BILA BAHAGIA ITU DIJUAL

Sefiti
Chapter #6

DENDA 2 MILIAR?

***

"A Radena, bangun. Udah siang!" Bi Iin memanggilnya dari luar sembari terus mengetuk pintu kamar.

Ini sudah kesekian kalinya dia bolak-balik dari lantai bawah ke lantai dua untuk membangunkan anak majikannya itu. Tetapi, tidak ada respons apa pun yang didapatnya. Sebenarnya, ini pekerjaan yang sia-sia untuk dia lakukan setiap pagi. Sesering dan sekeras apa pun dirinya mengetuk pintu dan memanggil si pemilik kamar, pada akhirnya Radena tetap akan keluar dari kamarnya pada pukul 8.

Bi Iin menghembuskan napas panjang. Sepertinya, kali ini usahanya tidak akan berhasil lagi.

"Ini téh udah jam setengah 8," katanya setelah memeriksa arah jarum di jam dinding. "A Radena emangnya nggak takut, apa, dimarahin bapak lagi?" lanjutnya.

Bi Iin tahu betul keadaan di rumah majikannya ini karena dirinya sudah bekerja dari tahun pertama pernikahan majikannya.

"A Radena, Bibi udah siapin sarapan kesukaannya. Bangun yuk, sarapan dulu!"

Lagi-lagi Bi Iin tak mendapat balasan dari lawan bicaranya. Memang sudah diduga. Wanita itu memainkan lap serbet yang sedari tadi berada di tangannya. Dirinya bingung harus berbuat apa lagi untuk membuat Radena merubah kebiasaannya itu. Semua ini memang bukan bagian dari tugasnya. Namun dirinya sangat menyayangi anak laki-laki itu.

Bi Iin membuang napasnya dengan sangat berat. Dia pun memutuskan untuk kembali melanjutkan pekerjaannya saja. Berlama-lama berdiri di depan pintu kamar Radena hanya akan membuat pekerjaannya semakin menumpuk. Kakinya berjalan lesu dengan bibir yang mengerucut. Sesekali kepalanya menoleh. Berharap pintu yang sudah dibelakanginya itu terbuka dan seseorang keluar dari sana.

Sedangkan di dalam kamarnya, Radena masih tertidur dengan posisi memeluk sebuah foto seorang wanita yang sedang merangkulnya dengan hangat. Kamar yang beraroma parfum Pour Homme itu terlihat rapi. Tidak seperti keadaan kamar remaja laki-laki pada umumnya, kamar Radena sangat tersusun. Warna abu yang dominan mengisi ruangan kamar pun menambah kesan maskulin dan menenangkan. Membuat siapa saja betah berlama-lama berada di kamarnya.

Radena terlihat meregangkan otot-otot tangannya. Dia baru saja terbangun. Perlahan, dia bangkit dari tidurnya dan mendudukkan dirinya, bersandar pada headboard. Bibirnya tersenyum samar saat menatap foto yang dipegangnya.

"I miss you," katanya sebelum menyimpan foto itu ke atas nakas.

Kakinya mulai menuruni ranjang, berniat pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak lupa, dia membuka gorden jendela ketika melewatinya. Tampak cahaya matahari masuk menyoroti ruangan. Menyentuh wajahnya. Membuat matanya menyipit karena silauan yang terasa menggelitik di area pupil. Mulutnya tampak menguap lagi. Kelopak matanya masih terasa berat. Sambil mengucek bagian bawah hidung yang terasa gatal, ia berjalan memasuki kamar mandi tanpa terburu-buru. Malahan, pergerakannya terbilang sangat santai dan bodoh amat dengan waktu yang sudah menyatakan kalau dirinya telah kesiangan untuk berangkat ke sekolah. Jam masuk sudah terlewat jauh. Dia memang sengaja. Kesiangan menjadi satu hal yang dilakoninya semenjak hari itu. Hari setelah sang mama sudah tak bisa membangunkannya lagi. Hari sejak satu bagian hidupnya sudah hilang direnggut kematian.

***

Suara ketukan pintu kembali terdengar. Radena yang sudah siap dengan seragamnya dan berniat untuk memasangkan sepatu di kaki kanannya, terlihat menggeleng-gelengkan kepala. Padahal dirinya sudah meminta Bi Iin untuk tidak membuang waktu mengurusi dirinya. Tapi, wanita itu masih teguh pada pendiriannya.

"A Radena, udah bangun bel—"

"Udah-udah."

Radena yang keluar dari kamarnya membuat Bi Iin speechless.

Tak lama, ia terkekeh. "Sarapan dulu A," tawarnya.

"Nanti aja di sekolah."

Bi Iin terlihat menghela napasnya. Dia selalu mendapatkan jawaban yang sama.

"Minum dulu, atuh." Tangannya menyodorkan segelas air putih yang tampak segar. "Biar tenggorokannya nggak seret."

Radena mengangkat kedua alisnya. Bibirnya menipis. Ingin menolak, tapi gelas itu sudah ada di depannya. "¹Nuhun Bi," katanya sebelum meneguknya sampai habis. ¹Terima kasih;

"Serius nggak mau makan dulu A?"

Kepalanya menggeleng. Ia benar-benar belum berselera untuk makan.

Bi Iin cemberut. "Ya udah atuh, kalau begitu mah. Tapi jangan lupa makan ya A. Nanti kalau Aa sakit gimana? Kan Bibi jadi sedih."

Radena menelan ludahnya menatap ekspresi yang ditunjukkan Bi Iin. Kedua matanya berkaca-kaca. Apa dia begitu menyayanginya sampai ingin menangis seperti itu?

"Iya-iya. Saya berangkat dulu ya Bi," pamitnya seraya melangkah pergi.

Setiap hari selalu seperti ini. Radena jarang, bahkan tidak pernah lagi sarapan di rumah. Untuk makan malam pun sama. Dirinya prihatin dengan keadaan remaja itu sekarang. Badannya terlihat lebih kurus dari sebelumnya.

A Radena turun sabaraha kilo, nya? ³Mani langki pisan barang emamna téh," gumamnya dengan sorot mata yang khawatir. ²A Radena turun berapa kilo ya; ³Jarang banget makannya;

***

Sebelumnya anak-anak kelas 11-1 tidak begitu memerhatikan penuturan materi Bahasa Indonesia yang diajarkan oleh Bu Susan, karena bisa dibilang sangat membosankan. Entahlah, sepertinya hampir semua mata pelajaran mereka anggap membosankan—kecuali para pelajar rajin berjiwa ambisius. Namun ada yang berbeda hari ini. Mereka tampak antusias karena Bu Anna membawa suasana riang dan segar. Cara penyampaiannya pun tidak menjenuhkan. Mungkin karena dia masih muda juga, tak ada rasa canggung dan kaku di antara mereka. Selain itu, wajahnya yang cantik mampu membuat murid lelaki tukang gombal, rela mengaktifkan otaknya yang semula hanya dipenuhi kemalasan.

"Struktur cerita pendek secara umum dibentuk oleh beberapa bagian. Bagian 1, pengenalan cerita; Bagian 2, penanjakan menuju konflik; Bagian 3, puncak konflik; Bagian 4, penurunan; Dan yang terakhir, bagian 5, penyelesaian." Bu Anna terlihat menerangkan materi sembari menggeser halaman pada power point yang sudah terpampang di whiteboard. "Bagian-bagian yang saya barusan sebut itu juga punya istilahnya sendiri," katanya dengan mata yang diedarkan ke semua murid di hadapannya. "Supaya lebih mudah diingat, bagian-bagian tadi bisa kita sebut dengan istilah, abstrak, orientasi, komplikasi, evaluasi, resolusi, dan koda."

Murid laki-laki yang sedang mencari perhatian terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah mengerti dengan apa yang telah guru pengganti itu sampaikan. Padahal tidak sama sekali. Otak mereka sepertinya masih sangat enggan untuk menampung materi tersebut.

Bu Anna berjalan menjauhi papan tulis dan fokus kepada anak-anak didiknya. Ia tersenyum dengan tangan yang nyaman memainkan remot presentasinya.

"Kalian semalam sudah melakukan apa yang saya suruh, kan?"

"Demi Ibu Anna, apa sih yang nggak," godaan Tomi mendapat lemparan tas dari Radena.

"Geli banget lo!" ketusnya. Dia merasa terusik dengan obrolan Tomi yang menggelikan itu. Mengganggu tidurnya.

Sontak hal itu mendapat beberapa tanggapan. Ada yang kaget, mengulum tawa, dan ikut memojokkan Tomi.

"Eh, sudah-sudah. Diem ya." Bu Anna memberi teguran dengan mata yang mengarah pada Radena. "Kamu juga Radena. Yang sopan sama guru. Dari kemarin saya lihat, kamu tiduran terus. Jangan mentang-mentang kamu cucunya Pak Setyo, terus kamu bisa seenaknya di kelas ini. Bangun dan ikuti pembelajaran dari saya."

Mendengar ocehan Bu Anna yang menusuk gendang telinganya, dengan sangat berat Radena menegakkan duduknya. Ia menatapnya dengan malas. Dengusan kasar keluar dari hidungnya. Selang 2 detik, decitan kursi terdengar mendominasi ruangan. Radena beranjak dari duduknya, memutuskan untuk keluar dari kelas. Meninggalkan jam pelajaran yang belum usai.

"Mau ke mana kamu?" Bu Anna mencegahnya.

"Minggir Bu," pintanya dengan nada yang dingin.

Bu Anna menggeleng. Menolak permintaannya. "Kamu, sudah datang terlambat, terus sekarang mau pergi gitu aja? Duduk!"

Radena mendengus lagi. Bola matanya memutar malas. Sangat tidak peduli dengan semua ucapan yang didengarnya. Kakinya bergerak lagi, memilih untuk menerobos penghalang di depannya.

Nona geleng-geleng kepala. Heran dengan Radena yang selalu seperti itu. Sangat merusak suasana pembelajaran.

Lihat selengkapnya