***
Lapas Salimbu, Jakarta Pusat
Maya terduduk di depan sebuah kaca pembatas yang memisahkan antara dirinya dan David. Kaca pembatas tersebut memiliki lubang-lubang kecil di bagian tengahnya, yang berfungsi agar kedua belah pihak bisa saling berkomunikasi. Mereka tampak memberi tatapan penuh arti. Terharu, sedih, dan khawatir, tergambar dari tatapan keduanya. Calvin yang sedari tadi terduduk di samping Maya pun hanya tertunduk. Ia berusaha untuk menahan air matanya, tapi ternyata dirinya tak mampu untuk melakukan itu. Dengan tangan yang beberapa kali menyeka air matanya, Calvin mencoba untuk terlihat tegar dan kuat seperti yang David pesankan padanya.
"Mas sehat-sehat aja kan di sini?" Setelah mengumpulkan tenaga untuk berbicara, Maya akhirnya bersuara. Walaupun terdengar sangat sesak.
David tersenyum getir. Tangannya tampak diusap-usapkan pada pahanya untuk kesekian kali. "Alhamdulillah. Kalian gimana di Bandung? Betah?"
Calvin dan Maya mengangguk dengan bibir yang menipis.
David kembali tersenyum, lalu tatapannya terfokuskan pada Calvin. Dia menatapnya dengan sangat dalam. Mencoba mengulik perasaan yang ada di dalam diri anak sulungnya itu, melalui tatapan matanya yang penuh kebohongan sekarang.
"Dulu kamu bilang sama Papa, kalau kamu mau buka usaha di Bandung."
Calvin mengangguk.
"Usaha apa? Udah jalan?"
"Calvin buka bengkel di rumah Pa," jawabnya dengan memberi senyuman terbaiknya.
"Hebat kamu Vin, udah punya usaha aja. Papa bangga." David berusaha mencairkan suasana. Ia tahu kalau keluarganya sangat mengkhawatirkan dirinya di sini.
Calvin terkekeh. Maya pun sontak menepuk-tepuk bahunya dengan bangga.
Bibir pria berbaju tahanan itu mengukir senyuman kecil. Kepalanya menganggut. "Papa bakalan bertahan demi kalian." Setelah mengatakan itu, David terlihat memajukan posisinya, mencoba lebih dekat dengan kaca pembatas. Matanya tampak celingak-celinguk memeriksa keadaan sekitar, sebelum mengeluarkan suara. Dia berdehem pelan. "Sebenarnya Mas tahu siapa yang udah ngejebak Mas. Tapi Mas nggak bisa buktiin itu," katanya dengan berbisik pada Maya. Takut-takut ada sipir yang mengawasi dan menguping pembicarannya.
Maya dan Calvin saling tatap. Kenapa David baru mengatakan ini sekarang? Kenapa saat di pengadilan, dirinya tak memberi pembelaan sama sekali dan memberi kesan bahwa dirinya memang melakukan kejahatan itu?
"Kenapa Mas nggak bahas soal itu waktu di pengadilan?" Maya tampak sangat terkejut.
"Percuma. Nggak ada gunanya Mas ngebela diri di saat semua saksi di TKP membenarkan tuduhan itu."
Calvin mendengus. "Siapa orangnya Pa? Kasih tahu Calvin." Ia sangat marah. Terlihat dari kulit wajahnya yang memerah dan urat-urat di lehernya yang menegang.
David menghela napasnya. "Papa nggak bisa kasih tahu. Terlalu bahaya buat kalian."
"Kalau Papa kasih tahu, pasti Calvin bisa bantu Papa keluar dari sini."
David menggeleng. "Nggak. Kamu nggak usah ngapa-ngapain. Kalian jalanin hidup dengan normal aja di Bandung. Insya Allah, Tuhan nggak bakalan ngasih ujian di luar kemampuan kita. Nggak apa-apa Papa ditahan di sini, asalkan kalian baik-baik aja. Itu yang paling penting. Inget, jangan coba-coba ngelakuin tindakan yang Papa larang. Mereka itu berbahaya."
Mereka?
Maya mendadak lemas. Ini bukan sesuatu yang mudah untuk dijalani. Tapi dirinya juga harus kuat, karena ada 2 anak yang harus dia jaga.
***
Semua mata serempak memerhatikan Bu Susi yang sedang menjelaskan materi pelajaran Fisika tentang, BAB MOMENTUM & IMPULS—walaupun pandangan mereka bukan berada pada satu arti dan tujuan yang sama. Tak seperti Radit, Nona, dan Siska yang begitu khidmat mengikuti penjelasan dari Bu Susi, yang lain malah terkesan biasa saja karena tidak mampu memahami semua yang telah keluar dari mulut guru perempuan itu. Apalagi Radena, dia sangat tidak berminat sampai akhirnya memutuskan untuk menidurkan kepalanya di atas meja, dengan lengan yang menjadi tumpuan. Dan pada saat itu, matanya tepat mengarah kepada Nona yang terlihat begitu serius. Entah kenapa dirinya tak ingin memalingkan pandangan dan memilih memerhatikannya dengan lekat.
"Sebelum Ibu melanjutkan materinya, apakah ada di antara kalian yang bisa menyebutkan macam-macam jenis tumbukan pada momentum dan impuls?"
"Saya, Bu!" sahut Nona sembari mengangkat tangannya.
Perbuatannya seketika menjadi pusat perhatian. Lagi-lagi, Nona membuat masalah.
Laki-laki berkacamata yang juga mengangkat tangannya itu, kalah cepat beberapa detik dari pergerakan si murid baru. Sekarang pun dia terlihat tidak terima dengan apa yang telah Nona perbuat.
Bu Susi tampak dilema, dia tahu kalau Radit tidak akan menyukai bila dirinya membiarkan Nona yang menjawab pertanyaan. Jika dirinya melakukan itu, pasti setelahnya dia akan mendapat teguran dari kepala sekolah.
"Iya, Radit. Coba sebutkan jenis-jenis tumbukan!" Bu Susi menghampiri meja Radit tanpa memedulikan Nona.
Nona dibuat tak percaya. Dia sendiri tahu kalau dirinyalah yang lebih cepat mengangkat tangannya daripada Radit. Kalau ujung-ujungnya kepada Radit juga, untuk apa bertanya ke semua orang? Nona berdecih. Mungkin Bu Susi melakukannya hanya untuk formalitas saja.
Siska tersenyum miring melihat Nona tidak dipedulikan. Suasana hati Radit pun seketika berubah menjadi senang kembali saat Bu Susi lebih mementingkan dirinya. Dia melirik Nona sebelum menjawab dengan tatapan matanya yang seakan mengatakan, kalau dirinya memang patut mendapatkannya.
"Tumbukan memiliki 3 macam jenis yaitu, tumbukan elastis sempurna, tumbukan elastis sebagian, dan tumbukan tidak elastis. Tumbukan elastis sempurna yaitu—"
"—yaitu tumbukan yang tak mengalami perubahan energi. Sedangkan tumbukan elastis sebagian, terjadi antara dua benda atau lebih yang menyebabkan energi kinetiknya menghilang, setelah terjadinya tumbukan oleh benda-benda tersebut. Dan yang ketiga, tumbukan tidak elastis yaitu, tumbukan yang akan mengakibatkan dua benda atau lebih menyatu setelah proses penumbukan itu terjadi." Nona mengambil alih penuturan Radit tanpa izin.
Hal itu pun membuat semuanya bergeming. Mereka tak percaya dengan apa yang telah siswi baru itu lakukan. Sedangkan Nona sendiri, dia terlihat biasa saja. Tak ada rasa menyesal dan takut sama sekali. Ada alasan dia melakukannya. Dirinya hanya ingin mendapatkan haknya sebagai murid di kelas 11-1.
Di seberangnya, Radena berdecak beberapa kali. "Itu anak emang nggak ada kapoknya."