BILA BAHAGIA ITU DIJUAL

Sefiti
Chapter #27

APA HUBUNGANNYA?

***

Radit tertunduk dengan tangan yang mengepal sangat kuat, sampai ujung kuku-kukunya nyaris menancap di telapak tangan.

"Ini hasil ujian sekolahmu di hari kelima, dan posisimu masih kesaing sama anak baru itu!" Bentakan Adiguna membuatnya tersentak. "Kalau begini terus, anak itu harus keluar dari SMA Berlian. Atau posisi kamu akan terus menurun."

Radit mengangkat wajahnya untuk menatap papanya. "Papa nggak bisa ngeluarin dia."

Adiguna terlihat membenarkan posisi kacamatanya. "Kenapa nggak bisa? Papa punya wewenang buat lakuin itu."

"Anak baru itu temen deketnya cucu Pak Setyo. Jadi susah buat ngeluarin dia."

"Radena atau Satria?"

Radit berdehem. Kerongkongannya mendadak sakit. "Radena."

Pria berkacamata itu tertawa sinis. "Itu bukan penghalang. Papa bisa bikin Pak Setyo tunduk sama Papa. Tapi Papa tetep nggak mau hasil ujian kamu besok di bawah dia. Kalau itu terjadi lagi, kamu bakalan Papa hukum!" peringatnya sebelum meninggalkan Radit di ruang tamu.

Radit mengacak rambutnya dengan penuh kekesalan. Dirinya benar-benar tertekan dengan semua ini. Ingin rasanya memekik, tapi itu hanya bisa dia tahan di dalam benaknya. Sakit. Rasanya sangat sakit dan menyiksa.

"Nona sialan!" Dia menggeram.

***

Sabtu, 20 November 2021

Ujian sekolah di SMA Berlian berbasis komputer. Jadi, para murid akan melakukan kegiatan itu di laboratorium komputer yang sudah disediakan untuk masing-masing kelas. Di SMA Berlian, setiap kelas pun difasilitasi laboratorium komputernya sendiri. Dan karena itu, murid-muridnya pun tak mengenal yang namanya pembagian jadwal untuk penggunaan laboratorium komputer dan fasilitas lainnya.

Nona terduduk di kursi depan laboratorium sembari mendengarkan alunan instrumen klasik favoritnya melalui earphone. Di tangannya, ia memangku buku kumpulan soal-soal Matematika dan sebuah bolpoin yang sesekali ia gigit.

"Na." Thalia mencolek lengannya.

Nona pun menoleh ke arah kanannya seraya melepaskan salah satu earphone dari telinganya. "Apa Tha?"

"Lo serius itu cuma ngelihatin doang soalnya, terus nemu jawabannya?" tanyanya dengan takjub saat memerhatikan Nona yang sedari tadi memberi tanda silang di setiap jawaban, hanya dengan melihatnya saja.

Nona tertawa. "Ya nggak lah. Saya itung kok."

"Lo ngitungnya gaib apa gimana?" Nabila juga sama herannya.

"Nona." Radit yang tiba-tiba menghampiri tempat mereka, membuat ketiganya menoleh.

"Ada apa? Tumben," sahutnya dengan santai seraya bangkit dari duduknya.

"Ikut gue."

Thalia dan Nabila saling tatap. Apa Radit akan melakukan sesuatu kepada Nona? Semoga saja tidak. Tapi sepertinya iya.

"Ngapain?"

"We need to talk."

Nona mengerutkan keningnya dengan sempurna. "Di sini kan bisa."

"Gue butuh privasi. Ayo cepet. Keburu masuk." Radit pun berbalik dan berjalan mendahuluinya.

Gadis itu menghela napas, lalu menengok kepada teman-temannya."Saya pergi dulu. Nitip, ya," katanya dengan menyimpan buku beserta earphone-nya ke atas telapak tangan Nabila. Sesudahnya, ia langsung berlari kecil mengejar Radit yang telah menciptakan jarak begitu jauh darinya.

"Gue kalau jadi si Nona, kayaknya udah tinggal nama deh," ucap Thalia selama menyoroti kepergian Nona. "Si Nona mentalnya kebal banget. Gilak."

Nabila tak memberi sanggahan. Pandangannya kini hanya mengikuti pergerakan Nona yang sekarang sudah sangat jauh di depan sana.

***

"Nona mau ke mana?" gumamnya seraya bangkit dari posisi rebahannya di atas bangku panjang yang ada di perpustakaan.

Ponselnya akan secara otomatis memberikan notifikasi setiap Nona berpindah tempat. Hal itu terjadi karena GPS yang telah ia pasang pada gelang pemberiannya waktu itu, sudah terhubung dengan ponselnya. Alasannya sederhana. Dirinya tak mau kejadian buruk pada Nona terulang lagi. Jadi untuk kewaspadaannya, ia pun melakukannya tanpa sepengetahuan gadis itu. Ilegal?

***

"Butuh ngomong apa?" tanyanya to the point. "Kita punya waktu 10 menit sebelum bel masuk."

"Gue minta, di ujian hari ini lo jangan isi semua soal sama jawaban yang bener."

Salah satu alisnya terangkat. "Maksudnya, saya harus berlagak bodoh, gitu?" Dia tertawa.

"Kali ini gue bener-bener peringatin lo, Nona," tekannya dengan menodongkan jari telunjuknya tepat di depan wajah Nona. "Semenjak lo dateng, posisi gue jadi turun."

Nona menghela napas singkat. "Radit, saya nggak bakalan ngebodohin diri saya sendiri. Kalau ada soal yang bisa saya jawab, ya saya bakalan jawab. Kamu kenapa sih berlebihan banget ngejar nilai? Ambisius boleh aja. Tapi, jangan sampai kamu ngerugiin orang lain karena itu."

Radit mendecih. Ucapan Nona tidak menembus perasaannya sama sekali.

"Kalau kali ini nilai gue di bawah lo lagi, liat aja, bokap bakalan keluarin lo dari sini."

Nona sedikit memiringkan kepalanya. Salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas. "Dasar murid istimewa." Dia berdecih. "Keliatan banget sih, kalau kamu itu pengecut. Bisanya cuma berlindung di balik kekuasaan."

"Apa lo bilang?!" Radit melotot dengan tangan yang menarik kerah almamater lawan bicaranya.

Nona menatap cengkraman Radit di kerahnya. "Lihat sendiri kan? Kamu emang pengecut. Setelah nyuruh orang buat buang saya ke hutan, sekarang kamu minta saya nurutin kemauan kamu? Nggak waras."

Rahangnya semakin mengeras. Tak lama, Radit pun melepaskan cengkramannya dengan kasar sampai membuat Nona sedikit terdorong.

Lihat selengkapnya