***
"Gimana? Suka kan lo? Mangkanya jangan suuzon."
Nona menoleh padanya dengan kesal. "Iya maaf. Salah kamu juga nggak mau ngasih tahu detailnya."
Radena hanya meliriknya, lalu memutuskan untuk duduk lesehan. Dirinya terlihat menikmati angin yang berhembus ke seluruh kulit tubuhnya. Sepertinya ia sangat menikmati suasana di sini.
Nona yang masih berdiri memandanginya sesaat dan ikut duduk di sampingnya.
"Adem banget," gumamnya dengan mata yang terpejam.
Mendengar itu, Radena membuka kelopak matanya dan menengok ke arah Nona yang terlihat sangat nyaman.
"Lima bulan yang lalu, gue juga pernah ada di posisi kayak lo sekarang."
Kedua matanya pun terbuka dan ia menegakkan duduknya. Kini pandangan mereka bertemu.
"Gue juga nggak bisa semudah itu buat nerima kenyataan yang nggak pernah gue harepin. Walaupun kodratnya kematian itu pasti ada, tapi manusia berhak buat terkejut dan sukar nerima itu semua dalam waktu yang singkat."
Tak ada sanggahan. Gadis berambut wavy itu hanya ingin mendengarkan cerita.
"Gue ngerasa bersalah karena nggak bisa jagain nyokap. Gue nyesel karena belum jadi anak yang baik dan belum bisa ngebanggain dia."
"Mangkanya gue berusaha buat lakuin harapan nyokap satu per satu. Siapa tahu dia mantau gue dari atas sana," katanya seraya memandangi langit. "Lo juga harus bangkit Na. Jangan ngunci diri lo di dalam keterpurukan. Lakuin hal yang bisa bikin bokap lo bangga. Penuhin janji-janji lo. Walaupun dia udah nggak ada sama lo di dunia ini, tapi keberadaannya di hati lo nggak bakalan pernah sirna." Dia tersenyum getir. Setiap kata yang telah dia keluarkan harus ditelan kembali.
"Saya sebenernya udah berusaha buat ikhlasin kepergian papa. Cuman...."
"Cuman apa?"
"Cuman saya belum bisa percaya sama penyebab papa meninggal. Itu aneh banget. Nggak masuk akal. Masa bisa tiba-tiba serangan jantung. Ada yang janggal. Saya bener-bener yakin," tegasnya.
"Apa yang bikin lo yakin kalau kematian bokap lo itu janggal?"
"Papa itu bukti fisik."
"Bukti fisik? Maksudnya?"
Nona memandangnya lumayan lama. "Waktu itu, kamu pernah nanyain soal papa saya kan?"
Radena membenarkannya.
"Sebenarnya saya nggak boleh cerita soal ini. Aturan pemerintah yang harus kami patuhi. Kasus papa saya nggak boleh diketahui publik. Saya juga nggak tahu alasannya kenapa. Intinya, kasus papa saya itu rahasia negara."
Jarinya menggaruk ujung alis. Laki-laki itu belum bisa memahami.
"Papa saya dipenjara atas kasus yang nggak dia lakuin. Pembunuhan sama korupsi. Papa nanggung kesalahan orang lain. Dia difitnah. Mau lepas dari tuduhan pun nggak ada peluang. Bukti, saksi, semuanya ngarah ke papa."
Kelopak matanya melebar. Pertanyaannya terbayarkan.
"Sampai aset-aset keluarga juga disita. Termasuk rumah. Itu alasan kenapa saya sekeluarga pindah ke sini. Ke rumah lama sebelum mama sama papa ngerantau ke Jakarta."
Radena menghela napasnya. Pantas saja Nona begitu gigih dalam melawan ketidakadilan. Alasannya sangat kuat.
"Mereka pasti nggak mau papa tetep hidup. Jadi, kemungkinan... papa sengaja dilenyapin."
"Mereka?"
Hening sejenak. Nona mengatur napasnya sebelum memberi penjelasan.
"Kata Kak Calvin, waktu dia jenguk papa kemarin, papa sempet bilang kalau ada orang yang emang ngejebak dia dan jadiin papa kambing hitam. Tapi papa nggak ngasih tahu siapa orangnya, karena katanya... mereka itu orang-orang yang berbahaya."
"Kenapa nggak minta buat diautopsi dulu sebelum dikubur? Dengan itu penyebab meninggalnya bokap lo bisa kebukti kebenarannya kayak gimana."
"Kata mama percuma. Lagian kalau pun bener papa dibunuh, kami nggak punya bukti. Mama juga nggak mau papa tersiksa dua kali. Dan ... nggak ada yang bisa dipercaya. Lagian, mama ngelarang keras buat ngurusin hal ini."
Radena mengerucutkan bibirnya. Menyimpulkan sesuatu.
"Apa jangan-jangan, bokap lo emang diawasin di sana, terus ada yang dengerin obrolannya soal orang itu?" Radena mengutip jari-jarinya di kata terakhir dalam kalimatnya, "so, bokap lo sengaja dibunuh biar identitas orang itu nggak kebongkar."
Nona mengangkat bahunya. "Saya nggak tahu pasti. Tapi kayaknya gitu. Sumpah mereka jahat banget. Kok bisa sih ada manusia kayak gitu?" Nona kembali terisak. Dia menutup wajah dengan kedua tangannya. Terlihat punggungnya naik turun karena sesenggukan.
Radena memerhatikannya dengan iba. Perlahan tangannya menepuk-tepuk punggung Nona dengan pelan.
"Daripada lo kenapa-kenapa, lebih baik lo diem aja dulu. Ikutin alurnya dan hidup normal lagi. Siapa tahu orang-orang itu ngawasin kalian sekeluarga."
Mendengar itu, perlahan isakannya memudar. Nona kembali menegakkan duduknya.
"Thanks," katanya setelah menghembuskan napas.
"Buat apaan?"
"Pokoknya terima kasih." Entahlah. Baginya Radena sudah sangat meredakan kesenduannya.
Radena yang bingung hanya terdiam dengan tangan yang menggaruk dahinya. "Aneh lo. Kesambet ya?" katanya seraya menoyor dahi Nona pelan.
"Ih, nggak sopan."
Tiba-tiba suara dering ponsel menyela obrolan keduanya.
"Bentar."
Radena merogoh ponselnya di saku celana, dan mendapati ada panggilan dari nomor yang tidak dia kenal.
"Halo."
"Halo selamat sore. Apa benar ini dengan saudara Radena?"