BILA BAHAGIA ITU DIJUAL

Sefiti
Chapter #32

BUKTI YANG SEMU?

***

Berbeda dengan lampu di bagian luar yang dibiarkan menyala, ruangan Setyo tampak gelap, dan hanya mendapati penerangan dari cahaya bulan yang masuk menembus kaca jendela. Namun, itu masih tidak cukup terang untuk melihat kondisi di dalam ruangan. Tangan kanannya tampak menyentuh gagang kacamatanya, lantas menekan sebuah tombol di sana. ON. Sinar infra-red yang terpasang pada lensa kacamatanya kini telah aktif. Tanpa bantuan senter, dia mampu melihat keadaan di seisi ruangan gelap itu dengan sangat jelas.

Pandangannya diedarkan ke seluruh sudut ruangan, mencari sesuatu yang mungkin saja bisa membuatnya ketahuan.

Apa ada kamera tersembunyi di sini?

Penyadap?

Alarm sensor?

Dia tampak memerhatikan layar kecil pada remote control-nya yang mampu melacak benda-benda semacam itu. Tapi dia tidak menemukan apa pun, kecuali ... penyadap yang telah ia pasang di bawah meja utama.

"Kayaknya emang nggak ada—" Matanya teralihkan oleh sesuatu yang begitu menarik perhatiannya. Kakinya melangkah ke arah barat, di mana benda itu berada.

Kedua lengannya terlipat di depan dada, sambil memerhatikan sebuah lukisan yang sangat besar itu dengan penuh selidik. Ukurannya kurang lebih 5x2 meter, hampir setara dengan tinggi dindingnya.

Kepalanya sedikit memiring dengan arah mata yang masih terpaku pada satu objek. Beberapa detik kemudian, dia menurunkan lengannya dan berjalan mendekat ke arah lukisan itu.

"Lukisan ini dipajang di sebelah barat. Apa mungkin...." Kedua kelopak matanya terbelalak.

Nataline mengedarkan pandangannya ke setiap sisi lukisan itu. Dia sedang mencari cara bagaimana lukisan ini bisa bergerak. Matanya menyipit saat menemukan sesuatu di sisi kanan lukisan tersebut. Tampak seperti sebuah sensor sidik jari yang dirancang transparan dan menyatu dengan lukisan.

Dia menjentikkan jari tangannya.

Nataline, you are the winner.

"Firasat gue nggak akan pernah meleset."

Tangannya merogoh sesuatu. Dia kembali mengeluarkan benda bening yang dia gunakan untuk membuka pintu tadi. Melakukan hal yang sama.

Kakinya melangkah mundur dengan mata yang membulat. Dia benar-benar tidak percaya. Lukisan itu bergerak ke samping dengan perlahan.

Ternyata suara misteriusnya berasal dari benda itu. Dia tertawa singkat. Sangkaannya ternyata salah tentang pintu lift.

Perlu 5 detik sampai lukisan itu berhenti bergeser, dan menampakkan pemandangan yang sangat luar biasa.

"Oh... My... God...."

Ternyata bukan sembarang lukisan. Melainkan sebuah akses masuk ke ruangan tersembunyi.

Nataline segera berjalan memasuki ruangan itu karena dia sudah tidak punya banyak waktu lagi. Dan saat kakinya sudah melangkah melewati garis pintu, lukisannya secara otomatis tertutup kembali seperti semula. Hal itu sontak membuatnya menoleh untuk memastikan pendengarannya.

"Jadi mereka ada di sini."

Ruangan ini tak begitu banyak menyimpan interior. Hanya ada sofa mewah dengan mejanya, lemari pendingin untuk menyimpan persediaan makanan dan minuman, serta sebuah brankas yang ukurannya cukup besar.

Brankas?

Tak ada yang lebih menarik perhatiannya selain brankas itu. Dengan cepat, dia berlari kecil untuk mendekatinya. Badannya sedikit membungkuk untuk menyetarakan dirinya dengan tinggi brankas di hadapannya. Dia sangat penasaran dengan isi di dalamnya.

Sebelum menyentuh brankas itu, Nataline mengeluarkan remote control-nya untuk memastikan sesuatu. Dia menghela napas. Ternyata brankas ini sudah dipasangi alarm sensor yang akan aktif bila password yang dimasukkan salah. Tapi bukan Nataline namanya kalau tidak nekat!

Takut ketahuan? Mati sekalian.

Sisa waktunya 10 menit lagi. Dia berdecak. "Kira-kira, hal apa yang bakalan dijadiin password sama Pak Setyo? Tanggal lahirnya? Itu terlalu gampang dan mudah ditebak."

Biasanya, orang akan menjadikan sesuatu hal yang selalu diingatnya untuk dijadikan sebuah password.

"Radena?"

Tidak menutup kemungkinan jika password yang Setyo gunakan pada brankasnya berhubungan dengan cucu kesayangannya itu.

24092003

Aish! Perempuan itu menggigit bibirnya.

"Suara apa tuh?"

Para penjaga di bawah tampak panik dan terkejut mendengar suara alarm yang begitu nyaring. Suaranya menyebar ke semua penjuru sekolah.

"Itu dari lantai 4 woy! Lampu di ruangan Pak Setyo nyala!"

Dalam satu entakan, beberapa berlari menuju ke sumber suara dari berbagai arah. Sisanya, mendapat bagian untuk berjaga di bawah dan di pintu gerbang.

See u next time, my boy.

Dia memberi flying kiss kepada brankas itu sebelum beranjak pergi.

***

Alah siah, mani tiris kieu geuning!" ²Waduh, kok dingin banget;

Ketika pintu lift terbuka, mereka langsung menggigil karena suhu ruangan—cuaca dingin malam ini juga menjadi penyokongnya—langsung menusuk kulit muka, serta bagian tubuh yang terbuka.

Naha hurung AC-na? Ruksak kitu?" tanya salah satu dari mereka dengan suara yang gemetar. ³Kenapa nyala AC-nya; ⁴Masa rusak;

"⁵Tingali jug!" ⁵Sana periksa;

"⁶Nu ieu 16!" ⁶Yang ini 16;

"⁷Anu ieu ogé sarua!" ⁷Yang ini juga sama.

"Pak Jono, remot AC-nya di mana?"

"Di-di ruangan properti mungkin."

Nataline yang masih berada di dalam ruangan rahasia itu menoleh ke sumber suara.

Udah naik aja mereka.

Dengan cepat, dia segera membuka kembali pintunya menggunakan sidik jari, dan segera keluar menerobos lukisan yang belum terbuka dengan sempurna.

Dia berlari mendekati jendela. Matanya tampak mengintip ke arah luar. Aman. Jalan satu-satunya, dirinya harus berjalan menuju balkon yang jaraknya 10 meter dari ruangan ini.

Jarinya lekas membuka kunci jendela dan memutuskan untuk keluar lewat sana. Sebenarnya tak ada pijakan untuk kakinya berjalan menuju balkon. Bagian kecil itu hanya mampu menampung setengah telapak kakinya saja. Dengan penuh kehati-hatian, Nataline berhasil menyentuh pijakan itu tepat waktu. Perfect. Kedua tangannya terlihat menempel dengan terlentang pada tembok, untuk menjaga keseimbangan tubuhnya yang saat ini berada pada ketinggian 20 meter di atas permukaan tanah.

Nataline sesekali mengarahkan pandangannya ke bawah untuk memeriksa keadaan.

Okey, kayaknya semua orang naik ke lantai 4.

Saat pandangannya kembali terangkat, kelopak matanya melebar. Dia dikejutkan dengan kehadiran sebuah drone yang kini sedang mengawasinya tepat di depan wajah. Jaraknya hanya setengah meter saja.

Sial! Apa ini drone si TROS yang sering diomongin sama anak-anak?

Dirinya tidak yakin soal itu.

"Kena, lo!"

Lihat selengkapnya