BILA BAHAGIA ITU DIJUAL

Sefiti
Chapter #39

FAKTA LAIN?

***

Keempat murid berseragam SMA Berlian, tampak saling melempar pandang satu sama lain dengan tatapan yang berbagai arti. Mereka duduk melingkari sebuah meja kafe.

Radena menghela napas sebelum menyandarkan punggungnya pada kursi. Matanya memandang ke arah Radit dengan mengintimidasi.

"Tumben lo mau masuk kelompok." Celetukannya membuat Nona dan Siska pun turut menatap siswa berkacamata itu. Mereka juga ingin tahu alasannya. Tidak mungkin Radit memutuskan sesuatu begitu saja. Apalagi, keputusannya ini sangat mengejutkan banyak pihak.

"Gue tahu ya, lo pasti punya tujuan lain kan di sini? Secara, lo mau gabung satu kelompok sama Nona, yang jelas-jelas saingan terbesar lo di sekolah." Tak lupa ia menekankan kata saingan untuk menyindirnya.

Radit membalas tatapannya dengan malas. Dia sedikit terkejut dengan perkataan Radena yang memang benar adanya. Gadis itu membuatnya penasaran semenjak hal-hal yang dilakukan papanya belakangan ini. Tidak jadi mengeluarkan Nona dari sekolah, bahkan sampai mengawasi keluarganya menjadi alasan yang wajar kenapa dirinya sangat terdorong untuk melakukan ini.

Dia menegakkan duduknya dan terdengar berdehem sebelum melontarkan jawaban. "Bacot terus lo Rad. Gue, sengaja masuk kelompok ini biar nilai gue nggak kesaing lagi sama dia." Sudut matanya melirik Nona yang kini sedang memerhatikannya. "Kayaknya mulai sekarang, gue bakalan satu kelompok terus sama Nona. Capek gue diamuk bokap terus cuma gara-gara posisi gue turun," katanya dengan santai.

Radena melotot. "Pengecut juga lo. Cara mainnya kurang berkelas," ledeknya kemudian.

"Masa bodoh, deh, lo mau ngomong apa. Si Nona juga nggak keberatan. Kenapa lo yang berisik? Cemburu lo, sama gue?" decihnya.

Radena tertohok. Dia terlihat menelan salivanya. "Ngapain juga gue cemburu—"

"Kalian bisa diem nggak sih?" Nona menghela napasnya. Dua laki-laki di hadapannya ini seperti anak TK saja.

"Iya ih. Ngapain sih ngeributin hal yang nggak penting?" Siska mulai tidak nyaman dengan aura yang terpancar dari dua pemuda itu. Dia menghela napas singkat setelah memandangi mereka bergantian. Kalau bukan karena Radena, dirinya sangat enggan berada satu kelompok dengan Nona. Ia juga tak mau melewatkan hal yang diinginkannya selama ini. "Mendingan, sekarang kita langsung ke tugasnya. Cepetan deh, jangan bikin gue bete."

"Kok lo yang ngatur?" Radena menoleh padanya dengan sinis.

"Radena, gue kan anggota di sini juga. Gimana, sih," balasnya dengan sok manis.

Tak mau menanggapi, Radena memilih untuk meminum lemon tea-nya.

"Oke, sekarang kita mulai ke tugasnya. Pertama, kita harus nentuin dulu ide usaha yang mau kita jadiin bahan buat proposalnya." Nona kembali bersuara. Kali ini menjurus ke tujuan mereka berada di kafe ini.

Hening. Sepertinya mereka sedang berpikir.

"Gimana kalau usaha bikin studio yoga?" saran dari Siska mendapat reaksi yang mengherankan.

"Apaan yoga. Nggak ada." Radena menolaknya mentah-mentah.

"Udahlah. Lagian, kita cuma disuruh bikin proposalnya doang. Nggak perlu ribet gini."

"Yang kerenan dikit dong. Masa yoga."

Radit melipat kedua lengannya di depan dada seraya bersandar pada kursi. "Lo kalau nggak bisa ngasih ide, jangan ngomen terus. Cuma numpang nama doang, ribetnya minta ampun," sindirnya lagi.

"Apa lo bilang—" Dia nyaris berteriak. Kini, orang-orang di kafe menyorotinya.

"Rad." Nona memintanya tenang.

Siska malah anteng menontoni keributan di depannya. Dia terlihat menopang pipi, menyilangkan kakinya, dan tangannya sangat lihai memainkan sedotan. Tak lama, ia pun menyeruput jus stoberinya yang tampak begitu segar. Ternyata begini bila bekerja sama dengan mereka. Sangat rusuh.

"Gini aja, kita bakalan bikin proposal dengan ide usaha coffee shop-nya Radena."

"What?" Radit dan Siska terkejut.

"Lo punya coffee shop? Kok gue nggak tahu." Siska mengeluh dengan raut wajah yang ekspresif.

"Kalau lo tahu, bisa-bisa tiap hari lo datengin tuh coffee shop." Balasannya terlampau jujur.

"Bentar, maksudnya Kopi Marahan?" tanya Radit memastikan.

Nona mengangguk. "Iya. Kopi Marahan."

"Ohhh, coffee shop punya nyokap lo itu, Rad? Jadi, lo yang nerusin? Gue kira udah dibeli sama orang." Siska tampak senang setelah mengetahui fakta itu. Mulai hari ini, dia akan sering berkunjung ke sana.

"Hm. Awas aja kalau lo datengin coffee shop-nya, terus bikin onar di sana."

Siska memiringkan kepalanya. Kok

"Tahu apa lo soal usaha itu, sampe berani buat nerusin?" Pertanyaan Radit seperti merendahkannya.

"Lo ngeremehin gue?" Radena dibuat geram lagi.

Mulai lagi mereka.

Nona geleng-geleng kepala. "Stop guys. Bisa nggak, dewasa dikit? Kalau gini terus, mendingan kita nggak usah kelompokan, deh. Buang waktu aja." Dirinya mulai kesal.

Mendengar itu, Radit sontak mengatupkan bibirnya. Dia tak mau rencananya gagal begitu saja. "Ya udah terserah. Gue ngikut aja," serahnya kemudian.

Siska mengangkat salah satu alisnya. Matanya menatap Radit dengan terkejut dan keheranan. Apa Radit lagi ngerencanain sesuatu? Nggak mungkin dia nurut gitu aja sama omongan si Nona. Pasti ada hal lain, dan bukan cuma karena nilai aja.

Radena mengerutkan keningnya. Ini anak kenapa nurut banget sama si Nano? Nggak beres, nih. Yakin, gue. Ia pun mendengus.

Lihat selengkapnya