***
Selama di dalam mobil, Rio sama sekali tak bisa bernapas dengan tenang, walaupun dirinya telah terbebas dari jeruji besi. Adiguna yang hanya terdiam di sepanjang perjalanan membuatnya diselimuti kecemasan. Jika papanya diam seribu bahasa seperti ini, itu tandanya dia sedang tidak baik-baik saja.
"Pa—"
"—Diam! Jangan bicara sepatah kata pun sebelum kita sampai di rumah."
Mendengar itu, Rio menelan salivanya dalam-dalam sampai jakunnya naik turun. Wajahnya meringis.
Mampus.
Dia menggigit bibir bagian bawahnya dengan kuat. Rasanya sangat gugup untuk menghirup oksigen. Jantungnya juga berdegup dengan sangat kencang, sampai membuatnya nyaris merasakan sesak.
Mang Agus sesekali melirik para tuannya itu lewat cermin kecil yang tergantung. Dirinya sama sekali tidak tahu-menahu tentang kesalahan apa yang telah diperbuat anak majikannya itu, sampai berurusan dengan kepolisian.
Kurang dari setengah jam, mobil sudah memasuki area depan kediaman Adiguna. Saat mobil tepat berada di depan gerbang, satpam yang bertugas di sana dengan sigap menekan tombol pada remot kontrol yang akan membuat gerbang terbuka secara otomatis.
Adiguna keluar dari mobil dengan begitu geram. Sejujurnya, dia sedang menahan emosi yang sudah berada di ubun-ubun kepalanya. Terlihat dari urat-urat di tangan dan lehernya yang menegang. Sangat jelas tergurat di kulitnya.
Sekar yang sedari tadi menanti di teras rumah sontak bangkit dari duduknya. Dengan tangan yang menggenggam jaket rajutnya, dia menghampiri sang anak sulung sembari menampakkan senyuman di bibirnya. Dia senang dengan kepulangan Rio.
"Rio, kamu nggak kenapa-kenapa, kan?" tanyanya dengan menyentuh laki-laki itu mulai dari wajah sampai ke pergelangan tangannya. "Para polisi tadi salah orang, kan?"
Yang ditanya hanya terdiam. Bibirnya benar-benar terkunci. Dia tak tahu juga harus berbicara apa.
"Sini kamu!" Adiguna menarik lengannya dengan begitu kuat sampai Rio tak mampu menahannya.
Sekar yang melihat perlakuan suaminya, tersentak. Dirinya tidak pernah melihat sang suami berbicara dengan nada seperti itu kepada Rio sebelumnya.
"Saya permisi Bu." Pamitan dari Mang Agus mengalihkan perhatiannya.
"Oh iya Mang. Makasih ya," balasnya kemudian. Dan tak lama, dia menyusul masuk ke dalam rumah dengan tangan yang menyentuh dada.
"Anak bodoh!" bentaknya seraya melepaskan cengkraman dengan penuh kekesalan.
Rio sampai dibuat melangkah mundur karena dorongannya yang kuat.
"Pa, kenapa?" Sekar mendekati Rio yang terlihat ketakutan.
"Dia," tunjuknya dengan tajam, "udah ngelakuin hal yang bodoh!"
"Maksud Papa apa? Rio nggak salah, kan? Kenapa Papa marah begini?"
Adiguna menoleh padanya dengan rahang yang sudah mengeras. "Kamu masih ingat apa yang polisi tadi bilang tentang alasan mereka nangkep dia?"
Tentu. Wanita itu sangat mengingatnya. Tapi dia tidak percaya.
"Nggak mungkin, Pa. Rio nggak mungkin ngelakuin hal kayak gitu," elaknya dengan kepala yang menggeleng. Kedua matanya pun menatap sang anak yang menunduk. "Kamu nggak ngelakuin itu, kan?"
Hening. Tak ada jawaban.
"Rio!" Sekar mengguncang bahunya agar Rio mau menatapnya. Kini, lensa matanya sudah terbalut oleh cairan bening. Dia ingin menangis jika itu benar.
Radit yang mendengar kegaduhan dari ruangan utama segera menghampiri sumber suara. Dia tak berani mendekat, dan memilih untuk memerhatikan dari kejauhan. Para pekerja rumah pun tak berani menontoni. Mereka memutuskan untuk menyibukkan diri dan menutup kedua telinga.
"Maafin Rio Ma, Pa." Ucapan dengan volume suara yang nyaris tak mampu ditangkap itu, membuat tubuh Sekar melemas. Kedua tangan yang semula terpaku di kedua bahu anaknya perlahan menjauh, terjatuh begitu saja.
"Papa udah ngasih kamu semuanya. Fasilitas, perhatian, uang. Apa masih kurang, sampai kamu mau ngotorin diri kamu dengan manfaatin perempuan-perempuan itu? Hah?!"
"Rio cuma—"
"Cuma apa? Kamu mau bilang kalau kamu mau ikutin perkataan Papa? Bukan kayak gitu caranya. Bodoh! Kamu nggak perlu mikirin gimana caranya cari uang, Rio. Kamu dan adikmu cukup fokus belajar. Itu yang Papa mau. Sekarang belum waktunya kalian mikirin soal gimana caranya ngehasilin uang!"
Sekar kembali menatapnya. Namun, sekarang tatapannya berisi kekecewaan dan ketidakpercayaan. "Terus, kenapa dia pulang?" tanyanya pada Adiguna. Tatapannya masih menyoroti laki-laki bodoh itu. "Harusnya dia berdiam diri di sel tahanan. Membayar semua perbuatannya."
Adiguna meremas rambutnya sebelum memberi jawaban. "Kalau dia ditahan, imej saya bakalan tercoreng di mata publik. Susah payah saya ngeluarin dia dari kepolisian." Ia kembali menyoroti Rio. "Dasar anak kurang ajar. Gara-gara kamu, Papa terlibat masalah besar."