BILA BAHAGIA ITU DIJUAL

Sefiti
Chapter #36

CRIMINAL MINDS?

"Kamu beneran mau pasang alat pelacak juga di mobilnya Pak Adiguna?"

Nona mengangguk. "Iya. Biar kita bisa tahu ke mana aja dia pergi. Siapa tahu, dia pergi ke tempat yang berhubungan sama papa."

Calvin mengangguk-anggukkan kepalanya. Setuju dengan pemikiran adiknya itu.

"Kata Radena, besok Pak Adiguna ada pertemuan lagi sama kakeknya di sekolah."

"Pertemuan? Rutin?"

Nona mengangguk. "Iya. Kata temen Nona, mereka udah sering ngadain pertemuan di SMA Berlian. Ada Kepala Pengelolaan Pendidikan Bandung juga."

Kulit keningnya mengerut. "Ngapain mereka ngadain pertemuan di sekolahan? Kayak nggak ada tempat lain aja."

Nona mengedikkan bahunya. "Nggak tahu. Namanya juga yang punya sekolahan."

"Iya tapi... kalau rutin kayak gitu, agak gimana ya, seorang pengusaha sekaligus pemilik sekolah, ngadain pertemuan sama perutusan, juga Kepala Pengelolaan Pendidikan."

"Ya mungkin ada urusan relasi. Tapi yang bikin Nona penasaran nih Kak, ruangan Pak Setyo dirahasiain banget. Dan sekarang, semenjak ada penyusup yang masuk ke sana, ruangannya jadi dijaga banget. Sebelumnya mah nggak ada penjagaan."

"Penyusup? Pencuri?"

Gadis itu mengangkat bahunya tak tahu. "Nona nggak tahu."

"Emangnya, di ruangan itu banyak nyimpen duit atau barang berharga? Palingan cuma komputer sama berkas-berkas. Kalau Kakak jadi dia, Kakak lebih milih ke laboratorium komputer atau ke ruangan penyimpanan. Ngapain ambil risiko gedé kalau keuntungannya nihil."

"Criminal Minds?" Nona tertawa meledek. "Cocok sih Kakak jadi kriminal. Mukanya ngedukung."

Calvin memicingkan mata ke arahnya dengan sangat tajam. "Enak aja. Halal is number one."

Nona masih tertawa. Beberapa detik kemudian tawanya mereda.

"Eh, tapi Kak, kayaknya tujuannya bukan mau nyuri deh. Karena kabarnya nggak ada yang hilang, dan barang-barang tetep tertata rapi. Kalau tujuan utamanya emang nyuri, harusnya dia ambil sesuatu sebelum pergi."

"Mungkin nggak sempet karena udah ketahuan."

"Tapi dia berhasil kabur. Walaupun ketahuan, dia bisa aja ambil apa pun yang berharga di sana. Dan di lantai 4 juga ada ruangan properti. Kenapa dia lebih milih ke ruangan Pak Setyo yang jelas-jelas harus pake sidik jari? Nona yakin dia punya tujuan lain dan bukan pencuri. Pencuri mana yang bisa dapetin sidik jari targetnya, coba?"

Calvin mendengarkan dengan seksama. Topiknya sangat menarik.

"Dan waktu itu, yang jaga juga banyak di sekolah. Nggak ada celah buat masuk kecuali gerbang depan, karena SMA Berlian cuma punya satu akses buat masuk ke area sekolah."

"Dia sendirian?"

Nona mengangguk.

"Kok kamu bisa tahu dia sendirian?"

"Radena yang bilang."

"Radena?"

"Iya. Katanya juga, kakeknya punya rekaman kamera yang nangkap orang itu."

"Bagus dong. Berarti mudah buat cari si pelaku."

Nona menggelengkan kepalanya. "Sia-sia. Mukanya nggak ketahuan. Soalnya pake masker. Sidik jari pun nggak ada."

"Cewek atau cowok?"

"Cewek."

"Cewek? Apa malam itu ada yang datang ke sekolah?" Dia menggaruk ujung alisnya.

Nona mengerutkan kulit bibirnya. Ia heran kenapa kakaknya menyakan tentang hal tersebut. "Sebelumnya, yang jadi terduga itu Bu Anna. Soalnya dia juga ada di sekolah waktu itu."

Itu orang emang mencurigakan.

"Tapi bukan dia pelakunya. Si penyusup itu pakaiannya serba hitam dan rambutnya juga warna cokelat."

Eh iya. Dia kan punya rambut hitam pekat.

"Mustahil kan, kalau Bu Anna bisa ngerubah penampilannya dalam sekejap? Lagian mana mungkin juga dia pelakunya."

Calvin menekukkan bibirnya. "Maybe yes, maybe no. Kita nggak tahu."

***

Dari kaca spion, Nona terus mengamati arah belakangnya. Dia sedang mencari sosok Rudi yang mungkin mengikutinya. Tapi tidak ada. Biasanya, setiap pagi dia juga ke arah yang sama dengannya, dan berpisah di persimpangan jalan.

"Na!" Panggilan Radena mengalihkan perhatiannya. "Dari tadi gue perhatiin, lo liatin kaca spion mulu. Kenapa?"

"Nggak apa-apa."

Radina terlihat memiringkan sedikit kepalanya dengan alis yang bertautan. Akhir-akhir ini Nona menjadi semakin pendiam. Tidak seperti biasanya.

Dengan kening yang mengerut, Nona bingung dengan apa yang dilakukan Radena. Dia membawa motornya ke suatu kedai.

"Radena, kok kita berhenti di sini? Mau ngapain? Ini udah siang, lho. Saya nggak mau ya, kalau telat," omelnya tanpa turun dari jok motor.

"Udah, ikut aja. Gue laper," katanya kemudian, setelah melepaskan helm. "Cepetan turun!"

Nona mendengus sebal seraya memijakkan kakinya ke tanah. "Katanya udah sarapan. Masa udah laper lagi," sindirnya dengan tangan yang melepaskan helm dari kepalanya.

"Perut, perut gue. Terserah gue lah."

Tak ada sanggahan. Nona hanya memutar bola matanya dengan malas.

"Ikut gue," ajaknya pada Nona.

Nona masih terdiam dengan mata yang menyoroti punggung Radena. Laki-laki itu sudah memasuki kedai. Baginya, setiap ajakan darinya lebih menjurus ke sebuah perintah. Sangat menyebalkan.

Sebelum ikut masuk, dia memerhatikan bagian depan kedai itu.

BUBUR KACANG PAK KASÉP.

Nona mengulum tawanya membaca nama kedai itu.

"Kasép?" gumamnya sebelum melangkahkan kedua kakinya, menyusul Radena yang sudah terduduk di salah satu kursi di dalam sana.

Tampak Nona menghela napas sebelum ikut duduk di salah satu kursi yang melingkari meja. Matanya melirik arah jarum jam arloji.

"Rad, nanti aja makannya. Ini udah jam 7 lebih. Saya nggak mau telat."

"Kali-kali, lo harus nyobain telat masuk. Seru lho."

Kedua matanya terbelalak. "Saya udah pernah, ya. Dan itu terakhir kalinya juga."

"Ya udah, sana duluan. Gue mau makan dulu di sini. Tapi inget, jangan harap besok lo masih jadi murid SMA Berlian."

Nona melongo. Radena benar-benar pengancam.

"Terus aja ngancem." Dia mendelik.

Lihat selengkapnya