BILA BAHAGIA ITU DIJUAL

Sefiti
Chapter #24

MENINGGAL?

***

Beberapa kali ponselnya bergetar, memberitahu bahwa ada panggilan yang masuk. Sedari tadi Calvin terus meneleponnya. Nona sampai dibuat heran. Kakaknya tak biasa menghubunginya di jam aktif belajar. Apa ada hal penting?

"Nona, saya sudah bilang matikan ponselnya. Kenapa masih ngeyel?" Pak Uman sudah mulai terganggu. Guru Sejarah itu memerhatikannya.

"Tapi Pak, ini dari kakak saya. Saya boleh minta izin—"

"Tidak ada. Saya tidak akan memberikan izin untuk itu. Sekarang matikan ponselmu atau saya banting?" ancamnya dengan ganas.

"Udah Na. Matiin aja. Kalau lo mau dapet izin dari Pak Uman, lo harus jadi murid istimewa dulu," bisik Nabila.

Nona pun menghela napasnya dengan sangat berat. "Baik Pak," katanya kemudian.

Di tempatnya, Siska tak lepas menatapnya dengan sinis. Tangan kanannya menggenggam bolpoin sangat kuat, dan sesekali ditekankan ke muka meja. Dia benar-benar sangat kesal.

"Nona!" Panggilan Radena dari ambang pintu mengalihkan perhatian semua pasang mata. Ia sama sekali tak menghiraukan Pak Uman yang saat ini sedang memandanginya. "Ayo balik!" Wajah laki-laki bermata abu itu tampak sangat panik.

"Ngapain?"

Radena membuang napasnya kasar, lalu memutuskan untuk menariknya keluar. Nona yang mendapatkan perlakuan dadakan itu sontak membulatkan bola matanya.

"Ayo, jangan banyak tanya!" Raut wajah datarnya berubah menjadi sangat serius.

"Tapi ini?"

Radena tak menggubrisnya. Dia juga tak memedulikan orang-orang yang kini dibuat kebingungan dengan tingkah lakunya akhir-akhir ini.

Pak Uman geleng-geleng kepala. "Untung aja dia cucunya Pak Setyo," gumamnya. Guru itu pun kembali mengarahkan pandang kepada para muridnya. "Biarin aja mereka. Mari kita lanjutkan pembelajarannya."

Nabila dan Thalia saling melempar pandang.

"Si Nona mau ke mana?" Thalia bertanya tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.

Nabila menggeleng tidak tahu.

***

"Rad, kita ngapain pulang?" Nona bertanya beberapa kali, tapi Radena hanya diam dan terus menariknya menuju parkiran.

"Radena! Denger nggak sih?"

Langkahnya terhenti. Dia berbalik dengan sengit. "Kenapa lo nggak angkat telepon dari Kak Calvin?"

"Pak Uman nggak ngizinin."

Radena mendengus. "Dia telepon gue dan minta gue anterin lo balik."

"Ada apaan?"

Bahunya mengedik. "Gue nggak tahu. Dia cuma bilang gitu doang."

Nona membungkam mulutnya. Entah kenapa tiba-tiba dadanya terasa sesak.

"Lo kenapa?" Radena yang akan memakai helmnya pun dibuat berhenti bergerak.

Nona menatapnya dengan tatapan sayu. "Perasaan saya nggak enak."

"Lo jangan mikir macem-macem. Ayo cepetan naik," ajaknya sebelum melanjutkan aktivitasnya.

Gadis itu menghembuskan napasnya pelan sebelum menduduki jok motor.

***

Kedua tangannya mencengkram erat seragam Radena. Walaupun cengkramannya terlihat sangat kuat, sebenarnya dia merasa tak bergairah dan lemas. Nona tak pernah merasa seperti ini sebelumnya.

"Na!" Radena sedikit berteriak.

Nona yang melamun dibuat tersadar oleh panggilannya. "Iya?" sahutnya.

"Gue mau tanya sesuatu sama lo." Radena berusaha mencairkan suasana. Sepertinya Nona sedang merasa khawatir terhadap sesuatu.

Lihat selengkapnya