***
Radena berjalan menuruni anak tangga sembari memasangkan arloji di tangan kirinya. Setelah itu, tangannya terlihat memegangi pegangan tas ransel yang ia kaitkan di salah satu pundaknya.
Suara benda jatuh yang tiba-tiba terdengar dari arah dapur membuat Radena menoleh. Di sana ia mendapati Bi Iin sedang berdiri dengan raut wajah seperti melihat hantu. Terlihat dari mulutnya yang terbuka sedikit, matanya tak berkedip, dan tubuh yang mematung. Bi Iin sangat tertegun karena ini pertama kalinya melihat Radena keluar kamar sebelum jam 8, semenjak 5 bulan lalu. Ia pun sampai menjatuhkan sapu yang berada di genggamannya. Refleks.
Kening Radena mengerut karena heran melihat tingkah aneh Bi Iin yang tak lepas menatapnya.
"Bi?" Panggilannya langsung membuat Bi Iin mengerjap.
"Eh iya?" Wanita itu tersadar.
"Bibi kenapa?"
"Ini beneran A Radena?"
"Ya iya lah Bi," jawabnya santai. "Ini kenapa sapunya sampe jatuh?" tanyanya sembari mengambil sapu itu dan memberikannya kepada Bi Iin.
"Oh iya." Bi Iin nyengir. "Bibi téh kaget, lihat Aa udah rapi jam segini."
"Saya mau jemput Nona. Jadi harus pagi."
Bi Iin mengangkat kedua alisnya. "Néng Geulis yang kemarin?"
Radena mengangguk membenarkan. Namun satu detik kemudian dia baru menyadari satu hal. "Namanya Nona, Bi. Jangan panggil Néng Geulis lagi. Dia biasa aja, juga."
Bi Iin tertawa kecil. "Eh si Aa mah. Da emang beneran cantik atuh. Masa nggak nyadar."
"Nggak Bi. Dia mah nggak ada cantik-cantiknya. Ya udah, saya berangkat dulu. Keburu siang."
Bi Iin manggut-manggut. "Aa nggak mau sarapan dulu?" Pertanyaannya mengurungkan niat Radena yang akan melangkah.
"Nanti aja di sekolah," jawabnya sebelum benar-benar melangkahkan kakinya. Jarinya terlihat berjalan dengan tangan yang memainkan kunci motor.
Senyuman Bi Iin tampak merekah. Kehadiran Nona sepertinya membawa aura yang positif untuk anak laki-laki kesayangannya itu. Tak lama, suara sepatu yang menginjak anak tangga mengalihkan perhatiannya. Bi Iin melihat Johan sedang menuruni anak tangga dengan tangan yang menjinjing tas kerjanya.
"Pagi Pak," sapanya saat pria berpakaian rapi dengan jasnya datang menghampiri.
Johan hanya mengangguk singkat. "Bi, nanti malem ada klien saya yang mau datang ke rumah. Jadi tolong siapin makanan ya."
Bi Iin mengangguk patuh. "Baik Pak."
"Uang dapur masih ada?"
"Ada kok Pak. Mungkin buat 3 hari lagi masih cukup."
Johan manggut-manggut. "Oke. Saya berangkat dulu—"
"Anu, punteun Pak. Itu...." Dia takut-takut untuk menyampaikannya.
"Apa?"
"Itu, A Radena baru aja berangkat." Bi Iin memberitahunya karena menurutnya itu suatu kabar yang baik.
Johan menatap Bi Iin dengan tatapan yang berubah dingin, raut wajah juga menjadi datar. "Saya nggak peduli sama apa pun yang dia lakuin Bi. Lagian, Marina nggak bakalan bisa hidup lagi kalau si Radena sok mau jadi anak baik kayak gitu."
Perkataan menohok dari Johan membuat Bi Iin tercengang. Hatinya tertusuk. Itu kalimat yang menyakitkan. Tidak tahu akan bagaimana jika Radena mendengarnya secara langsung.
***
"Bang, tempenya 5 ya."
"Bang Sayur, ini saya kangkungnya 2 iket. Cepetan bungkusin."
"Bang, pesenan saya mana yang kemarin?"
"¹Mang, ieu daging sabaraha sakilona?" ¹Bang, ini daging sekilonya berapa;
Seperti hari-hari biasanya, setiap pagi, suasana di depan akan ramai oleh ibu-ibu atau pun ART yang rutin membeli bahan masakan.
"Eh, Bu Maya," sapa ibu-ibu itu saat melihat Maya baru saja bergabung ke gerobak sayur.
"Pagi Ibu-Ibu. Udah selesai belanjanya?"
"Belum, masih milih-milih. Bingung mau masak apa."
Maya hanya tersenyum sembari memberi anggukan paham dengan kebingungan yang sedang melanda tetangganya itu.
"Tumben belanja ke sini Bu? Nggak ada pesanan katering?"
Maya menoleh sebentar di sela-sela kegiatannya memilih bahan masakan. "Ada. Cuma saya tolak. Soalnya mau ke Jakarta. Ini mau siapin persediaan buat Nona di rumah."
"Nonanya nggak ikut?"
"Nggak. Dia nggak bisa ambil cuti."
Ibu-ibu terlihat mengangguk.
"Eh, Bu Maya, Nona téh sekolah di Berlian?" tanya salah seorang dari mereka.