***
Adiguna berjalan menuju mobilnya dengan tergesa. Dia ingin menghubungi seseorang yang mungkin bisa membantunya untuk lepas dari masalahnya saat ini.
"Mang, jangan sampe ada yang mendekati mobil. Saya perlu privasi sebentar," katanya pada si supir yang kini sudah berada di luar.
"Siap Pak. Baik," jawabnya dengan badan yang sedikit membungkuk.
Pria itu pun mengangguk sebelum menaikkan kembali kaca jendela mobilnya. Tangannya lalu merogoh ponselnya di dalam saku jas dan segera menghubungi seseorang.
"Halo?" Suara bariton menyapanya setelah panggilan terhubung.
"Pak Adi? Ada apa?"
"Selamat malam, Pak. Maaf karena saya menghubungi Anda secara mendadak seperti ini," ucapnya dengan tangan yang sedikit melonggarkan dasinya. "Saya perlu bantuan."
"Oh, tidak apa-apa. Saya juga tidak begitu sibuk. Apa yang bisa saya bantu?"
"Saat ini saya sedang berada di Polrestabes Bandung. Anak saya ditahan di sini."
"Ditahan? Apa ada kesalahpahaman?"
Adiguna terdiam sejenak. "Tidak. Anak saya telah melakukan pelanggaran berat. Anda bisa membantu saya? Bukannya sekarang Anda ditugaskan di Polrestabes Bandung? Pasti akan mudah."
"Bukan hal yang mudah untuk melepaskan hukuman begitu saja, Pak Adi. Ada prosedurnya. Paling tidak, anak Anda harus naik ke persidangan dulu untuk mengajukan penangguhan. Itu juga berlaku jika Anda ingin menjaminnya dengan uang."
"Tidak. Saya ingin anak saya pulang malam ini. Tanpa persidangan. Anda tahu Pak, saya memegang rahasia Anda selama ini. Kalau malam ini anak saya tidak pulang, rahasia Anda juga akan terbongkar malam ini," ancamnya.
Hening.
"Maksud Anda?"
"2 Mei lalu di Jakarta, Anda menerima suap dari rekan saya di PRNI, Juna Abian, untuk menyembunyikan kasus tabrak larinya. Anda sendiri yang membuat perjanjiannya, bukan?"
Dia terkejut sampai menegakkan duduknya.
"Bagaimana Anda bisa tahu perihal itu?"
"Juna meminjam uang 2 miliarnya dari saya."
Matanya terbelalak. Sialan.
"Jika Anda membeberkannya, Anda juga akan mendapat masalah, Pak Adi. Nama Anda akan saya seret."
Adiguna malah tertawa sarkastis. "Anda punya bukti untuk menyeret nama saya?"
Pria di sana meneguk ludah.
"Siapa yang mengurus kasusnya?" tanyanya kemudian.
Adiguna menarik sudut kiri bibirnya ke atas. Sepertinya ancamannya berhasil.
"Bima Adelard. Dia sendiri yang telah menangkap basah anak saya."
"Bima? Dia sedikit keras kepala. Akan sulit mengendalikannya."
"Saya tidak peduli. Apa pun caranya, anak saya harus pulang malam ini."
Terdengar suara helaan napas. "Baiklah, akan saya usahakan."
***
Bima terlihat mengedarkan pandangannya, mencari sosok Adiguna di sekitar parkiran. Dan tak lama, pandangannya terpusat pada mobil sedan berwarna abu yang terparkir di sebelah barat. Dia pun berjalan ke arah sana untuk menjemput ketua komisi itu.
"Urusan belum selesai, main pergi aja," rutuknya sebelum melangkahkan kaki.
Mang Agus yang berdiri di dekat mobil mengerutkan kulit keningnya, saat menangkap kedatangan seorang polisi yang mengenakan kaus dinasnya.
Bima menipiskan bibirnya sebelum melontarkan pertanyaan kepada sang supir yang sekarang sedang memerhatikannya.
"Di mana Pak Adiguna?"
"Terima kasih. Nanti saya hubungi lagi," pungkasnya setelah mendengar obrolan dari luar.
Mang Agus menggaruk lehernya. "Bapak ada di—"
"Saya di sini." Adiguna menyahut sembari keluar dari mobil.
Kedua alis Bima sedikit terangkat.
"Urusan kita belum selesai, Pak Adiguna. Seharusnya Anda tak keluar begitu saja dari ruangan introgasi."
"Maaf, saya perlu menghubungi seseorang," katanya setelah merapikan jasnya.
Bima melirik mobil di hadapannya. "Di dalam mobil?" tanyanya dengan menohok. "Kenapa harus jauh-jauh di sini?"
"Saya butuh privasi."
Tak lama Adiguna kembali memasuki kantor, melewati polisi yang sudah menyusulnya. Angkuh sekali. Bima saja sampai dibuat geleng-geleng kepala dan berkacak pinggang.
"Mari Pak," pamitnya kemudian pada Mang Agus sebelum menyusul Adiguna yang sudah jauh beberapa meter.
Mang Agus hanya mengangguk kaku dengan menampakkan senyuman canggungnya. Tak bisa dipungkiri, dirinya sangat gugup berhadapan dengan seorang polisi yang selalu membawa senjata api di pinggangnya.
***
Mereka berdua saling berhadapan lagi di ruangan yang minim cahaya itu. Adiguna sekarang terlihat lebih tenang. Mungkin karena sebentar lagi masalahnya akan lekas melonggar, jadi dia tak segelisah sebelumnya.
"Apa di sini boleh merokok?" tanyanya seraya mengeluarkan rokok dan pemantik berwarna emas dari dalam saku jasnya.
"Tidak. Asap rokok dilarang di sini," larangnya dengan punggung yang mendekat ke sandaran kursi.
Adiguna pun mengangkat kedua alisnya dengan bibir yang sedikit menekuk ke bawah. "Baiklah," katanya sembari meletakkan kedua benda miliknya itu di atas meja.
Bima tampak melirik sebungkus rokok dan pemantik itu sesaat, lalu kembali mengarahkan tatap kepada Adiguna.