleng kepala sebelum meneguk air. Dia tak tahu harus bagaimana agar membuat suaminya ingin mendengarkan segala pendapat, sanggahan, dan masukan darinya. Seperti dulu lagi.

***

Radit terlihat frustasi di depan meja belajarnya. Sedari tadi, dirinya hanya membuka halaman demi halaman buku yang ada di hadapannya dengan kasar, tanpa berminat untuk membacanya.

Sebenarnya dia merasa muak dan tertekan. Selama ini, dirinya hanya bergelut dengan buku-buku dan coretan. Tak ada waktu baginya untuk memiliki teman. Rasa takutnya kepada sang ayah lebih besar dari keegoisannya. Dirinya yang selalu dipandang sebelah mata daripada kakaknya, menjadi alasan kuat untuk selalu menjadi yang terbaik. Bagaimanapun caranya, dirinya harus bisa mengambil hati sang papa.

***

Siska terduduk di sofa panjang dengan posisi selonjoran. Jari tangannya sibuk menggulir layar ponsel miliknya untuk melihat berbagai jenis fashion, dimulai dari baju, tas, sampai sepatu di aplikasi toko online langganannya.

"Ihhh lucu banget," ungkapnya saat menemukan sepatu bermerk ternama di layar ponselnya. "Belum punya nih, yang kayak begini."

Tanpa pikir panjang, dia pun lekas membeli sepatu itu dengan metode pembayaran menggunakan kartu kredit.

"Non, ini jusnya," seorang asisten rumah tangga meletakkan segelas jus lemon di atas meja.

"Hmm," balasnya tanpa menghiraukan lawan bicara.

"Saya ke belakang dulu, Non."

"Hmm," jawabnya lagi.

Dengan mata yang anteng menatap layar ponsel, tangannya dengan cekatan mengambil segelas jus lemonnya yang berada di meja sebelah kanannya.

"Papa pulang!"

Siska langsung bangkit dari duduknya ketika mendengar suara papanya yang baru saja memasuki rumah mewah itu.

"Papa," sahutnya tidak percaya. "Kok Papa nggak ngasih tahu kalau mau pulang?" tanyanya setelah melepaskan pelukan.

"Iya, Papa nggak sempet pegang hape, soalnya."

"Papa bawa oleh-oleh?"

Lihat selengkapnya