BILA BAHAGIA ITU DIJUAL

Sefiti
Chapter #28

KE PEMAKAMAN?

***

SMA Berlian memiliki peraturan yang sangat berbeda dari sekolah pada umumnya. Di hari terakhir ujian sekolah, rapor akan segera dicetak dan langsung dibagikan kepada para muridnya. Secara langsung, hal itu menandakan kalau kegiatan pembelajaran di semester pertama telah berakhir, dan libur sekolah sudah ada di depan mata.

Radena sangat senang di pembagian rapor kali ini. Nilai Matematika yang semula bertuliskan angka 10, kini sudah bermetamorfosa menjadi 66. Ya walaupun hanya lebih satu angka dari nilai KKM, itu sudah membuatnya puas. Yang terpenting, warnanya tidak merah lagi.

"Selamat ya. Akhirnya nilai Matematika kamu nggak merah lagi."

Radena melirik Nona yang sudah berdiri di samping motornya. "Itu berkat lo," katanya dari balik helm.

"Apa? Kamu ngomong apa?"

Laki-laki itu lantas membuka kaca helmnya. "Gue bilang, Radena gitu lho."

"Idih, songong."

"Ayo cepetan naik. Gue mau nunjukkin hasil rapor gue." Dia sama sekali tidak menganggap raut wajah Nona yang kesal karenanya.

"Ke papa kamu?" tanyanya dengan ragu.

Radena terdiam sejenak. Muka masamnya tak bisa disembunyikan. Membahas papanya membuat gairahnya melemah.

"Ada, deh," balasnya kemudian.

Nona mengembungkan pipinya dengan tangan yang memasangkan helm ke kepalanya.

"Udah siap?" tanyanya setelah Nona menduduki jok.

"Iya."

Mendapati jawaban dari penumpangnya, Radena pun memutar kunci yang sudah menancap pada kontaknya. Mesin motor pun mulai bekerja. Suaranya juga terdengar nyaring, namun tidak mengganggu. Tak lama, kendaraan roda dua itu bergerak, melaju keluar area sekolahan.

***

Nona selalu suka bila mengamati setiap objek yang dia temui ketika berada di adimarga, sebab banyak hal unik yang mampu menyentuh hati dan membuka pikirannya. Mungkin bagi sebagian besar orang, jalan raya hanya sekadar prasarana transportasi. Namun bagi dirinya yang termasuk di sebagian kecil, jalan raya ibarat satu jendela kehidupan. Berbagai jenis kegiatan, perilaku, profesi, dan kejadian, bertebaran di sekitarnya. Kadang semua hal tersebut bisa membuat bibirnya tersenyum, tapi ada juga yang mengundangnya untuk merenung.

"Kok berhenti?" tanyanya karena Radena tiba-tiba berhenti tak jauh dari sekolah.

"Gue mau beli bunga dulu."

Dia pun baru menyadari bahwa di sampingnya terdapat sebuah toko bunga.

"Saya ikut!" teriaknya seraya berlari menyusul Radena yang sudah berhasil menerobos pintu masuk.

Sesampainya di dalam, laki-laki itu terlihat sedang memilih buket bunga.

Tersadar dengan raut wajah Nona yang tampak penasaran tentang aktivitasnya sekarang, Radena pun menghela napasnya sebelum mencoba melontarkan sebuah pernyataan.

"Gue pernah bilang kan sebelumnya, kalau gue ada janji sama seseorang perihal nilai rapor." Radena terdiam sesaat. "Seseorang yang gue maksud itu, almarhumah nyokap."

Nona mengangkat kedua alisnya. "Jadi, kamu mau ke pemakamannya?"

Radena pun mengangguk.

Nona tertegun. Dia pikir, Radena akan menemui papanya.

"Bu, saya beli ini satu," katanya sambil menunjuk satu buket bunga mawar putih di hadapannya. "Bunga taburnya juga ya, Bu."

Sakedap, nya." ¹Sebentar, ya;

"Ini diitung juga sekalian, ya." Ia menunjukkan buket bunga mawar putih setangkai yang berada di genggamannya.

Muhun Jang, mangga." ²Iya Dek, silakan;

"Nih, buat lo." Radena memberikan bunga itu kepada Nona. "Sebagai tanda terima kasih dari gue, karena berkat lo, nilai Matematika gue jadi lumayan lah daripada sebelumnya."

Gadis itu memandangi bunga mawar yang sedang diulurkan padanya, lalu menatap netra Radena sesaat sebelum menerimanya dengan senang hati. Tak ada penolakan karena dirinya sangat menyukai mawar.

Nuhun." ³Terima kasih;

Mendengar Nona berbicara bahasa Sunda membuatnya tertawa. Logatnya sangat lucu. "Gaya banget udah nyunda aja," godanya.

"Apa sih. Jangan ngeledek."

Radena tertawa tengil. "Nuhun." Dia belum berhenti meledek.

"Radena. Diem." Nona benar-benar kesal. Tak mau semakin kesal, gadis itu memutuskan untuk keluar lebih dahulu, menunggunya di depan.

***

Afonos Memorial Garden. Tulisan besar pada tembok pagar salah satu kompleks pemakaman elite di Bandung menarik perhatiannya. Dari posisinya, Nona sudah bisa menangkap hamparan makam yang sudah dilapisi keramik serta berbatu nisan. Dan tak jauh dari parkiran, ada sebuah masjid dan juga taman.

"Ayo." Radena menuntunnya memasuki area pemakaman yang luas itu.

Nona menghela napasnya. Dia memandangi Radena dengan tatapan sendu, menyadari satu kesamaan antara dirinya dengan laki-laki di depannya. Sama-sama merasakan kehilangan.

Dua pasang kaki berhenti di depan makam berkeramik marmer hitam. Sebuah nama tertulis di batu nisannya. Marina Adiyasa.

Kelopak mata Nona terbuka agak lebar setelah meneliti tanggal lahir yang tertera.

Hari ini?

Radena menipiskan bibirnya sebelum mendudukkan diri di dudukan kecil yang berada di samping makam. Dudukannya terbuat dari bahan yang sama. Marmer.

"Assalamualaikum Ma," ucapnya seraya meletakkan sebuket bunga yang dia bawa. "Selamat ulang tahun. Ini, aku bawa bunga kesukaan Mama." Radena tersenyum sedih. Dia sangat merindukan mamanya.

Nona memerhatikannya sambil mengusap-usap kedua tangannya sendiri. Dia ingin melakukan sesuatu.

"Selamat ulang tahun, Tante." Diletakannya setangkai mawar pemberian Radena di dekat buket.

Perbuatannya berhasil membuat Radena tertegun. "Thank you."

Senyuman hangat menanggapinya.

"Aku juga bawa kabar baik lho Ma." Radena menghindari senyuman itu. Tak nyaman bila menatapnya terlalu lama. "Kabar yang udah aku janjiin sama Mama lima bulan lalu." Dia merogoh ranselnya, mengambil buku rapor miliknya dengan semangat.

Lihat selengkapnya