***
Bahana klakson dan mesin kendaraan yang semula memenuhi ruang pendengarannya, kini menghilang tergantikan dengan kicauan burung, dan sayup-sayup terdengar suara air terjun dari sungai di area hutan.
Sembari membawa motornya dengan kecepatan rendah, Radena tak lepas memerhatikan sekitarnya, mencari sosok Nona yang belum terlihat batang hidungnya.
Gesekan ban dan muka jalan terdengar kasar. Radena mengerem motornya mendadak karena berhadapan dengan jalan yang bercabang. Laki-laki itu berdecak. Jalan mana yang harus dia lalui? Ke mana mobil itu pergi? Utara atau selatan? Kanan atau kiri?
Radena menghela napasnya. Selatan. Dirinya memutuskan untuk mengarahkan motornya ke arah sana. Namun, saat bannya nyaris akan berputar, sesuatu menahannya. Pendengarannya menangkap bunyi outsole sepatu pantofel yang beradu dengan permukaan jalan. Dia selalu mendengarnya di sekolah. Bunyinya begitu khas. Sangat mudah untuk dikenali.
Keadaan sekitar yang sepi membuat bunyi langkah sepatu itu sangat dominan di telinganya. Begitu jelas dan jernih. Lantas, matanya mulai mencari sumber suara berasal. Kurang dari 5 sekon, kedua alisnya terangkat. Terkejut sekaligus senang karena berhasil menemukan sosok yang dicarinya sedari tadi.
"Nano!"
Gadis itu sudah menyadari keberadaannya. Tampak ia membuang napas lega. Setelah kurang lebih 10 detik saling menukar tatap, Nona menjatuhkan diri. Terduduk di jalanan. Dia lelah. Kakinya pegal. Tumitnya juga sakit. Tentu saja. Dia sudah berjalan kaki sebanyak 14.000 langkah. Menempuh jarak 7 km dengan beberapa kali istirahat.
Melihatnya seperti itu, Radena pun lekas menghampirinya. Dia membawa motornya ke arah utara. Arah yang berlawanan dengan pilihannya. Perlu menghapus jarak kurang lebih 10 meter dari posisinya untuk mendekat.
Merasakan kehadiran orang lain di sampingnya, Nona mendongak dengan dada yang naik turun. Ia masih mengatur napasnya.
"Na, lo nggak luka kan? Lo nggak diapa-apain?" tanyanya setelah berjongkok di depan siswi itu.
Nggak diapa-apain?
Nona menautkan kedua alisnya. Sebelum mengeluarkan suara, ia mendehem karena tenggorokannya terasa kering.
Radena mengerutkan kulit bibirnya sebelum turut mendudukkan diri di jalanan. Tangannya menyentuh pegangan ransel untuk melepaskannya dari gendongan lalu menaruhnya di depan, tepat di ujung sepatunya. Ada yang ingin dia ambil.
"Nih, minum," suruhnya setelah membuka tutup pada botol minuman yang dia beli dari pedagang asongan tadi.
Nona menerimanya tanpa berpikir. Lagi pula ia sangat membutuhkannya. Sungguh, hari ini hari yang amat melelahkan. Dirinya tak pernah melangkahkan kaki sejauh itu.
Sembari menutup botol kembali, Nona melirik Radena yang terus memerhatikannya.
"Kamu ... tahu Rad?" tanyanya ragu-ragu.
"Jadi bener, lo dibawa orang ke sini?" Dia meresponsnya dengan pertanyaan lagi. Menciptakan tanda tanya. Nona belum bisa mengerti alurnya.
"Iya," akunya walaupun situasi yang dirasa begitu mengherankan.
Laki-laki di hadapannya mendengus. "Lo ikut gue. Kita cari tempat yang enak buat cerita."
Nona pun mengangguk pelan. Matanya terus menyoroti pergerakan Radena yang sudah membelakanginya. Bibirnya tertarik sehingga senyuman tipis pun terlukis. Kehadiran laki-laki itu sangat tidak dikira. Tingkah lakunya juga membingungkan.
Apa Radena tahu sesuatu?
***
Motor KTM Duke 200-nya berhenti di parkiran yang tidak jauh dengan lapak para pedagang kaki lima. Tepat di sampingnya ada lapak pedagang mi ayam yang dilengkapi tenda serta bangku panjang di dalamnya. Tampak ada beberapa orang yang duduk di sana, menunggu pesanannya.
"Turun dulu," titahnya pada Nona.
Gadis itu menurut. Ia sedikit meringis sewaktu memijakkan sepatunya ke aspal. Telapak kakinya hampir mati rasa. Sangat tidak nyaman. Untung saja dia memakai kaus kaki. Kalau tidak, mungkin kakinya akan sampai lecet.
"Lo duduk duluan ke sana." Radena mengarahkan dagunya ke tempat pedagang mi ayam. "¹Mang, ngiring calik nya?" izinnya pada si pemilik. "²Sakantenan mesen 2 mangkok." ¹Bang, numpang duduk ya; ²Sekalian pesen 2 porsi;
Abang penjual mi ayam itu menoleh dan mengangguk dengan antusias. "³Mangga-mangga-mangga. ⁴Diantosnya." ³Silakan. ⁴Ditunggu ya;
Radena melirik Nona yang kikuk. "Lo suka mi ayam nggak?"
Yang ditanya mengangguk kaku. "Suka kok."
"Ya udah, sana."
"Kamu mau ke mana?" Nona menahan Radena yang akan berbalik.
"Mau ke sebelah sana dulu bentaran." Ia melirik lapak PKL yang berjejer di pinggir jalan. "Lo tunggu di sini. Kalau pesenannya udah beres, lo makan duluan aja." Matanya menatap sepatu Nona sesaat sebelum beranjak ke lapak pedagang yang akan dituju.
Nona yang belum memiliki tenaga penuh memilih untuk membisu. Dia tidak ingin banyak berbicara dulu. Setelah mengamati arah pergi Radena, kakinya mulai bergerak. Dia memasuki tenda penjual mi ayam yang hanya berjarak 5 meter dari parkiran.
"Aw." Bibirnya digigit. Menahan sakit ketika melangkahkan kaki.
Tahan, Na. Tahan. Bentar lagi pulang.
Sedetik kemudian dia terpikirkan satu perkara. Apa yang harus dikatakan pada mama dan kakaknya? Jika berterus terang, sepertinya itu akan menciptakan kekhawatiran yang luar biasa. Apalagi Maya. Kecemasan mamanya semakin tinggi semenjak sang papa di penjara.
"⁵Néng, ieu mi ayamna tos janten!" Panggilan si abang mi ayam menyadarkannya. ⁵Mbak, ini mi ayamnya udah jadi;
Dia langsung menoleh dan segera menempati meja yang kosong.
"⁶Mangga, sing raos," ucapnya pada Nona yang sudah duduk dengan nyaman. ⁶Silakan dinikmati;
Senyuman manis dia tunjukkan. "Terima kasih Bang."
Pria bertopi itu mengangguk. "Minumnya mau apaan Néng? Ada es jeruk, es kelapa, es teh manis, teh tawar anget, air mineral juga ada."
Nona melipat bibirnya. Menentukan pilihan.