***
Radena yang baru bergabung kembali, segera menghampiri para karyawannya. Ia tampak sangat segar dan wangi.
"Buat meja berapa itu?" tanyanya pada Angga yang membawa baki berisikan 2 gelas kopi dan 1 piring kue.
"Meja 22 A."
Radena mengarahkan matanya ke meja nomor 22. Matanya menyipit, memandangi 2 orang yang membelakanginya.
"¹A, ieu abi peryogi sendok deui. Punteun, tiasa pangnyandakkeun?" pinta seorang pelanggan yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. ¹Mas, ini saya perlu sendok lagi. Bisa tolong ambilin;
"²Sakedap nya Pak, abi badé ngajajap—" ²Sebentar ya Pak, saya mau antar;
"Lo urus yang itu aja, biar gue yang anterin ini." Radena mengambil alih baki dari tangan Angga tanpa permisi.
"Tapi A...."
"³Wagiru, itu geus nungguan." Dia pun meninggalkannya yang dibuat termangu. ³Cepetan, itu udah nungguin;
"Si Aa tahu nggak ya kalau itu téh pacarnya?" gumamnya sebelum berlari untuk mengambil sendok pesanan.
Dengan luwes, Radena memangku baki menuju meja nomor 22 yang berada tak jauh dari pintu. Dia masih belum menyadari kalau satu rahasianya akan terbongkar.
Badannya membeku sampai langkah kakinya terhenti. Matanya terbelalak saat mengetahui kalau meja nomor 22 sedang ditempati oleh 2 orang yang dikenalnya. Dia pun sontak membalikkan badan saat Calvin mengarahkan pandang ke posisinya.
"Ish," rutuknya.
Calvin terlihat memiringkan kepalanya. "Kayak Radena."
Nona ikut mengarahkan pandangannya pada objek yang Calvin perhatikan. "Radena? Di sini?" tanyanya seraya memutar kepalanya ke belakang.
"Nggak mungkin, ah. Masa Radena jadi pelayan di sini."
"Kakak salah lihat, kali." Nona kembali membenarkan posisinya seperti semula.
"Mungkin. Tapi ini kok pesenan kita lama ya?"
Radena yang mendengar itu segera memutar otaknya. Apa dirinya harus mengantarkan ini kepada mereka? Tidak. Dia belum siap. Laki-laki itu pun mengedarkan matanya untuk mencari karyawannya.
"Kiko!" bisiknya dengan nada tinggi. Matanya tampak melotot. "Sini!"
Kiko pun segera berlari menghampirinya. "Iya A?"
"Ini anterin ke nomor 22."
Laki-laki berambut kribo itu sontak melirik meja nomor 22. "Bukannya itu pacar—"
"—Udah, anterin sana." Dia memberikan baki yang berada di tangannya dengan paksa. "Gue kebelet." Karangannya membuat Kiko percaya.
"⁴Si Aa meuni riweuh." ⁴Repot banget kelihatannya;
Kiko pun segera berjalan dengan cepat. Dia tak mau dimarahi Radena kalau dia lambat, walaupun sebenarnya bosnya tak akan semarah itu.
"Maaf ya, si bos tiba-tiba kebelet," ucapnya saat menyimpan pesanan ke atas meja. "Jadi saya deh yang anter."
Calvin dan Nona saling pandang dengan kulit kening yang mengerut.
"Maksudnya?"
Kiko menoleh ke sumber suara. "Kakak ini pacarnya si Aa bos kan?"
Kelopak matanya melebar. Sudut matanya melirik Calvin yang sedang menatapnya penuh tanya.
"Saya? Bukan."