Mendengar ucapan Maya seperti itu, Nona semakin panik.
"Nona," Calvin menggoyang-goyangkan bahunya, "ada apaan sih?" Karena sangat penasaran, ia pun ikut mengintip ke arah ruang tamu. Salah satu alisnya terangkat. "Cowok? Seragamnya sama kayak kamu tuh," katanya dengan mata yang masih menatap Radena penuh pengamatan.
"Nona?"
Mata Nona sontak terbelalak saat Maya memanggilnya.
Nona? Radena menoleh ke arah Maya memanggil nama yang dia kenali. Dia sedikit kaget. Apa ini rumah si Nano?
"Aish." Nona merutuk. Dia terlihat menggigit bibir bawahnya.
"Tuh, dipanggil sama mama." Calvin menoyor bahunya.
Nona menoleh kepada Calvin dengan kesal. Kakaknya ini seperti sedang menggoda dirinya. "Iya, denger."
"Kalau denger, kenapa masih di sini?" Calvin menaik-naikkan alisnya. "Ohhh, jangan-jangan dia pacar kamu ya Na?" godanya.
Nona tidak terima dengan itu. Ia pun mencubit lengan Calvin agar diam. "Bukan. Males banget pacaran sama dia. Cowoknya resek."
Calvin mengulum tawa. "Biasanya yang kayak gitu, nanti ujung-ujungnya jadi suka. Ayooooo," godanya lagi.
"Ih, diem deh." Nona geli mendengarnya. Ia pun mengatur napas agar terlihat tenang. Untuk apa juga dia seperti ini? Hanya membuang waktu. Akhirnya gadis itu berjalan ke ruang tamu dengan menampakkan wajah datarnya. Dibuat senormal mungkin dan setenang mungkin.
Pandangan mereka bertemu saat itu juga sebab Radena masih menatap ke arah dapur, menanti siapa yang akan keluar dari sana. Dia benar-benar tidak mengira kalau sekarang dirinya sedang berada di rumah Nona. Rumahnya terlalu sederhana untuk kalangan pelajar yang berpredikat sebagai, Murid SMA Berlian. Bukan apa-apa. Sejak label sekolah favorit menempel di SMA Berlian, rata-rata para pelajar berasal dari kalangan yang tinggal di perumahan elite. Bukan rata-rata lagi. Sekarang dominannya memang seperti itu, karena orang dari kalangan menengah ke bawah menjadi enggan untuk mendaftarkan diri ke SMA Berlian. Biaya dan gengsi menjadi alasan utamanya.
"Na, ini temen sekolah kamu lho. Kenal nggak?" tanya Maya setibanya Nona di sana.
"Nggak," jawabnya dengan cepat.
Maya mengernyit.
"Masa sama pacar sendiri nggak kenal?" goda Calvin yang sudah tak kuasa menahan tawa gemas.
"Pacar?" Mamanya bingung.
"Kak Calvin jangan didengerin Ma. Suka ngawur."
"Kamu kenal sama Nona nggak, Nak Raden?" Dia kembali menoleh pada Radena.
Mendengar panggilan itu, Radena tertegun. Selama ini, hanya Marina yang memanggilnya seperti itu. Raden.
Ia pun berdehem. "Kita satu kelas, Bu."
Maya tertawa. "Jangan panggil, Bu. Panggil Tante aja ya?"
Kelopak matanya melebar. "Oh. Iya ... Tante."
"Beneran sekelas?" tanyanya lagi pada Nona. Memastikan.
Nona menggeleng. "Nggak tahu. Nggak kenal."
"Kita emang satu kelas kok Tante. Kelas 11-1."
"Tuh, dia aja bilangnya temen satu kelas kamu lho Na. Masa nggak kenal," omelnya pada Nona. "Jangan gitu. Kamu kenapa sih Na? Apa dia yang suka jailin kamu di sekolah? Makanya kamu pura-pura nggak kenal sama dia?" Maya berubah marah. Membuat Radena terkesiap.
"Bukan Ma. Dia...," Nona melirik Radena, "... dia nggak pernah jailin Nona kok."