***
¹°○}□■{¡° ♤°|<}□■°¡. ¹Adiguna Hartigan.
Nona menuliskan nama itu di sebuah buku yang khusus dia pakai untuk menuliskan berbagai hal dan petunjuk yang mungkin bisa membawanya menuju kunci utama dari kasus David. Dirinya tak ingin berdiam diri begitu saja. Bagaimana pun caranya dan apa pun risikonya, dia akan hadapi demi nama baik sang papa.
Layar laptopnya masih menampilkan sebuah halaman di situs web tentang daftar anggota PRNI yang masih aktif di tahun 2021 ini. Sebelumnya, dia sudah menelusuri daftar nama yang tercantum pada keanggotaan OPKN, tapi dia tak menemukan nama Hartigan di sana. Dirinya yakin kalau kertas di buku harian papanya memang sengaja dirobek oleh orang lain. Papanya tak mungkin melakukan itu.
"Apa Hartigan yang dimaksud papa itu ... Pak Adiguna?" sangkanya. "Apa hubungannya? Papa kan kerja di OPKN, sedangkan Pak Adiguna sendiri ada di PRNI."
Punggungnya bersandar pada kursi dengan gigi yang menggigit kuku jarinya. "Atau mungkin... orang lain?" Dirinya berusaha untuk berpikir positif tentang Adiguna.
Terdengar Nona menghela napasnya sembari menopang dagu.
"Oh iya," gumamnya saat teringat satu hal.
Jarinya kembali mengetikkan sesuatu pada keyboard laptopnya.
KASUS YANG PERNAH MENJERAT ANGGOTA PRNI.
Dengan mata yang menelusuri judul web page dari atas sampai bawah, dia tak hentinya berdecih. "Lagi-lagi korupsi."
Hingga satu judul halaman menghentikan gerak jarinya yang menggulir layar sedari tadi.
Adiguna Hartigan - Anggota Elemen IV PRNI, dinyatakan tidak bersalah atas kasus suap proyek pembangunan....
Dia mengernyit. "Kok berita ini nggak pernah dibahas di televisi?" Dirinya baru mengetahui tentang kasus tersebut. "Papa juga nggak pernah ngobrolin ini. Biasanya, kalau ada kasus kayak gini, papa selalu bahas di rumah."
David sangat suka bercerita. Kadang, sebelum tidur dia selalu mengagendakannya. Apa pun akan dia bahas, asalkan memiliki suatu hal yang bisa dijadikan sebagai sebuah didikan untuk anak-anaknya. Termasuk kasus-kasus yang sering dia temui di lingkungan pekerjaannya.
"Kak Calvin tahu nggak, ya?" pikirnya sebelum beranjak dari duduknya untuk menemui kakaknya.
Sebelum benar-benar meninggalkan kamar, tak lupa ia melipat laptopnya agar tampilan layar monitor tidak terekspos dengan bebas. Takut-takut Maya akan memasuki kamar tanpa sepengetahuannya.
***
"Kak," panggilnya seraya membuka pintu kamar.
Calvin menoleh. "Na, gimana? Udah mirip papa belum?" tanyanya dengan ekspresi wajah yang dibuat semirip mungkin dengan David.
Nona tertegun dengan penampilan Calvin yang kini sedang berdiri di depan cermin full body-nya.
"Kakak ngapain pake bajunya papa?" Nona mendaratkan bokongnya pada sisi ranjang. Kedua lengannya terlipat di depan dada dengan mata yang menyoroti kakaknya dari atas sampai bawah. Saat ini Calvin sedang mengenakan sport coat berwarna cokelat muda, dan bawahan angkle pants dengan warna senada. Di tangan kanannya, laki-laki itu tampak memegangi sebuah handbag berwarna hitam dengan kaki yang dibalut flat shoes leather hitam juga. Semua itu merupakan barang-barang milik David.
Sudut matanya melirik Nona sekilas dan kembali memerhatikan dirinya di cermin. "Kakak lagi kangen aja sama papa. Iseng deh kayak gini."
Nona tersenyum dengan pandangan yang tak lepas memerhatikan kakaknya itu. "Cocok juga di Kakak. 11-12 lah, sama papa."
"Jelas dong. Ada apaan ke sini?" tanyanya setelah terduduk di samping Nona.
Gadis itu memutar badannya ke kanan agar bisa berhadapan dengan Calvin. Kedua kakinya dia angkat dan menyila di atas ranjang.
"Kakak udah tahu sesuatu soal Hartigan?"
Calvin sedikit memiringkan kepalanya. Dahinya tampak mengerut. Tak lama, dia kembali menegakkan kepalanya dan mengangguk. "Sebenernya Kakak pernah denger nama itu sih, waktu kita masih di Jakarta."
Kedua kelopak mata Nona melebar. "Serius?"
"Iya. Bulan Maret lalu. Kakak nggak sengaja denger obrolan papa di ruang kerjanya. Waktu itu papa lagi teleponan sama orang gitu. Dan Kakak denger, papa nyebutin nama Adiguna Hartigan."
"Kakak tahu, apa yang lagi papa obrolin?"
"Nggak lah. Papa sama Mama kan ngelarang kita buat nguping pembicaraan orang."
Nona tersenyum miris. "Iya sih."
"Tapi karena penasaran, waktu itu Kakak iseng cari nama Adiguna Hartigan di internet. Ternyata dia anggota PRNI yang sekarang udah menjabat jadi ketua elemen."
"Dia papanya temen sekelas Nona di sekolah," bebernya kemudian.
Calvin terkejut dalam sedetik, namun kembali menormalkan perasaannya. "Bagus dong Na. Kamu bisa jadiin anaknya jalan buat cari tahu tentang Pak Hartigan itu."
"Nona nggak deket Kak sama anaknya. Dia juga nggak suka sama Nona. Emangnya Pak Hartigan yang papa maksud itu, Pak Adiguna? Bisa aja kan orang lain."
"Sejauh ini cuma dia yang bisa kita jadiin terduga, Na. Namanya bersangkutan sama dunia kerja papa."
Nona terdiam. Kenyataannya memang seperti itu. Dirinya juga tak bisa memungkiri, kalau prasangkanya terhadap sosok Adiguna Hartigan memang ada.
"Oh iya. Kakak tahu nggak sih, kenapa nama papa nggak pernah ada di daftar kepengurusan OPKN? Papa kayak dirahasiain gitu identitasnya dari publik. Buktinya, kasus papa aja jadi rahasia negara. Papa juga nggak pernah ngasih tahu alesannya. Setiap ditanyain, papa cuma bilang kalau itu adalah sebuah keputusan."
Calvin mengedikkan bahunya. "Kakak nggak tahu. Papa juga minta kita buat rahasiain pekerjaannya di OPKN—"
"Calvin! Nona!" Suara Maya membuat mereka mengatupkan bibirnya dan saling melempar pandang.
Calvin berdehem. "Iya Ma!" sahutnya. "Nona ada di sini sama Calvin!"
Maya yang baru saja memeriksa kamar Nona, segera menghampirinya dengan ekspresi keheranan.
Tumbenan akhir-akhir ini Nona betah di kamar Calvin. Biasanya dia males kalau masuk ke kamarnya.
"Kalau mama dateng, Kakak biasa aja. Jangan bikin mama curiga." Nona mengancamnya dengan jari telunjuk.
"Idih. Kakak bisa jaga rahasia ya."
"Pokoknya awas aja kalau mama tahu tentang rencana—"
"Calvin, Nona, ayo makan malam." Maya yang sudah berdiri di ambang pintu membuat keduanya menegang.
Wanita itu mengangkat alisnya saat menangkap penampilan Calvin. "Vin, kamu ngapain itu pake pakaian papa?"
Calvin nyengir. "Iseng aja Ma. Cocok kan di Calvin?"
Maya tersenyum gemas. "Cocok. Kamu mirip sama papa. Pake aja atuh baju-bajunya sama Kamu, Vin."