BILA BAHAGIA ITU DIJUAL

Sefiti
Chapter #21

SIAPA DAN KENAPA?

***

"Tio, gue main ke rumah lo ya?" pinta Aryo dengan memelasnya. "Gue suka bingung kalau jam segini di rumah. Nyokap juga suka ngomelin gue."

"Ya iyalah diomelin, kerjaan lo rebahan terus."

Aryo nyengir. "Gimana lagi dong, gue belum siap jadi anak rajin dan ambisius. Jadi anak rajin tuh, banyak godaannya. Lo lihat si Nona? Dia selalu dapet masalah gara-gara terlalu rajin dan berambisi."

Tio menarik kedua sudut bibirnya ke samping. "Terserah lo," balasnya seraya menoyor kepala Aryo. "Ya udah. Lo mau bareng gue naik mobil, apa gimana?"

"Gue taro motor di sini dulu deh. Nanti baliknya, lo anter gue ke sini buat ambil motor. Oke? Gue lagi pengin disupirin."

Mendengar itu, Tio menggigit seluruh bagian bawah bibirnya. Gemas. Temannya ini sangat tidak tahu diri.

"Gue tendang juga muka lo," katanya yang hampir melayangkan tendangan.

Aryo tertawa keras. "Sensi banget lo. Mentang-mentang belum dikasih uang bulanan," ejeknya.

Tio hanya mendelik sebelum memutuskan untuk memasuki mobilnya.

"Gue traktir deh. Mampir dulu ke Taco Bell!" Aryo berteriak seraya menyusulnya ke dalam mobil.

Sebelum memutar kunci, Tio menoleh. "Awas aja kalau lo ngerjain gue lagi, suruh gue yang bayarin. Gue lapor polisi pake kasus penipuan, baru tahu rasa lo."

"Iya-iya. Buruan gas."

Hari ini kegiatan pembelajaran di SMA Berlian berakhir lebih cepat. Karena jadwal Ujian Akhir Semester akan segera dilaksanakan, jadi para guru pun mengadakan rapat untuk mempersiapkannya.

Di sisi lain, si TROS sedang memantau keadaan sekolah menggunakan drone-nya. Setelah beberapa menit beraksi, akhirnya dia mendapatkan sesuatu yang menarik perhatiannya.

"Bukannya dia guru baru yang buat heboh di lapangan?"

Di layar monitor, dia melihatnya sedang berjalan menuju ke tepi lapangan.

Keadaan sekolah sudah mulai sepi. Mungkin karena hampir semua murid sudah meninggalkan area sekolah setelah pemberitahuan pulang lebih awal diumumkan.

Jarak drone dengan keberadaan guru pengganti itu sekitar 100 meter di atas permukaan tanah. Dia tampak sedang menerima panggilan.

"Nataline. Bagaimana—"

Terlihat dia memutar bola matanya malas sebelum menjawab, sebab Pak Adrian sangat tidak sabaran dan terkesan menekannya.

Hola!" ¹Halo;

Sesuai perjanjian, mereka akan berbicara dalam bahasa Spanyol bila dirinya masih berada di lingkungan SMA Berlian.

Pak Adrian yang mengerti dengan kodenya lantas mendehem. "²¿Cómo? ³¿Hay algún avance? ⁴¿Que tienes allí?" ²Bagaimana; ³Apakah sudah ada perkembangan; ⁴Apa yang kamu dapatkan di sana;

Dengan headphone yang sedari tadi menutupi kedua telinganya, keningnya tampak mengerut. Alatnya tak mampu mendengar pembicaraan seseorang dari balik ponsel guru itu.

"⁵Aún no." ⁵Belum;

"Dia lagi ngomongin apaan sih?" Dirinya dibuat bingung dengan percakapan yang didapat. Merasa tak penting, ia pun memutuskan untuk mengakhiri kegiatannya.

"⁶Solo acaba tu misión.Confiar en las corazonadas no es suficiente. ⁸Tienes que tener pruebas." ⁶Akhiri saja misinya; ⁷Hanya memercayai insting saja tidak cukup; ⁸Kamu harus punya bukti;

Mendapati perintah seperti itu, kedua matanya terbelalak. Dia tidak mau menghentikan misinya begitu saja.

"⁹Todavía me quedan 20 (veinte) días, Señor," protesnya. ⁹Saya kan masih punya waktu 20 hari lagi, Pak;

"¹⁰Eres terca, Nataline!" ¹⁰Kamu keras kepala, Nataline;

Lagi-lagi.

"¹¹No soy terca, Señor." ¹¹Saya tidak keras kepala, Pak.

Apa Pak Adrian tidak bisa membedakan antara keras kepala dan gigih?

Terdengar Pak Adrian mendengus dengar kasar. "¹²No importa." ¹²Lupakan;

"Hola? Señor? Hola?"

Nataline sontak menatap layar ponselnya. Panggilan sudah berakhir. "Kebiasaan. Mentang-mentang atasan, jadi bisa seenaknya gitu? Awas aja," gerutunya dengan sebal. Sikap Pak Adrian padanya membuat gairahnya semakin bergejolak. Dia akan membuktikan firasatnya, sehingga pria itu akan bertekuk lutut padanya.

Saat badannya berbalik untuk pergi ke ruang rapat, ia berpapasan dengan Radena yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Mata mereka saling bertemu, tapi tak ada sapaan di antara keduanya. Siswa itu hanya menatapnya dengan dingin, lalu melewatinya begitu saja.

"¹³Mira tu comportamiento, no tienes modales." Sindiran keluar dari mulutnya dengan penuh kesebalan. ¹³Lihatlah dirinya, nggak punya sopan santun;

Mendengar ucapan yang seperti ditujukan kepadanya, Radena pun menghentikan langkahnya dan berjalan mundur menghampiri si guru pengganti.

"¹⁴Solo seré educado con la gente que respeto. Dan sekarang saya belum punya alasan buat hormat sama Ibu." Balasan menohok dari Radena membuat kedua kelopak matanya terbelalak. Dia kira Radena tak akan mengerti tentang perkataannya. ¹⁴Saya cuma bakalan sopan ke orang yang saya hormati aja;

Dia menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. "¹⁵¿Porque? Ibu kira saya nggak bakalan ngerti?" tanyanya, kemudian pergi tanpa menunggu tanggapan. ¹⁵Kenapa;

Nataline masih terdiam dengan pandangan yang tak lepas menyoroti Radena. "Kurang asem," desisnya kemudian.

"Bu Anna!" Bu Susi memanggilnya dari lantai 2. "Ayo cepetan kita ke ruang rapat. Udah mau dimulai nih!"

Terlihat dia menengadahkan kepalanya. "Oke!" sahutnya dengan memberikan acungan jempol kepada perempuan yang masih menunggunya di atas sana.

***

"Si Nano ke mana, sih? Apa dia balik duluan?"

Radena pun merogoh ponselnya untuk menghubungi yang dicari.

"Halo Na. Lo di mana? Gue cariin—"

"Halo Rad. Ini gue Nabila."

Kedua alisnya terangkat. "Bil. Kok hape Nona ada sama lo?"

Nabila yang sedang berdiri di depan gerbang sekolah terlihat gundah. Sepertinya dia juga mencari keberadaan Nona. "Iya. Tadi gue pinjem hapenya ke kelas buat nelponin hape gue yang disembunyiin sama si Tomi. Terus Nona ngomongnya mah mau nungguin di depan sama Thalia. Tapi itu anak berdua nggak ada di sini."

"Itu, lo lagi di depan?"

"Iya."

"Gue ke sana sekarang," katanya sebelum memutuskan panggilan.

Nabila kini beralih ke ponselnya untuk menelepon Thalia. Barangkali mereka sedang pergi bersama ke suatu tempat.

Lihat selengkapnya