***
Butiran hujan yang berjatuhan ke aspal terdengar sangat kasar dan berat. Tak bisa dielakkan bila bersentuhan ke badan rasanya sangat sakit saking derasnya hujan yang saat ini melanda kota Bandung. Terlihat beberapa orang memutuskan berteduh di depan toko untuk sekadar memakai jas hujannya, atau benar-benar berteduh sampai hujan reda. Ada juga yang memilih untuk menerobos tirai hujan karena sudah terlanjur basah kuyup. Namun sepertinya beberapa hal itu bukan pilihan bagi Nona. Dia tak bisa memilih karena Radena tak memberinya pilihan itu. Tanpa memedulikan kehadirannya, Radena tetap menerobos hujan dan membuatnya basah kuyup. Untung saja tas ranselnya tahan air, sehingga dia tak perlu khawatir mengenai barang-barangnya.
Di detik pertama Radena menancapkan gas motornya, kedua tangannya sontak memegang pinggang laki-laki di depannya dengan erat-lebih tepatnya mencengkram seragamnya.
Nona tak memikirkan apa pun kali ini selain berusaha menyelamatkan diri dari laju motor yang sangat cepat, dan berusaha untuk menahan rasa dingin yang menusuk kulit tubuhnya. Ia tak peduli bila Radena menilai dirinya tidak sopan. Baginya, Radena lah yang sangat tidak sopan. Sudah memaksa ikut dengannya, dibonceng dengan kecepatan tinggi, dan menerobos hujan lebat. Tidak punya perasaan.
Diam-diam, Radena melirik ke arah pinggangnya yang masih dicengkram oleh Nona dengan kuat. Terlihat jari-jemari gadis itu gemetar, dan tampak berkerut karena kedinginan. Namun, entah apa yang dipikirkannya sekarang, karena dirinya semakin menambah kecepatan motor yang membuat Nona terkejut, lalu spontan memperkuat cengkramannya.
"Radena!" pekik Nona yang berada di antara suara hujan. Dia benar-benar kaget saat Radena menerobos lampu merah yang baru saja dilewati.
"Bahaya, tauk!" teriaknya lagi.
Sayangnya, Radena tak mengindahkan suaranya. Dia memilih untuk fokus berkemudi agar cepat sampai tujuan.
Hujannya nggak bisa nanti aja, gitu? Kan repot jadinya, batinnya menggerutu. Sebenarnya Radena tidak menduga hal ini. Mau putar balik atau berteduh pun, percuma, karena hujan turun dengan begitu derasnya sejak motornya baru beberapa meter keluar dari area sekolah. Seragamnya pun sudah basah kuyup. Percuma kan? Lagi pula, bila berteduh hanya membuang waktu. Dirinya tidak tahu kapan hujan akan reda.
Dari balik kaca helmnya, Nona melihat Radena membawa motornya memasuki perumahan yang tampak elite-terlihat dari penampakan rumah-rumah yang mewah dan juga besar dengan berbagai tipe-setelah kurang lebih 15 menit membelah jalan raya.
Radena membunyikan klaksonnya dengan tidak sabaran semenjak berhenti di depan sebuah pagar rumah yang menjulang tinggi. Nona hanya terdiam di jok belakang dengan memerhatikan sekeliling, seperti orang hilang yang bingung dengan arah pulang.
"¹Sakedap A!" Seorang penjaga rumah yang selalu berjaga di pos depan segera berlari dengan payungnya. ¹Sebentar;
Tanpa sapa dan salam, Radena lekas membawa motornya memasuki area rumah dan langsung menuju ke garasi.
"Ya ampun A, kok hujan-hujanan!" Teriakan panik Bi Iin yang baru saja datang dari dalam rumah, membuat Nona dan Radena menoleh padanya. Di tangannya, dia membawa satu handuk berwarna abu. Ini bukan pertama kalinya terjadi. Radena sudah sering pulang ke rumah dengan menerobos hujan. Maka dari itu, Bi Iin sudah mempersiapkannya sedari awal.
"Turun! Betah banget di motor gue."
Nona yang masih terduduk di jok mengerjapkan matanya. "Ah, iya," jawabnya dengan suara yang sedikit menggigil. Ia pun segera turun dan membuka helmnya. Rasa dingin yang menyerang seluruh badannya membuat dia tidak fokus.
"Handuknya kasih ke temen saya aja Bi," pintanya kemudian.
Temen? Nona memajukan bibir bawahnya. Meledek.
Bi Iin mengangkat kedua alisnya. "Oh iya. Ini Néng handuknya."
"Terima kasih Bi."
"Sama-sama, Néng." Bi Iin tersenyum. Dia memandangi wajah basah gadis di depannya begitu dalam. "Si Aa, kasihan atuh ini si Néng-nya dibawa ujan-ujanan. Jadi basah kan bajunya."
Ekor matanya menyoroti Nona dari atas sampai bawah.
"Bibi bawa dia masuk. Biar bisa ganti baju. Tolong bantu urusin ya?"
Bi Iin menganggut. "Eh, tapi A, di rumah ini kan nggak ada baju perempuan. Kecuali punya almarhumah ibu." Dia tampak tidak enak saat membahas mendiang majikannya. "Masa mau pake punya saya?" Matanya sontak menatap pakaiannya sendiri yang amat ²kolot itu. Sangat tidak cocok bila dipakai oleh gadis muda dan cantik seperti Nona. ²Tua;
Radena tampak sedang memikirkan sesuatu.
"Ya udah, pake punya mama aja. Cariin yang cocok buat temen saya."
Nona melirik Radena dalam diam. Ia bisa merasakan ada kesedihan di dalam perkataannya yang berkaitan dengan mamanya.
"Kalau gitu, Bibi mau ambilin handuk buat Aa dulu ya ke dalem—"
Radena menggeleng. "Nggak perlu. Saya bisa minta yang lain buat ambilin. Bibi urusin temen saya aja, ya."
"Ya udah atuh, ³hayu ganti baju dulu, Néng. Nanti masuk angin," ajaknya kemudian. ³Mari;
"I-iya. Terima kasih." Nona pun mengikuti Bi Iin sembari menyelimuti bahunya dengan handuk. Sebelum melewati ambang pintu, ia menoleh ke belakang. Tapi, belum genap empat detik, dia malah memalingkan wajahnya.
Di belakang sana, ia melihat Radena sedang membuka seragamnya yang basah itu. Pemandangan yang membuatnya nyaris lupa caranya bernapas. Dia sangat terkejut.
Tetapi, ada satu hal yang tak sengaja tertangkap penglihatannya.
Luka.
Ada luka bekas jahitan di punggung laki-laki itu. Bukan hanya satu yang ia tangkap. Seingatnya... lebih dari satu, bahkan dua. Atau lebih dari dua?
***
Nona memerhatikan dirinya di depan cermin. Ia merasa tidak nyaman dengan pakaian yang sekarang sedang dipakainya. Rasanya tidak enak memakai pakaian orang lain seperti ini. Walaupun sebenarnya pakaiannya sekarang itu termasuk style yang ia sukai-tank top dress berwarna biru dengan daleman kaos berwarna putih berlengan tanggung-tetap saja, ini milik orang lain yang seharusnya tak ia kenakan.
"Cantik, ya. Jadi keinget sama ibu." Ucapan Bi Iin membuat Nona sontak menoleh ke samping. Ia memberi senyuman tipis saat mata mereka saling bertemu.
"Ibu itu dulu punya butik. Jadi pakaiannya kekinian, kalau kata anak sekarang mah. Cuman, semenjak ibu meninggal, butiknya dijual ke orang lain. Soalnya bapak nggak bisa ngurusin dan nggak ada yang bisa lanjutin usahanya."
"Sayang banget ya Bi."
Bi Iin hanya memberi anggukan. Lalu matanya mengarah kepada seragam Nona yang tergeletak.
"Néng, sini baju basahnya biar saya cuci. Nanti bau apek kalau dibiarin basah gitu mah." Bi Iin yang menghampirinya membuatnya semakin tidak enak. "Sekalian mau nyuci punya A Radena."