BILA BAHAGIA ITU DIJUAL

Sefiti
Chapter #40

BIOGRAFI?

***

LAPORAN KERJA PER. 31 AGUSTUS 2021....

Suara ketikan keyboard terdengar dari salah satu meja kerja. Tampak di sana ada seorang guru yang sedang sibuk membuat laporan kerja bulanannya. Sesekali dia terlihat menjeda pekerjaannya untuk sekadar merenggangkan otot-otot jarinya.

"Pak Aldi!" Panggilan seseorang membuatnya mendongakkan kepala. Dan sepertinya bukan hanya yang dipanggil yang menoleh. Semua orang yang ada di ruangan sontak memberikan respons untuk beberapa saat. Setelah itu, mereka kembali ke kesibukannya masing-masing.

"Iya Pak?" sahutnya seraya berdiri, menghadap kepala sekolah yang kini ada di depannya.

"Kamu ikut saya. Pak Setyo ingin bertemu."

Kulit keningnya berkerut.

"Ayo cepat," perintahnya sebelum berbalik, mendahuluinya.

Tak ingin mendapat amukan, dia pun segera mematikan komputernya dan lekas menyusul Pak Dani yang sudah keluar dari ruangan.

"Kenapa Pak Setyo ingin bertemu dengan saya Pak? Apa saya melakukan kesalahan?" tanyanya setelah memasuki lift. Dirinya yang baru tiga bulan bekerja di SMA Berlian ini merasa khawatir terhadap nasibnya sendiri. Jangan sampai hal yang tidak diinginkannya terjadi.

"Tidak. Ada hal lain yang ingin dibicarakan," jawabnya tanpa menoleh.

Dirinya sedikit lega mendapati jawaban seperti itu. Tapi tetap saja ada kegugupan yang masih menyelimutinya.

***

Sebelum memasuki ruangan, dia menghembuskan napasnya perlahan. Mencoba menenangkan diri dan pikiran.

Setyo mengalihkan pandangannya dari koran yang ada di tangannya saat mendengar suara langkah kaki yang memasuki ruangan. Dia pun terlihat menutup koran itu dan beranjak dari sofa untuk beralih ke meja kerjanya.

"Permisi Pak. Ini, saya sudah datang kembali bersama Pak Aldi."

Pria itu mengangguk dengan mata yang mengamati guru muda di hadapannya, dari atas sampai bawah. Ini pertama kalinya mereka bertemu secara formal.

"Ada apa Pak? Apa ada yang perlu saya kerjakan?"

"Saya ingin, kamu mengawasi cucu saya selama di sekolah," katanya to the point.

"Cucu? Radena dan Satria?"

Dia menggeleng cepat. "Bukan. Hanya Radena. Kamu jangan pedulikan Satria."

Kedua alisnya terangkat. "Kenapa saya harus melakukan itu?"

Sontak, pertanyaannya membuat Pak Dani menyikut lengannya. Harusnya dia tidak perlu menanyakan itu dan lekas mengiyakannya saja.

"Kamu jangan banyak tanya—" Bisikan Pak Dani diintrupsi oleh tangan dari sang pemilik sekolah. Setyo memintanya untuk menutup mulut.

"Saya hanya ingin tahu kegiatannya selama di sekolah. Belakangan ini dia jadi pendiam dan semakin tidak teratur semenjak mamanya meninggal. Karena itu saya khawatir dengan mentalitasnya."

Pak Aldi memiringkan sedikit kepalanya. Apa urusannya dengan pekerjaan dia di sekolah?

"Dia juga setiap hari datang terlambat ke sekolah kan sejak mamanya tiada?"

Guru kesiswaan itu mengangguk.

"Kamu selalu menghukumnya?"

Pak Aldi mengangguk lagi. "Tapi ya begitu. Dia bisa lolos dari hukuman seenaknya," ungkapnya dengan nada yang terdengar geram.

Kali ini dia mendapat pelototan dari pria yang dari tadi berdiri di sampingnya.

"Tak apa. Biarkan saja. Saya minta kamu jangan memberinya tekanan. Dia cucu kesayangan saya."

"Tidak dengan Satria?" celetuknya.

Pak Dani dibuat gemas. Ini anak banyak tanya.

"Bukan urusanmu," balasnya dengan dingin. "Pak Aldi, saya tahu kamu masih baru bekerja di sini. Tapi, saya juga tahu kamu sudah sangat mengenal sekolah ini, sebelum peraturan istimewa dibuat. Saya peringatkan, jangan sampai kamu melakukan hal yang bisa merugikan dirimu sendiri. Jangan berani membocorkan tentang peraturan istimewa yang saya buat kepada publik. Sepertinya kamu tipe orang yang tidak setuju dengan peraturan istimewa itu kan?"

Kelopak matanya sedikit melebar. Dia terkejut ditanyai hal itu secara mendadak.

"Kamu sudah tahu 'kan konsekuensinya kalau melanggar peraturan yang sudah dibuat? Tinggal pilih saja, masuk penjara sekaligus denda 2 miliar, atau keselamatan adikmu?"

Mendengar itu, bola matanya nyaris keluar. "Jangan libatkan adik saya."

Lihat selengkapnya