BILA BAHAGIA ITU DIJUAL

Sefiti
Chapter #16

TROS?

"Kamu ... beneran pacaran sama Radena?"

Matanya sedikit membulat mendapati pertanyaan tersebut. Dirinya tidak langsung menjawab karena ingin menuntaskan beberapa buku lagi untuk ditata.

Mulutnya menghembuskan napas sambil menutup dus besar yang sudah bersih. Nona menggesernya ke sisi agar terlihat rapi, menumpuknya dengan dus-dus kosong yang lain.

Dia menatap Satria yang tak melepaskan pandangan padanya. Menanti jawaban.

"Soal itu—"

Ponselnya bergetar di dalam saku almamaternya.

"—Maaf, bentar ya Kak." Dia tersenyum tipis sebelum menerima panggilan telepon, yang berhasil menahannya untuk menjawab pertanyaan yang diberikan Satria.

Satria mengangguk. "Angkat aja."

Thalia?

Kenapa gadis selebgram itu meneleponnya? Apa ada hal yang begitu penting?

"Hal—"

"Halo Na, lo cepet ke auditorium sekarang. Cepet!" Terdengar Thalia sangat mendesaknya.

"Ada ap—"

"Pokoknya cepetannn! Gue sama Nabila tunggu di sana ya."

Panggilan berhenti. Thalia tak memberinya kesempatan untuk berbicara.

Nona menggigit bibirnya. Apa lagi sekarang?

"Sori Na. Kenapa? Ada masalah?"

Dia yang masih menatap ponselnya sontak menoleh dan menggeleng. "Nggak tahu. Tapi saya harus pergi dulu ya Kak. Buru-buru," katanya sebelum berbalik dan berlari. Meninggalkan Satria yang belum menerima jawaban atas pertanyaannya.

"Bu, hukuman saya sudah selesai. Apa saya boleh pergi?"

Petugas perpustakaan itu memeriksa rak yang telah Nona isi dengan buku-buku baru. Tak lama dia mengangguk. "¹Sok, mangga. Nanti saya laporkan ke Pak Aldi." ¹Silakan.

Nona tersenyum senang. "Terima kasih." Dia kembali berlari. Mengejar alasan yang membuat Thalia menyuruhnya untuk pergi ke auditorium. Sedangkan di belakangnya, Satria masih belum lepas mengamatinya.

***

Di luar perkiraan, ternyata di depan auditorium sudah dipenuhi oleh murid-murid yang berusaha untuk masuk lebih dulu.

"Ada apa sih? Kok rame banget," gumamnya di antara mereka yang tengah berburu tempat duduk. Terpaksa dia harus menerobos agar bisa mendekat ke posisi Thalia dan Nabila yang sudah menyisakan tempat duduk untuknya.

"Radena? Mau ngapain dia sama Siska di sana?"

Pandangannya baru saja menangkap kehadiran seseorang di tengah keramaian ruangan besar itu. Semua orang sedang menujukan mata ke arahnya, menjadikannya pusat perhatian.

Thalia dan Nabila mengedikkan bahu. "Makanya kita ke sini, ya karena mau tahu. Tadi, si Radena narik Siska dari kelas. Kayaknya dia marah. Karena kita kepo," dia terkekeh sebentar, "jadi kita ikutin. Bukan kita doang, sih. Semua anak yang ada di kelas juga. Dan sekarang lo lihat, hampir semua murid pada datang ke sini."

Mereka duduk di bagian paling atas sehingga mampu melihat seisi ruangan dengan nyaman.

Siska yang berada di titik pusat mengedarkan pandangan pada semua orang yang menontoninya dengan tak suka.

"Lo ngapain bawa gue ke sini? Apa maksudnya? Lo mau gue jadi tontonan satu sekolahan?"

Radena menarik ujung kiri bibirnya singkat.

"Itu lo udah tahu."

Gadis berponi itu ternganga. "What? Lo mau ngapain sih Rad? Udah ah, gue mau balik—"

Radena mencekal lengannya. "Gue nggak izinin lo ninggalin auditorium ini sebelum urusan kita kelar."

Siska mengernyit. "Urusan apa?" Dia bertanya dengan nada tinggi.

Semua orang menyaksikan dua orang itu sembari saling berbisik, menebak-tebak apa yang akan terjadi. Tidak sedikit juga yang mengangkat kamera ponsel untuk merekam adegan per adegannya.

"Urusan lo, sama Nona."

Para kepala di auditorium menoleh ke segala penjuru, mencari si pemilik nama.

Nona menelan ludahnya. Beberapa orang sudah menemukannya. Siska di bawah sana pun menatapnya penuh dendam.

"Radena kok bawa-bawa lo?" Nabila ikut tegang.

"Gue, nggak punya urusan sama murid baru itu. Lo jangan aneh-aneh deh, Rad."

Rahang Radena mengeras. "LO KAN YANG UDAH NARUH ROKOK SAMA PEMANTIK ITU KE LOKER NONA?!"

Siska terpejam sesaat dan badannya tersentak.

"Siska yang ngerjain Nona?"

Lihat selengkapnya