BILA BAHAGIA ITU DIJUAL

Sefiti
Chapter #25

DITAMPAR?

***

"Heh, Nabila." Siska memanggilnya sembari mengetuk-ketuk meja.

Nabila dan Thalia yang sebelumnya sedang membicarakan sesuatu hal pun dibuat menoleh kepadanya.

"Apa?" tanya Nabila dengan heran.

"Si Nona ke mana? Udah 2 hari nggak masuk sekolah. Gue denger-denger sih, katanya dia lagi sakit. Sakit apaan? Parah nggak? Semoga parah ya. Biar mati sekalian," celetuknya.

"Kalau ngomong dijaga!" Nabila dibuat bangkit dari duduknya. Dia sangat tidak terima dengan perkataan Siska yang kurang ajar itu.

Lagi-lagi suasana kelas 11-1 dibuat panas oleh ulah Siska. Radit yang terduduk di kursinya tak lepas memerhatikan. Telinganya juga sesekali menguping pembicaraan Siska tentang Nona. Dia sama halnya penasaran dengan kabar saingannya itu.

"Udah berani lo sama gue sekarang? Ketularan si Nona, ya? Wajar sih," katanya seraya menyeringai.

"Siska, lo kalau ngomong jangan asal ceplos dong. Enak aja ngedoain Nona kayak gitu." Protesan itu datang dari Thalia. "Dasar setan," umpatnya.

"Ngomong apa lo barusan?" Siska menatapnya dengan sangat tajam. "Enak aja bilang gue setan."

"Emang kelakuan lo kayak setan!" jelas Nabila dengan terang-terangan. Kali ini Siska benar-benar sudah di luar batas kesabarannya.

"BERANI LO SAMA GUE? HAH?!" bentaknya sebelum mendorong bahu Nabila dengan kasar. "GUE LAPORIN BOKAP, TAHU RASA LO!"

"Dasar manja." Cibiran Nabila semakin membuatnya emosi.

"SIALAN LO YA!"

Semua pasang mata dibuat terbelalak sebab Siska baru saja menampar pipi kanan Nabila dengan sangat kasar.

"Siska. Lo kelewatan!" keluh Thalia dengan syoknya.

Nabila terlihat memegangi pipinya yang sedikit memerah.

"Lo mau? Sini, gue tampar juga lo—" Pergerakan tangannya yang satu senti lagi akan mendarat di pipi Thalia, tertahan oleh cekalan seseorang di lengannya.

"Bethany Siska, tangan kamu nggak tahu sopan santun ya? Seenaknya nampar pipi orang. Tuhan tuh nyiptain anggota tubuh, supaya kita bisa beraktivitas dengan sebaik-baiknya. Mau kamu, tangannya diambil Tuhan? Tuhan bisa lho, ambil tangan kamu kapan aja Dia mau," katanya dengan santai namun menohok.

Kelopak mata Siska melebar sempurna dengan mulut yang terbuka sedikit.

"Lepasin!" teriaknya sembari berusaha mengeluarkan lengannya yang terkunci di tangan si guru pengganti.

"Nggak akan sebelum kamu minta maaf."

Siska mendecih. "Saya nggak mau!"

"Nggak mau, ya? Oke kalau gitu."

"HAH!"

"EH!"

"WAH!"

"WADUH!"

"NO!"

"OMG!"

"GILAK!"

Suara reaksi keterkejutan datang dari mereka yang menyaksikan tindakan Bu Anna. Ia berhasil menamparkan tangan Siska ke pipinya sendiri.

"Impas ya," ucapnya seraya menjatuhkan lengan Siska dengan kasar. Bibirnya tersenyum manis.

Dada Siska terlihat naik turun. Matanya memerah dan menahan tangis. Dia sangat tidak terima dengan perlakuan Bu Anna terhadapnya.

"Guru sialan!" jeritnya sebelum melangkah keluar kelas dengan tangan yang memegangi pipi. Sepertinya dia akan melaporkan perlakuan yang diterimanya itu.

"Anak manja," gumamnya sebelum mengalihkan pandangan kepada Nabila dan Thalia. "Masih sakit?" tanyanya sembari memegangi pipi Nabila. Wajahnya tampak sangat cemas.

Nabila menggeleng. "Udah nggak apa-apa kok Bu. Terima kasih."

Thalia mengelus dadanya sembari membuang napas. "Terima kasih ya Bu. Kalau nggak ada Ibu, pasti saya juga udah kena tampar," cerocosnya.

"Tapi Bu, gimana kalau Ibu kena masalah?" tanya Nabila khawatir.

Bu Anna tersenyum tipis. "Udah, nggak usah dipikirin," jawabnya dengan tenang. Dia sama sekali tidak merasa ketakutan.

Nabila dan Thalia saling pandang.

"Nona masih sakit?"

Thalia mengangguk. "Kemarin kita udah jenguk Nona. Cuman, kayaknya Nona masih berdu—"

Nabila menyenggol lengannya. Sadar kalau dirinya hampir keceplosan, Thalia seketika melipat bibirnya dalam-dalam. Tidak ada yang tahu mengenai keadaan Nona yang sebenarnya. Radena melarang mereka untuk membeberkan itu karena akan berdampak buruk bagi aktivitas Nona di sekolah. Orang-orang yang membencinya pasti akan menjadikan itu sebagai bahan untuk menjatuhkan mentalnya.

"Kok nggak dilanjut?"

"Nggak jadi Bu. Saya lupa mau ngomong apa." Dalihan Thalia malah membuatnya semakin penasaran.

"Ya udah. Kalian bisa duduk," suruhnya sebelum berjalan menuju meja guru.

"Siapkan buku belajar kalian," instruksinya mendapat berbagai reaksi.

"Iya Bu."

Dengan jari-jari tangan yang membuka lembaran demi lembaran buku, Radit meliriknya sangat tajam. Bagaimana bisa guru pengganti itu memperlakukan Siska seperti tadi? Itu tindakan yang akan merugikan dirinya. "Nyalinya gedé juga."

***

Perhatian Calvin teralihkan saat matanya menangkap sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depan pagar rumah. Tangannya yang semula menggosok-gosokkan sponge ke badan motor pun terhenti, dan memilih untuk menundanya. Pandangannya tak lepas menyoroti seorang perempuan yang keluar dari dalam mobil dan sedang berjalan ke arahnya.

Keningnya mengerut. Apa mau nyervis mobil?

Dia mendehem canggung saat perempuan itu sudah berada di hadapannya.

"Permisi. Apa ini rumahnya Nona?" tanyanya dengan memberi senyuman kecil.

"Nona?" Calvin mendadak linglung. "Oh, Nona. Iya, dia adik saya," katanya kemudian, dengan nada yang datar. "Anda siapa?"

"Saya guru Bahasa Indonesia-nya Nona."

Calvin menatapnya dengan penuh selidik.

"Ada perlu apa cari Nona? Nona buat masalah di sekolah?"

Lihat selengkapnya