"Kayak gini?"
Matanya sontak dibuat berhenti berkedip. "Dia orangnya, Rad. Kayak gini. Walaupun nggak 100% mirip sih," katanya seraya mengambil sketchbook dari tangan Radena.
"Emangnya gue peramal sampe bisa ngebayangin wajahnya kayak gimana, cuma dengerin deskripsian dari lo doang?" sinisnya. "Namanya juga perkiraan."
"Siapa juga yang bilang kamu peramal," balasnya tak kalah sinis. "Baru aja dibikin kagum, udah nyebelin lagi. Dasar," gumamnya dengan mata yang kembali mengarah ke sketchbook yang masih ada di genggamannya.
"Kalau yang satunya lagi gimana?" Dia mengubah topik pembicaraan.
"Saya nggak terlalu inget karena dia fokus nyetir. Tapi dari perawakannya, dia lebih kecil dari orang ini. Rambutnya juga nggak terlalu gondrong. Di telinga kirinya saya lihat dia pake anting plug putih yang diameternya kurang lebih 1 sentian."
"Selain itu apa yang lo dapet?"
"Nggak ada lagi. Sepanjang perjalanan, mereka ngobrolnya pake bahasa Sunda. Dan saya inget, orang ini nerima telepon gitu." Tunjuknya pada wajah yang tergambar di atas kertas itu.
"Lo inget apa yang mereka bicarain?"
Sudur bibir kirinya tertarik ke samping. "Bentar." Dia berusaha mengingatnya kembali. "Enya siap. Ieu awéwé bakalan kuring sasabkeun ka leuweung nu jauh ti kota. Yakin lah, moal bisaeun balik."
"Si anjir." Radena mengumpat.
"Artinya apa?"
"Iya siap. Cewek ini bakalan gue bikin nyasar ke hutan yang jauh dari kota. Yakin deh, nggak akan bisa pulang."
"Berarti mereka suruhan?"
"Kayaknya sih gitu."
"Suruhan siapa?"
"Mana gue tahu," balasnya dengan ketus.
"Ish, biasa aja kali."
Radena mendengus. "Nanti gue cari tahu. Sekarang lo gue anter balik. Nyokap lo udah nungguin."
Nona sedikit mengerucutkan bibirnya. Dia sangat penasaran tentang motif orang-orang yang membuangnya ke hutan. Siapa orang-orang itu sebenarnya? Apa motifnya?
"Nih, ponsel lo. Gue belum cerita apa-apa kok ke keluarga lo. Tadi, waktu ke rumah, gue cuma bilang kalau lo nggak ada di sekolah. Terus, mereka panik dan akhirnya nyimpulin lo hilang. Karena mereka posisinya lagi khawatir, gue mutusin buat nggak ngasih ponsel lo dulu. Yang ada mereka tambah khawatir, lagi, tahu lo nggak bawa ponsel."
"Makasih udah mau bantu nyariin saya."
Radena tertawa mengejek. "Harus dong. Lo kan masih punya hutang ke gue. Ngajarin Matematika. Mana ada gue biarin lo kenapa-kenapa. Bayarannya kan udah gue kasih. 6 juta. Jadi, kerjanya harus bener. Biar gue nggak rugi."
Senyumannya seketika lenyap. Sanjungannya terhadap laki-laki di hadapannya dia tarik kembali. Sangat menjengkelkan.
***
"Kamu dari mana aja Na? Jangan bikin khawatir deh." Maya menyambutnya dengan kerisauan.
Nona melipat bibirnya dalam-dalam.
"Itu... Nona ada kok di perpustakaan. Baca novel, sampe ketiduran. Pas kebangun dan mau keluar, pintunya dikunci. Ponsel Nona mati, jadi nggak bisa hubungin siapa pun. Tadi kan belajarnya nggak efektif, Nona bete. Makanya pergi ke perpus." Tawaan garing dia lontarkan. Terlihat sangat kaku. Perihal ponselnya yang mati, itu memang fakta. Baterainya habis setelah terakhir kali digunakan Nabila.
Radena yang ikut serta hanya bisa mengulum tawa. Mimik wajah Nona sangat lucu bila sedang berbohong.
"Iya kan Rad?" Nona meminta dukungan.
"Ha? Oh ... iya. Dia di perpus Tante." Radena terkekeh. "Perpus di SMA Berlian kan gedé, terus Nona duduknya di paling ujung. Makanya nggak kekontrol sama pengawas."
Maya dan Calvin saling tatap.
"Pantesan ditelponin nggak aktif," ujar Calvin.
Maya menghela napasnya. "Tumben kamu ketiduran di sekolah. Biasanya melek terus. Apalagi depan banyak buku."
Ah iya. Dia melupakan kebiasaannya sendiri. Berbohong membuat pikirannya buntu dan tidak fokus.
"Udara Bandung hari ini dingin Ma. Bawaannya jadi ngantuk terus."
"Iya juga sih." Maya termakan dalihan putrinya.
"Sepatu kamu mana? Kok pake sandal gitu?" tanya Calvin curiga. Gelagat adiknya amat mencurigakan.
Nona memandangi sandal bulu yang dia pakai.
"Ini, dikasih Radena. Dia tahu aku suka sandal bulu kayak gini. Jadi dibeliin biar ngajarnya makin semangat." Ia tersenyum lebar. Namun tidak enak dipandang.
Sontak Radena menegang saat Calvin menoleh padanya. Firasatnya, pemuda itu akan mengeluarkan godaannya lagi.
"Dikasih apa dikasih? Modus, kali." Nada bicaranya sangat menyebalkan.
"Calvin," Maya menepuk pahanya, "jangan jail."
Calvin langsung merapatkan mulutnya. Tapi matanya masih memberi godaan yang menohok.
"Nak Raden, makasih ya udah anter Nona pulang. Maaf ngerepotin."
"Sama-sama Tante. Santai aja."
Maya tersenyum hangat padanya. "Jangan langsung pulang ya. Makan dulu di sini. Mau belajar juga kan sama Nona?"
Kepalanya menggeleng. Menolak. "Nggak usah Tante. Terima kasih tawarannya. Hari ini libur dulu deh belajarnya."
"Kenapa?" Nona heran.
"Nggak apa-apa. Lo lanjut tidur aja," ledeknya.
Nona membersut. Radena selalu menyisipkan kata-kata menyebalkan di setiap percakapannya.