BILA BAHAGIA ITU DIJUAL

Sefiti
Chapter #47

KETAHUAN?

***

Tiga orang pria berpakaian informal sedang mengadakan pertemuan di kediaman salah satu di antaranya. Tempat ini sudah menjadi markas bagi mereka dalam beberapa waktu belakangan ini.

"Kegiatan penambangan di Kalimantan Timur sudah mulai berlangsung," ucap Rama sehabis menyeruput Red Wine dari gelasnya.

Adiguna dan Andre mengangguki ucapannya.

"Baguslah. Kita hanya tinggal menikmati hasilnya saja." Andre mengangkat gelasnya setelah mengatakan itu. Seolah tengah memegang tropi kemenangan.

"Yang ini rada susah kemarin. Gubernurnya sedikit keras kepala." Adiguna turut bersuara.

Rama tertawa. "Tapi ujung-ujungnya tertarik, kan?"

"Ya. Uang membuatnya jinak." Guyonan Andre mengundang gelak tawa.

Sudah hampir 1 jam mereka berbincang, kini perbincangannya mulai menginjak topik utama yaitu, perihal kegiatan pertambangan yang dilakukan di daerah terlarang dan sudah dilindungi Undang-Undang. Kerja sama ini sudah mereka lakoni dari tahun 2020. Sangat menguntungkan pribadi, namun merugikan negara. Licik. Mereka manusia yang serakah dan egois. Beruntung sekali karena pekerjaan kotornya masih terkunci rapat. Namun sepertinya mereka melupakan satu fakta, bahwa buah yang busuk akan hancur karena kebusukannya sendiri.

"Sayang sekali Yuda tak bisa hadir. Dia sedang melakukan pertemuan di Samarinda." Ucapan Adiguna menyusutkan tawaan.

"Iya. Dia sudah memberitahu saya." Rama merespons selagi menuangkan cairan dari dalam botol minuman ke gelasnya yang nyaris kosong.

Adiguna menganggut. Tangannya tak lama menepuk kedua pahanya. "Oh ya, kita belum menandatangani surat perjanjian." Dia pun beranjak dan menghampiri meja kerjanya untuk mengambil beberapa dokumen berupa surat perjanjian. Dirinya yang mengajukan, karena tak mau suatu saat dirugikan. Dia tidak sepenuhnya memercayai kedua pria itu.

Mau tidak mau, mereka menandatangani surat perjanjian yang berisi beberapa hal yang berhubungan dengan kerahasiaan kerja samanya. Kesepakatan. Selain tanda tangan, cap jari wajib menghiasi kertas putih yang masih tergeletak di atas meja.

"Saya boleh pinjam pemantik?" pinta pria berambut man bun itu sesudah menempelkan cap jarinya. Jejak tinta biru tampak terlukis di kulit jarinya.

Adiguna merogoh saku celananya. Badannya sedikit terangkat agar mempermudahnya menarik ke luar benda kotak berwarna emas itu.

"Ini." Dia menyodorkan si pemantik kepadanya.

"Terima kasih." Andre tersenyum tipis seraya mengambil alihnya.

Akan tetapi, saat dia nyaris menyalakan api pemantiknya, pria itu terdiam dengan mata yang memerhatikan benda di tangannya penuh selidik. Mengundang kebingungan Rama dan Adiguna yang mengamatinya.

"Ada apa?" tanya Rama mencari tahu penyebab rekannya bersikap aneh.

Bukannya menjawab, Andre mengarahkan mata kepada Adiguna. Tatapannya menunjukkan rasa penasaran serta keterkejutan.

"Sejak kapan Anda memiliki pemantik ini, Pak Adi?"

Adiguna mengerutkan kening. "Memangnya kenapa? Itu sudah saya miliki sejak 3 hari yang lalu. Seseorang memberikannya secara tiba-tiba. Katanya dia menemukan pemantik itu, dan mengira saya pemiliknya. Tapi... dia tidak mau repot mencari tuan aslinya. Jadi saya bawa saja."

"Ada apa, Ndre?" Rama mulai penasaran.

Andre mengumpat, "Sial."

"Sial kenapa?" Adiguna mulai terpancing emosinya.

Satu detik kemudian, bantingan yang sangat keras bergema di dalam ruangan kedap suara itu. Rama dan Adiguna spontan berdiri dengan mata terbelalak. Tidak menduganya. Pemantiknya terpecah belah, sampai bagian dalamnya terbongkar. Cukup di sana? Belum. Andre kemudian menginjak-injak benda itu.

"Andre, apa yang sudah kamu lakukan? Kenapa?" Adiguna berteriak sampai urat-urat di lehernya menegang.

Andre berkacak pinggang, lalu menoleh ke arah belakang. "Ini bukan pemantik biasa. Ada penyadap di dalamnya." Ungkapannya menciptakan keterkejutan.

"Bagaimana kamu bisa tahu? Apa kamu yakin?" Adiguna belum memercayainya.

Andre membuang napasnya lewat hidung. Mendengus. Sesudah itu, dia merendahkan badan supaya bisa meraih sesuatu di antara serpihan benda yang tak karuan itu.

"Saya mengenal benda semacam ini. Lihatlah," dia menunjukkan sebuah benda kecil berwarna hitam, "ini adalah penyadap. Mungkin bagi orang awam, terlihat biasa saja. Tapi, saya mempelajari dan mengenalnya. Hanya saja, saya tidak tahu pasti apakah penyadapnya berfungsi atau tidak."

Seketika Adiguna menegang. Dirinya saat ini bak pencuri yang ketahuan. Jika pemantik itu berfungsi, pasti semua percakapannya terekam. Reputasi dan hidupnya sedang di ambang permasalahan fatal.

"Apa perempuan itu memang sengaja?" Rama tak kalah gundahnya.

Adiguna menggeleng. "Saya tidak tahu. Mungkin benar dia hanya menemukannya, dan si pemilik asli yang bertanggung jawab untuk semua ini."

Andre mengusap rambutnya kasar. "Kita harus menemukan pemiliknya. Dengan itu, kerisauan kita bisa diatasi."

Adiguna mengangguk setuju. "Pertama, kita harus mendatangi restoran untuk mengecek CCTV. Tapi biar saya sendiri yang pergi. Jika kita berangkat bersama, akan menarik perhatian orang."

"Baiklah. Kabari saja jika kamu butuh apa-apa," ucap Rama padanya.

"Kalau begitu, saya izin kembali ke Jakarta. Hubungi saja jika terjadi sesuatu." Andre berpamitan setelah menarik jaketnya dari sofa.

***

Nataline sangat menikmati siaran dari penyadapnya. Layaknya pendengar radio yang setia menghayati lagu-lagu yang diputar.

"Game over, men." Hari ini dia mendapatkan sesuatu hal yang luar biasa lagi. Spektakuler. "Waktu bersenang-senang sudah habis."

"Sial kenapa—"

"Shit!" Nataline memukul meja dengan gemas. "Ish. Ketahuan, si Gold."

Dirinya terkejut karena tak menyangka akan tertangkap basah. Tapi tidak apa-apa. Akhir yang sangat bagus untuknya.

"Thank you and good bye, My Gold."

Nataline membuang napasnya. Walaupun begitu, sia-sia pencarian mereka. Pelacakan tak akan berguna. Identitas yang mereka cari hanyalah bayangan semu.

"Gila. Kayaknya mereka ngelakuin penambangan di daerah terlarang."

Dia menggigit jarinya. "Kalau lapor ke Pak Adrian, buktinya belum cukup. Surat perjanjian. Itu alat bukti utamanya."

Tapi bagaimana cara mendapatkannya?

***

Rudi memasang wajah datar selama beraktivitas di restoran. Dia sama sekali tak berminat melakukan pekerjaan semacam ini. Jika imbalannya tak sepadan, dia lebih memilih menarik pelatuk ke target langsung tanpa bertele-tele seperti ini.

Tak sedikit orang yang datang ke restoran itu menyebalkan. Sangat beruntung karena mereka bertemu dengannya di keramaian. Kalau tidak, mungkin mereka sudah dia habisi.

Lihat selengkapnya