BILA BAHAGIA ITU DIJUAL

Sefiti
Chapter #43

DITANGKAP POLISI?

***

Musik yang diputar oleh disjoki malam ini memeriahkan suasana di klub. Volumenya pun mampu memenuhi semua sudut ruangan, bahkan sangat menusuk gendang telinga. Bagaimana bisa mereka dengan nyamannya mendengarkan alunan musik sekeras itu?

Lampu disko yang menggantung di beberapa titik pun tampak bekerja dengan baik. Menambah kesan gemerlap di antara para pengunjung yang asyik berdansa, mengikuti tempo lagu yang sedang dimainkan.

Namun tidak semua tertarik untuk turut melenggak-lenggokkan badan. Ada yang hanya sekadar duduk sembari meminum minumannya, dengan mata yang lincah mengamati setiap pengunjung perempuan berbadan seksi. Mereka mengenakan pakaian yang sangat terbuka, sampai belahan dada dan paha pun sudah menjadi suatu daya tarik yang sayang untuk diabaikan.

"Anjay, ¹ti luhur nepika handap, mani mulus," decak seorang laki-laki yang begitu bergairah memerhatikan para perempuan yang menari di depan sana. Ia tampak menjilati bibir bawahnya dengan begitu menggoda. Rasanya tak kuasa menahan keinginannya untuk menyentuh perempuan incarannya itu. ¹Dari atas sampe bawah, mulus banget, gilak;

Emangna manéh geus apal awakna ti luhur nepika handap?" tanya kawannya yang sama-sama meminum wiski bersamanya. Dia sedang meledeknya. ²Emangnya lo udah tahu gimana badannya dari atas sampe bawah;

Dia terkekeh. "³Acan, sih. Tapi katingalina mah kitu." ³Belum sih. Tapi keliatannya sih kayak gitu;

Hanya terdengar suara helaan napas. Dia memilih untuk kembali mengangguk-anggukkan kepalanya, mengikuti irama lagu yang semakin heboh.

"Eh, Rio, nyaanan nu kamari téh si Aryani?" Topik pembicaraan pun berganti. ⁴Seriusan yang kemarin itu si Aryani;

Rio menoleh padanya, lalu mengangguk. "Yoi. Kumaha? Mantap?" ⁵Gimana;

"⁶Anjir pokona mah. Bodina aduhai," jawabnya dengan tangan yang membentuk sebuah bodi jam pasir. "Terus, ⁷kumaha carana manéh bisa mawa si Aryani?" ⁶Gilak banget pokoknya. Bodinya aduhai; ⁷Gimana caranya lo bisa bawa si Aryani;

Rio menjentikkan jarinya. "Biasa. Budakna gampang dibobodo," katanya dengan penuh kepuasaan. ⁸Anaknya gampang dimodusin;

"⁹Gelo manéh mah." Temannya geleng-geleng kepala. "¹⁰Teu sieun kaciduk ku polisi?" ⁹Lo emang gila; ¹⁰Nggak takut ketangkep sama polisi;

Mendapati pertanyaan itu, Rio terdiam sejenak. "¹¹Tong mamawa polisi, mun manéh ogé menikmati." ¹¹Jangan bawa-bawa polisi, kalau lo juga menikmati;

"¹²Nya kan aing mah nanya hungkul—" ¹²Iya kan gue cuma nanya doang;

Alunan musik yang tiba-tiba berhenti, membuat semua orang yang ada di klub terheran-heran. Entah kenapa, si disjoki menghentikan kegiatannya. Tak lama, pandangan mereka terpusat pada 2 orang pria berjaket, berjalan menghampiri bar.

"Selamat malam." Sapaan yang datang tiba-tiba dari belakangnya, membuat Rio menoleh. Kedua alisnya terangkat, dengan mata yang memerhatikan penampilan orang-orang di hadapannya dari atas sampai bawah. Mereka tak berekspresi, tapi tampak garang.

"Malam," balasnya setelah membenarkan posisi duduknya. Dia bingung.

Dua pria itu pun saling tatap, seperti memberi kode. Dan benar saja, beberapa detik kemudian, satu di antaranya melangkah maju, mendekati Rio dan memborgolnya tanpa izin. Laki-laki itu pun memberontak, namun mampu mereka kendalikan.

Kejadian tersebut membuat semuanya panik. Mereka sudah bisa menebak, kalau yang berada di antara mereka adalah polisi. Tak ingin terkena imbas, hampir semua berlarian keluar dari klub dengan kocar-kacir. Temannya yang sedari tadi bersamanya pun terlihat ketakutan dan berjalan mundur, meinggalkan Rio yang sudah kalut. Tidak setia kawan! Tunggu, sepertinya Rio akan menendangnya dari daftar pertemanannya.

"Lepasin saya! Kenapa saya diborgol?!" Dia tak berhenti memberontak.

"Saudara kami tangkap karena terlibat dengan komplotan yang sedang kami incar."

Sial! Kenapa bisa

Sorot matanya teralihkan pada kehadiran rekan-rekannya yang juga sama diborgol. Ternyata para polisi itu sedang menyamar di klub ini. Mereka muncul dari lantai bawah. Lantai yang dipergunakan untuk hal-hal yang tidak senonoh. Tak hanya untuk sekadar menari dan menghilangkan penat, tapi klub ini juga punya sisi yang lebih gelap dari itu. Para pekerja seks komersial mulai terlihat satu per satu bermunculan dengan kepala yang menunduk. Mereka terlihat pasrah. Tak ada pemberontakan.

Tapi ada yang lebih menarik perhatian. Seorang gadis dengan pakaian yang dikenakan alakadarnya hanya untuk menutupi bagian tubuhnya, terlihat dibopong oleh seorang polisi lainnya yang menyamar. Gadis itu pingsan. Matanya juga sembap. Melihatnya, Rio meneguk ludah. Merasa kasihan? Tidak. Sama sekali tidak. Dia hanya mengkhawatirkan dirinya sendiri. Gadis itu mengenalnya. Sudah pasti dia akan memberatkannya.

Mampus!

"Kalian nggak tahu siapa saya?" tanyanya kemudian.

Pria yang mengenakan Zip Through Jacket berwarna cokelat itu menyeringai. "Lalu kamu mau apa kalau kami tahu siapa kamu? Di mata hukum, semuanya sama. Yang salah, tetap salah, Rio Adiguna. Jangan banyak bicara."

Rio tertohok.

"Bawa dia!" perintahnya pada sang anak buah.

"Baik, Pak Bima," balasnya dengan sigap. "Ayo jalan!" Desakan itu membuat Rio melangkah dengan berat hati dan mau tak mau.

***

Sekar spontan menutup mulutnya yang nyaris berteriak karena terkejut dengan apa yang telah dilihatnya.

"Pa," katanya pada Adiguna. "Kenapa Papa nampar Radit?" Dia lekas merangkul anaknya itu.

Radit hanya mampu memegangi pipinya yang terasa sakit karena sentuhan kasar itu. Dadanya terlihat naik turun. Ini kali pertama untuknya mendapat perlakuan seperti ini dari sang papa.

"Dia melanggar aturan saya di rumah ini. Kurang ajar!" Tangannya akan melayangkan sebuah tamparan lagi, tapi berhasil dia tahan.

"Melanggar apa?" tanya Sekar dengan wajah bingungnya.

Adiguna menatapnya dengan tajam. "Kamu juga tahu itu." Rahangnya semakin mengeras.

Sekar mengerutkan keningnya. Dirinya tak mengerti.

"Dia," tunjuknya pada Radit, "berani masuk ke ruangan kerja saya, dan menggunakan komputer milik saya!"

Radit melotot. Bola matanya seperti akan keluar. Mampus!

"Nggak hanya itu, hal yang paling fatal adalah, dia berani membuka E-mail yang masuk ke komputer saya!"

Tenggorokannya seakan tercekik. Bagaimana bisa dia ketahuan? Apa Rio yang membocorkannya? Tapi, perihal E-mail itu ... tidak mungkin Rio bisa mengetahuinya. Atau, apa ada kamera yang dipasang di sana? Sial! Dia menggigit bibirnya dengan kuat. Kenapa dia bisa melupakan risiko dari tindakannya? Sudah pasti ada tanda telah dibaca di E-mail itu.

"Kamu kira, Papa nggak bakalan tahu, gitu?"

Radit hanya bisa menunduk. "Ma-af Pa. Radit—"

"Dia cuma butuh buat ngerjain tugas sekolahnya, Pa." Sekar berusaha membelanya.

Adiguna mendecih. "Bagaimana kamu berhasil masuk? Kamu retas? Papa kan udah peringatin, jangan pake kemampuan kamu itu di rumah ini. Apalagi berurusan sama privasi Papa."

"Ra-Radit—"

Suara bel dan ketukan pintu menyela pembicaraan mereka. Dalam detik yang sama, mereka menoleh ke arah pintu dengan serempak.

Adiguna membuang napasnya kasar. Telunjuknya kembali mengarah ke wajah anaknya dengan tajam. "Papa belum selesai soal ini," katanya sebelum pergi untuk memeriksa tamu yang datang secara mendadak itu.

"Masih sakit?" Sekar mengelus pipi anaknya dengan cemas. Dia benar-benar syok atas semua ini.

"Nggak apa-apa kok Ma," balasnya dengan bohong. Sejujurnya, rasa sakitnya masih sangat terasa.

Adiguna tampak dikejutkan dengan kedatangan 2 orang pria yang tak dikenalnya. Perasaannya menjadi campur-aduk. Pikirannya pun berkelana ke suatu hal yang dia takuti.

"Selamat malam," ucap salah satu pria berjaket cokelat itu padanya.

Lihat selengkapnya