BILA BAHAGIA ITU DIJUAL

Sefiti
Chapter #38

SATU KELOMPOK?

***

Radit membuang napasnya dengan kasar. "Sial," umpatnya.

Dia sangat merasa kesal karena komputernya mendadak mati, padahal sedang mengerjakan tugas sekolahnya di sana.

"Mana laptop belum beres di­-service, lagi."

Tak ada pilihan. Dirinya terpaksa harus meminjam komputer atau laptop milik kakaknya, Rio. Bila mengerjakannya lewat ponsel, dia sangat merasa tak nyaman.

Laki-laki itu membenarkan kacamatanya sebelum beranjak. Terdengar suara helaan napas yang berat. Dirinya tidak yakin kalau Rio akan memberikan pinjaman padanya. Kakaknya itu sangat sulit untuk membantunya dalam hal apa pun.

"Ada apa Dit? Kok murung?" Pertanyaan Sekar membuatnya menoleh. Mereka berpapasan di depan dapur.

"Komputer Radit mati lagi, Ma."

Sekar terlihat menipiskan bibirnya. "Kan Mama udah bilangin, beli yang baru aja daripada terus-terusan di-service. Ujung-ujungnya mati lagi, kan?" sarannya sembari menuangkan teh madu ke dalam cangkirnya.

Sebenarnya ia sangat ingin membeli komputer baru. Tapi, komputernya itu sangat berharga baginya. Komputer pemberian dari papanya dengan sebuah kerja keras, sebelum segalanya bisa didapatkan dengan mudah. Komputer itu yang bisa membuatnya teringat, bahwa papanya adalah orang yang sangat menyayanginya. Walaupun hal itu terasa mengikis semenjak sesuatu bernama jabatan dan uang mulai menyentuh keluarganya.

"Tapi Radit belum mau ganti Ma."

"Ya udah terserah kamu, deh. Mama ke kamar duluan, ya," pamitnya dengan membawa secangkir teh madu yang dia bawa di tangannya.

Radit mengangguk. Kedua matanya memerhatikan Sekar yang sedang manaiki anak tangga. Setelah 5 detik, dia kembali menghela napasnya seraya melanjutkan langkahnya. Menuju kamar Rio yang berada di sebelah barat rumah.

"Bang," panggilnya sembari mengetuk pintu beberapa kali. Tak ada sahutan. Kedua alisnya bertautan karena tak kunjung mendapat jawaban. Akhirnya dia pun membuka pintu tanpa izin.

Setelah pintu setengah terbuka, dia lagi-lagi menghela napasnya saat mendapati penampakan kamar yang sangat berantakan. Rio benar-benar jorok dan pemalas dalam mengurus kebutuhan pribadinya, seperti merapikan kamar contohnya.

Rio yang sedang asyik bermain game online dengan headphone di telinganya, menoleh ketika merasakan keberadaan seseorang di belakangnya.

"Ngapain lo?" tanyanya dengan ketus.

"Gue mau pinjem laptop lo dong," katanya langsung ke topik pembicaraan. "Komputer gue mati lagi. Gue butuh banget buat bikin makalah. Besok harus udah beres."

Laki-laki dengan rambut bergaya crew cut itu mendecih. "Emang gue peduli? Nggak ada ya, lo boleh pinjem barang-barang gue."

"Please, kali ini bantuin gue. Komputer sama laptop lo juga lagi nganggur. Udah ya, gue pinjem—"

"Woy!" Bentakan Rio menghentikan pergerakan tangannya yang akan meraih laptop di atas ranjang. "Jangan berani-beraninya lo nyentuh laptop gue!" Peringatannya membuat Radit menelan ludah. Kenapa kakaknya semarah itu?

"Tapi Bang—"

"Lo pake komputernya papa aja, sana. Jangan punya gue. Privasi."

Radit memutar bola matanya malas. "Gue nggak bakal ngepoin juga, kali."

"Udah deh, lo mendingan keluar. Ganggu aja," usirnya dengan kasar. Dia kembali memasangkan headphone ke telinganya dan tak mengacuhkan adiknya itu.

Kedua tangan Radit tampak mengepal. Dia benar-benar kesal dengan sikap Rio kepadanya. Semenjak difasilitasi oleh sang papa, anak itu jadi banyak berubah.

Tak ada pilihan. Dia memutuskan untuk pergi ke ruang kerja Adiguna. Berhubung papanya itu sedang bertugas di Jakarta, jadi dia bisa memanfaatkannya sekarang. Sebenarnya Adiguna melarang keras siapa pun untuk masuk ke ruangannya. Tapi mau bagaimana lagi? Dirinya sangat butuh. Semoga Rio tidak mengadukan perbuatannya ini.

Sebelum pergi ke lantai 2, dia mampir ke kamarnya untuk mengambil ponsel, flashdisk, beserta buku catatan yang berisi bahan-bahan dari materi makalahnya. Pergerakannya sangat gesit. Dia tidak mau Sekar mengetahuinya juga.

***

Radit menaiki anak tangga dengan sedikit berlari. Dia ingin segera menyelesaikan tugasnya. Namun, sesampainya di depan ruangan kerja Adiguna, ia mematung dan mendengus.

Sial!

Dirinya lupa kalau akses masuknya harus menggunakan kata sandi.

"Kata sandinya apa, ya?" Tangannya mengacak-acak rambut dengan kesal.

"Bentar. Papa suka angka nol. Mungkin aja itu dijadiin password sama papa." Sebenarnya Radit tidak begitu yakin dengan pemikirannya itu.

00000

Kata sandi salah.

"Kenapa mesti dipakein kata sandi, sih?" rutuknya.

Dirinya kesal, tapi juga penasaran. Apa ruangannya begitu privasi? Hanya ada satu cara lagi. Dia pun memutuskan untuk mengandalkan kemampuan hack-nya. Dirogohnya ponsel di saku celana. Dia menuju ke sebuah aplikasi yang sudah dirancang khusus untuk melakukan kegiatan hack-nya. Kali ini dirinya menggunakan teknik Dictionary Attack yang fiturnya sudah tersedia di dalam aplikasi. Teknik ini merupakan salah satu jalan untuk meretas kata sandi pada suatu sistem tertentu, dengan cara mendeteksi password yang digunakan sasaran.

Di ponselnya, Radit tampak memasukkan sebuah kode untuk menghubungkan spesifikasi smart lock door yang dipakai papanya dengan fitur hack-nya. Setelah terhubung, secara otomatis aplikasi itu melacak kemungkinan dari kata sandi yang sesuai dengan kamusnya.

Yes!

Kata sandinya berhasil terlacak setelah beberapa menit berlalu.

"21021?" Keningnya mengerut. "What is this? Koordinat? Tanggal? Atau apaan sih?" Kepalanya sedikit memiring. "Bodo amat," pungkasnya seraya memasukkan kombinasi pada smart lock door-nya, kemudian lekas memasuki ruangan. Sebentar lagi larut malam. Dia harus menyelesaikan tugasnya dengan cepat.

"Damn!"

Komputernya juga dibekali kata sandi.

"Papa orangnya nggak mau ribet, jadi pasti kata sandinya sama kayak di pintu."

Ternyata benar. Kata sandinya sama seperti yang dipasang pada pintu. Tak mau berlama-lama, dia segera membuka Microsoft Word dan mulai mengerjakan tugasnya.

"Bangke. Terpaksa gue mulai dari awal lagi," rutuknya sebelum memainkan jari-jarinya pada keyboard.

Butuh 30 menit untuknya menyelesaikan makalah PPKn-nya. Dan sekarang, dia terlihat memasangkan flashdisk pada komputer itu untuk menyalin file-nya.

"Gue print-nya di kamar aja lah," katanya di sela-sela menunggu file-nya selesai tersalin ke flashdisk. Jantungnya sedari tadi berdebar begitu cepat. Keringat dingin juga membasahi dahi dan telapak tangannya. Dia ketakutan. Takut ketahuan.

Tiba-tiba sebuah notifikasi dari ­E-mail yang masuk mengalihkan perhatiannya. Dia benar-benar tak ingin memedulikan itu. Namun, pesan yang terpampang jelas dari sang pengirim membuat matanya terbelalak.

Ini hasil hari ini Bos. Masih aman. Mereka tidak terlihat macam-macam.

Lihat selengkapnya