BILA BAHAGIA ITU DIJUAL

Sefiti
Chapter #46

KONEKSI SAKIT?

***

Minggu, 12 Desember 2021

Kedua tangannya membuka jendela kamar setelah selesai mengenakan seragam sekolahnya, agar udara pagi bisa memasuki ruangan dengan leluasa. Setelah menikmati oksigen segar beberapa saat, ia berbalik dan mendekat ke cermin untuk merapikan diri.

"Na!" Panggilan Calvin membuatnya menoleh ke arah pintu.

"Apa? Buka aja pintunya."

Pintu kamar lekas terbuka saat itu juga. Membuat Nona sedikit tersentak.

"Kakak, pelan-pelan dong buka pintunya. Rusuh amat," protesnya setelah menghela napas.

"Na, serius si Radit itu anaknya Pak Adiguna? Kamu semalem nggak bohong kan?" Dia malah membicarakan hal lain tanpa menggubris protesan sang adik.

"Iya. Ngapain juga Nona bohong."

Hening. Calvin menggaruk keningnya, padahal tidak terasa gatal sama sekali. Tak lama, kakinya mendekat ke ranjang dan dia pun mendudukkan diri di pinggir benda berbentuk balok itu dengan lengan yang terlipat di depan dada.

"Kamu bilang, hubungan kalian nggak baik karena dia ngerasa tersaingi di sekolah. Terus, kok dia peduli sama kamu? Pake acara nganterin dompet segala. Jangan-jangan dia punya maksud lain."

Nona pun terdiam. Dia sendiri sangat terkejut dengan perubahan sikap Radit belakangan ini. Tidak mungkin laki-laki itu menyerah begitu saja atas posisinya di sekolah. Apa Radit sudah lelah dengan tuntutan papanya? Bisa saja itu terjadi.

"Nona juga bingung sih sebenernya. Apalagi, dia pernah bilang kalau Nona bakalan dikeluarin dari sekolah sama papanya, kalau nilai ujian Nona ngalahin dia lagi. Tapi sampai sekarang, nggak ada tuh Nona dipanggil pihak sekolah soal itu."

Calvin terbelalak. "Apa-apaan. Seenaknya ngeluarin anak orang cuma gara-gara nilai anaknya kalah saing."

"Papanya kan punya koneksi sama yang punya sekolah. Jadi ya mungkin itu alasannya kenapa sampe berani ngancem kayak gitu."

"Koneksi mereka itu kayaknya nggak normal dan sakit deh, Na." Celetukannya sangat menohok.

"Kok Kakak ngomong gitu?"

"Kamu sendiri tahu kan, kalau koneksi itu maksudnya hubungan yang bisa mempermudah urusan?"

"Terus?"

"Kadang, sesuatu yang dibilang mudah, nggak selalu berarti mudah. Harus ada cara untuk mempermudahnya. Contoh kecilnya, koneksi internet bisa ngemudahin kita buat berselancar di media sosial atau pun ngelakuin hal via online. Tapi tetep aja nggak bisa digunain kalau nggak ada aksesnya. Begitu juga sama koneksi antar perorangan. Nggak bakalan berjalan lancar kalau nggak ada penunjangnya."

"Maksudnya... uang?"

"Lebih dari itu," katanya dengan serius.

Helaan napas mengantarnya duduk di kursi. "Udah deh, ngapain juga mikir sampe sana. Itu urusan mereka." Nona berpikir kakaknya terlalu berlebihan.

"Emang urusan mereka. Tapi kan sekarang nyangkutin kita juga."

Dirinya tak menanggapi. Ia memilih untuk memeriksa isi ranselnya. Takut-takut ada yang tertinggal atau terlupakan.

"Malah dikacangin," katanya sembari menumpukan kedua telapak tangannya ke atas ranjang.

"Nona nggak tahu harus nanggepin kayak gimana, Kak. Kita fokus aja dulu ke Pak Adiguna. Sampe sekarang kita belum dapet apa-apa, kan? Harus gimana lagi biar bisa dapet pembuktian soal Pak Hartigan itu? Terus, soal Kak Rudi. Apa bener dia cuma tetangga biasa? Nona masih curiga sama dia."

Mendengar itu, Calvin kembali melempangkan duduknya. "Sementara, kita awasin dulu mereka lewat alat pelacak itu. Kalau nggak dapet-dapet, ya kita cari jalan lain. Tetep waspada aja, karena pasti manusia berbahaya itu ngawasin kita."

Nona menarik sudut kiri bibirnya ke samping dengan alisnya yang terangkat. "Iya."

Calvin mengangguk-anggukan kepalanya sambil memerhatikan penampilan sang adik dari atas sampai bawah. Bibirnya mengulum tawa selama menyorotinya. Jujur, saat memasuki kamar, dia terkejut dengan penampilan Nona. Tapi dirinya tak ingin membahasnya.

"Kenapa lihatin Nona kayak begitu?"

Deheman pun keluar dari mulutnya. "Nggak apa-apa," balasnya dengan ekspresi yang dibuat senetral mungkin.

Nona memutar matanya malas. "Pagi-pagi jangan bikin bete deh."

Calvin masih berusaha keras untuk menahan tawanya agar tak lepas begitu saja.

"Ya udah, Kakak keluar dulu," pungkasnya sebelum bangkit.

"Hm." Nona merespons tanpa melirik. Dia sibuk dengan peralatan sekolahnya.

Kakaknya itu masih terdiam setelah berdiri tegak. Ada hal lain yang ingin dia utarakan.

"Kemarin, waktu pamitan, Radit nanyain rumah di seberang."

Nona sontak menoleh. Kelopak matanya melebar. "Hah? Ngapain nanyain?"

"Nggak tahu lah. Awalnya Kakak pikir cuma iseng nanya doang. Tapi kayaknya ada something else."

"Orang kayak dia nggak mungkin ngebahas sesuatu yang nggak penting. Apa Radit tahu sesuatu soal rumah itu? Atau, dia punya urusan sama penghuninya?" Nona mengeluarkan asumsinya.

"Bisa aja? Tapi belum tentu juga."

Nona menggigit bibirnya. Masalahnya semakin rumit.

"Kamu harus tetep hati-hati aja sama Radit. Jangan lengah. Bisa-bisa, dia lagi nyiapin strategi buat nyerang kamu dari belakang."

Karena petuah itu, Nona manggut-manggut. "Iya."

"Kalau gitu Kakak ke dapur duluan ya. Laper. Nanti kita lanjut lagi," pamitnya seraya menyoroti busana Nona dari atas sampe bawah. Kedua pipi laki-laki itu mengembung. Rasanya ingin terbahak-bahak, tapi belum waktunya.

"Kenapa sih?" Nona kesal dengan gelagatnya.

Calvin hanya menggeleng, lalu pergi meninggalkannya.

Lihat selengkapnya