***
Bunyi mesin motor dan mobil yang saling memburu antrean paling depan terdengar sangat heboh di area parkiran SMA Berlian. Bukan tanpa alasan. Karena jam pulang sekolah dan langit yang mendung, membuat semua orang ingin lekas menancapkan gas agar tidak terjebak hujan di tengah jalan.
"Bokap bilang, total biayanya 6 jutaan Na. Lo sendiri tahu kan keadaan motor lo gimana? Perbaikannya udah kayak ngerakit ulang." Thalia menghentikan langkah Nona dengan ucapannya.
Nona bergeming mendapati biaya yang harus dikeluarkannya. Ternyata lebih besar dari dugaan. Sisa tabungan yang ia miliki hanya cukup untuk membayar setengahnya saja.
"Na." Thalia menyentuh pundaknya. Membuat Nona menoleh.
"Oh. 6 juta ya?"
Gadis yang selalu memakai jepitan di salah satu sisi rambutnya berdehem. "Iya Na. Sori ya gue nggak bisa ngasih diskon. Tadi udah nego sama bokap, tapi dia nggak mau ngasih. Dasar pelit."
Nona tersenyum kecil. "Nggak apa-apa Tha." Lalu ia merogoh ponselnya, mengotak-atik sebentar sebelum memberikannya pada Thalia. "Kamu tulis nomor rekeningnya, nanti saya transfer," katanya sembari menunjukkan layar ponsel miliknya yang menampilkan sebuah catatan kosong.
"Oke," balas Thalia kemudian.
"Tapi...." Nona membuat kedua temannya mengerutkan kulit kening.
"Tapi apa?"
"Saya baru bisa bayar setengahnya." Akuannya mengundang Nabila dan Thalia untuk saling tatap.
Sepertinya Nona memang mempunyai masalah yang tidak ingin dibacarakan pada mereka.
Thalia pun mengangguk. "Santai aja," jawabnya dengan tangan yang mengulurkan ponsel ke pemiliknya.
"Terima kasih."
"Na, lo nganggep kita temen kan?" Pertanyaan Nabila tidak terduga.
"Kok kamu nanya gitu?"
"Ya karena lo kayak lagi ada masalah aja. Ceritalah. Jangan dipendem sendiri. Lo nggak percaya sama kita ya Na?"
Nona menggeleng cepat. "Nggak. Bukan gitu. Saya percaya kok sama kalian. Cuman saya nggak ada alesan buat ceritain masalah yang saya alamin ke kalian."
"Sekarang lo punya alesan. Kita, mau lo berbagi masalah. Barangkali gue sama Thalia bisa bantu."
Nona terdiam. Mempertimbangkannya. Apa dirinya perlu untuk menceritakan masalahnya?
"Nanti saya cerita. Tapi nggak sekarang. Oke?"
"Oke deh. Kalau gitu gue balik ya. Supir udah nunggu dari tadi di depan. Lo berdua mau bareng nggak?" Thalia menawarkan tumpangan.
"Gue udah pesen taksi Tha. Lo bareng Nona aja."
Nona pun menggeleng. "Saya mau ada urusan dulu. Jadi nggak akan langsung pulang. Kalian duluan aja."
"Gitu ya. Ya udah. Kita duluan Na. Bye." Thalia melambaikan tangan sesudah merangkul lengan Nabila. Memintanya berjalan berdampingan.
"Lo ati-ati Na. Di daerah sini suka banyak copet yang pura-pura jadi tukang ojek payung!" Nabila berteriak di depan sana.
"Iya! Thank you infonya!" sahutnya tak kalah kencang.
Helaan napas menemaninya sekarang. Dia menggigit bibirnya sebelum memeriksa sesuatu di ponselnya. Raut wajahnya berubah girang. Dia sangat senang karena lamaran pekerjaannya sebagai guru les pribadi di suatu website, mendapatkan respons dari beberapa orang.
Bekerja paruh waktu telah menjadi sebuah pilihan baginya. Ada beberapa alasan Nona memutuskan itu. Pertama, dirinya harus mencari uang untuk mengganti biaya perbaikan motornya. Kedua, di keadaannya sekarang, ia tak ingin lagi membebani orangtuanya. Dia harus punya pendapatan pribadi agar tidak terlalu menggali saku Maya terlalu dalam untuk keperluan dan keinginannya.
Matanya berhenti berkedip ketika nama kakaknya terpampang di layar ponsel. Ada panggilan telepon dari Calvin di sana.
"Halo."
"Halo, Na. Kamu udah bubaran? Mau dijemput sekarang?"
Nona melipat bibirnya dalam. Sebenarnya dia belum siap untuk membicarakan perihal pekerjaannya kepada kakak dan mamanya. Dia takut tak diberi izin untuk itu.
"Udah sih. Cuman Nona belum bisa pulang. Ada acara," jawabnya dengan sedikit gugup.
"Acara apaan? Jangan macem-macem. Lagian kayaknya mau hujan gedé. Mama juga udah nungguin. Ada yang mau dibicarain."
Salivanya tertelan. Dia menebak topik yang akan dibicarakan. Motornya.
"Nona ada perlu dulu di luar, Kak. Berfaedah, kok. Bilangin ke mama, Nona nggak akan lama."
"Iya mau ada perlu apaan?" Calvin benar-benar mengintrogasinya.
Nona merasa lelah. Dirinya memang tak pandai memberi alasan kepada kakaknya ini.
"Ya udah Nona jujur deh. Sebenernya Nona mau ngajar les. Mayan dapet cuan buat jajan."
Calvin terdiam. "Yaelah Na, kayak yang nggak diurusin aja. Ngapain ngajar les? Lebih baik kamu fokus belajar, bukannya malah ngajarin orang. Nanti Kakak tambah deh uang jajannya. Mau berapa? Kakak usahain. Asal kamu jangan kerja gitu."
Nona sudah menduga respons Calvin akan seperti itu.
"Tapi Nona pengin, Kak. Ya, biar hidup Nona juga berfaedah bantu orang belajar juga. Bete juga di rumah. Izinin ya? Tapi jangan bilang mama. Nanti aja Nona yang bilang."
"Gak. Sekarang kamu diem di sekolah, Kakak jemput kamu."