***
"Emangnya kalian ada masalah apa? Kok dia tega banget sampe ngerusakin motor kamu, Na." Maya terkejut dengan penjelasan yang Nona utarakan. Dirinya menjadi khawatir dengan aktivitas anaknya selama di sekolah.
"Itu... dia nggak suka aja sama Nona," jawabnya asal.
"Cewek ya?" Calvin menebak.
Nona sedikit membulatkan matanya. Tebakan Calvin tepat sasaran. "Iya."
Tawaan keluar setelah mengetahui kalau tebakannya benar. "Dia sirik sama kamu Na. Pasti nggak mau kalah saing. Adiknya Kakak ini kan cantiknya nggak tertandingi." Calvin mencubit kedua pipi Nona gemas.
"Ihhh, Kakak nggak usah lebay deh. Lepasin. Sakit." Nona menepis tangan laki-laki itu dari wajahnya.
"Kenapa waktu itu kamu nggak langsung ngehubungin Kakak?" Dia kembali pada topik utama.
Nona mendehem. "Peralatan di bengkel Kakak nggak memadai buat benerin motornya. Makanya Nona milih buat bawa ke bengkel lain. Lagian, bengkelnya juga punya papanya temen Nona. Yang waktu kemarin nganterin pulang itu, lho. Jadi nggak kerepotan ngurusinnya. Maaf udah bohong. Nona cuma nggak mau kalian jadi kepikiran aja."
Maya menghela napasnya. "Soal biayanya gimana?"
"Udah beres kok. Nggak usah dipikirin."
"Pake uang tabungan kamu?" Maya menyentuh lengannya yang tersimpan di atas meja makan.
Bibir gadis itu terlipat, lalu kepalanya mengangguk dengan wajah menunduk.
"Ya ampun Na. Berapa? Biar Mama ganti. Itu tabungan kamu lho. Buat keperluan kamu. Motor itu urusan Mama. Nggak seharusnya kamu nanggung semua itu sendiri."
"Pasti biayanya nggak dikit kan Na?" Calvin bertanya karena dia tahu pasti. "Berapa juta?"
"6 juta. Tapi nggak apa-apa. Nggak usah diganti. Tabungan Nona masih sisa banyak kok."
50 ribu lagi.
Maya mendengus pelan. Merasa kesal kepada orang yang sudah menjaili anak gadisnya.
"Keterlaluan anak itu. Dia harus tanggung jawab Na. Harus diperingatin, biar nggak ngelunjak. Dia nggak bisa dibiarin. Biar besok Kakak sama Mama ke sekolah. Kita laporin semuanya ke pihak sekolah."
Sontak Nona menggeleng. "Nggak bisa. Nggak usah."
"Na, yang dilakuin dia sama kamu itu udah nggak bisa ditolerir."
"Tapi kita nggak bisa. Dia ... punya kuasa di sekolah. Yang ada, kalau Mama sama Kakak dateng ke sekolah, kalian malah makin repot. Sekarang kan motornya udah bener lagi. Jadi udahlah...," biar Nona sendiri yang urus, "... nggak usah diperpanjang lagi."
"Dia masih ganggu kamu nggak di sekolah? Atau ada anak lain juga yang suka gangguin kamu? Kalau kamu nggak betah, kamu pindah aja sekolahnya."
Pindah? Jika dirinya pindah, sama saja dengan menyerah.
"Orang jail kayak gitu di mana-mana pasti ada Ma. Jadi percuma juga pindah. Sejauh ini, Nona betah kok di sekolah. Di sana kan Nona juga udah punya temen yang superrr baik. Jadi sayang aja kalau pisah dari mereka."
Maya dan Calvin saling pandang. Sama-sama menyerahkan keputusan pada Nona.
"Ya udah. Tapi, kalau kamu mau pindah, bilang aja ya? Siapa tahu kamu bisa lebih nyaman di sekolah lain." Maya menatapnya sendu. Sejujurnya, mulai saat ini dia tidak akan bisa tenang selama Nona di sekolah. "Kalau butuh uang, bilang sama Mama. Mama masih bisa biayain kebutuhan kamu. Walaupun nggak kayak dulu lagi, tapi Mama bakal usahain. Kamu itu tanggung jawab Mama. Jangan terbebani sama keadaan kita sekarang. Mama nggak mau kamu kesusahan Na."
Nona mengerutkan kulit bibirnya. Menahan tangis. Korneanya pun mulai berkaca-kaca.
"Satu lagi Na. Mulai besok, kamu Kakak antar-jemput. Jangan bawa motor ke sekolah lagi. Nanti, motor kamu diapa-apain lagi sama dia."
"Iya-iya. Kalau gitu Nona ke kamar ya? Mau ngerjain tugas."
Maya mengangguk. Ia menatap Nona yang sudah berjalan ke arah kamarnya dengan tangan kiri yang terlihat menyeka ujung matanya. Air matanya tak tertahan ketika berbalik.
"Vin, kamu ajak dia ngobrol berdua, sana. Kayaknya adikmu itu masih punya hal lain yang belum dikasih tahu ke Mama. Kalian kan biasanya saling curhat, mungkin dia lebih terbuka ke kamu."
Calvin menelan salivanya. Ia sudah mengetahui hal lain yang Maya pertanyakan itu.
Sebelum melanjutkan perkataannya, dia meminum air terlebih dahulu. Selama meneguk, matanya tak lepas pada wajah di depannya. "Kamu juga, kalau ada apa-apa itu bilang."
"Iya Ma."
"Mama tinggal dulu. Mau cek pesenan katering."
Laki-laki berambut gondrong itu mengangguk. "Calvin juga mau ke depan. Ada yang mau diberesin di bengkel."
Bengkel milik Calvin berada di garasi. Ia menggunakan garasi dan halaman samping untuk membuka bengkel. Tak hanya bengkel, menjadi montir panggilan sampai jasa cuci kendaraan telah dia lakoni. Semua itu sebagai bentuk nyata dari kegemarannya dan juga untuk membantu kebutuhan keluarga. Lokasinya yang strategis juga menjadi pendorong kuat untuk membuka usahanya. Dengan menjual motor kesayangannya, ia bisa mendapatkan modal untuk membuka usahanya ini.
Calvin itu sebelumnya kuliah di jurusan Teknik Otomotif. Karena kasus papanya, dia terpaksa tidak melanjutkan kuliah. Padahal satu semester lagi ia sudah bisa menyelesaikannya. Tapi, di keadaan seperti ini Calvin lebih memilih untuk menjaga mama dan adiknya. Dia tidak mau terpisah dengan kedua perempuan yang disayanginya itu dalam situasi rumit, seperti yang sedang mereka hadapi sekarang ini.
***
Nona terduduk di pinggir ranjang dengan mata terus menatap seragamnya yang menggantung di pintu kamar. Ia merasa tidak enak hati karena menjadi penyebab papanya Radena marah besar.
"Pasti nggak mudah ngejalaninnya. Apalagi dia udah nggak ada mama." Nona bergumam di dalam lamunannya. Dirinya tak bisa berbohong jika rasa iba sedang membalut hatinya. Sebagai seorang anak, dirinya paham kalau memiliki hubungan yang tidak baik dengan orangtua merupakan patah hati yang paling sakit.
Nona menyenderkan kepalanya pada headboard, lalu menghela napas berat. Namun kemudian, ia terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya dengan harapan pikirannya tentang Radena akan hilang.
"Percuma Na. Kurang kerjaan banget," omelnya pada diri sendiri yang baru saja melakukan hal bodoh.
Ia pun memutuskan untuk melakukan sesuatu agar pikirannya bisa teralihkan. Kakinya melangkah menuju meja belajar, mendudukkan diri di kursi. Di sana, dia bercengkrama dengan ponselnya. Ada yang ingin dia pastikan.
SMA Berlian Bandung
Jarinya mengetik itu pada kolom penelusuran.
Kulit keningnya menimbulkan kerutan selama ia menggulir layar ponselnya.
"Kebanyakan media di sini malah ngasih kesan positif buat SMA Berlian." Nona berdecih. Pantas saja banyak yang bersemangat mendaftarkan anaknya ke sekolah favorit itu. Para orangtua tidak mengetahui kalau mereka sudah ditipu. Termakan iklan-iklan tabu yang dibungkus dengan cantik.
Di tengah-tengah penelusurannya, dia dikagetkan oleh satu notifikasi yang muncul di bagian atas layar ponsel. Matanya membulat, tidak percaya dengan apa yang sedang dia lihat.
"6 juta?!" pekiknya, namun berhasil dia tahan dengan mata yang sontak melirik pintu kamar. Takut-takut Calvin atau pun Maya mendengarnya.
Nona baru saja dikejutkan oleh transferan uang yang masuk ke nomor rekeningnya. Dan satu lagi yang membuatnya terbelalak. Nama si pengirim.
"Banyak banget dia transfer uangnya. Ngawur nih anak—"
Dering telepon mengintrupsi kegundahannya. Dengan penasaran, ia segera memeriksa siapa yang meneleponnya malam-malam begini.
Nomor tidak dikenal.
"Halo Nano."
Suara di seberang sana begitu datar. Tidak asing.
"Siapa ya?"
Dia tidak pernah dipanggil dengan sebutan seperti itu. Nano? Apaan Nano?