BILA BAHAGIA ITU DIJUAL

Sefiti
Chapter #48

MEMANCING?

***

Menjadi sebuah kesenangan bagi sebagian besar pelajar, apabila kegiatan pembelajaran tidak begitu efektif. Mereka yang tidak berambisi dalam belajar mengartikannya sebagai sebuah keberuntungan, karena setidaknya memiliki peluang untuk mengusir kepenatan—penat dengan ketidakpahaman materi yang disampaikan. Sedangkan si ambisius, hanya bisa menghela napas sebab kecewa dengan keadaan sia-sia seperti jam kosong semacam ini, di mana guru tidak memberikan pengajaran.

Dikarenakan pihak guru akan mengadakan rapat bersama pemilik sekolah, keadaan kondusif tak lagi berkecamuk. Dan selepas upacara bendera selesai dilaksanakan, penghuni ruangan kelas di SMA Berlian memiliki kebebasan untuk berkegiatan, selain berurusan dengan materi perlajaran. Namun, hal itu tidak berlaku untuk semua kelas, karena kebanyakan guru meninggalkan tugas yang harus dikumpulkan setelah waktu pelajaran telah usai. Lagipula, peraturan sekolah yang sangat ketat dan disiplin tidak memberi kelonggaran bagi murid-murid tanpa hak istimewa.

"Pak Setyo mau bahas apa ya, Bu? Tumben ngadain rapat." Bu Susi berceloteh di sepanjang perjalanan menuju ruang rapat yang berada di lantai 3.

Tadi malam, Pak Dani memberitahukan informasi mengenai rapat hari ini melalui grup chat. Tentu saja para guru merasa keheranan dan penasaran tentang alasannya.

Nataline yang berpangku tangan menoleh, lalu ia pun mengedikkan bahu sebagai respons. Jujur, dirinya juga merasa penasaran. Semoga saja dia bisa mendapatkan hal yang berkaitan dengan misinya. Waktunya tidak banyak lagi. Hanya 6 hari tersisa untuk menyelesaikannya.

Ketika tiba di depan ruangan rapat, langkahnya terhenti. Iris matanya bertemu dengan tatapan dingin dan sombong dari guru kesiswaan di hadapannya.

Deheman pun meluncur dari tenggorokannya. "Silakan Pak Aldi," katanya dengan senyuman yang sangat ramah. Ada kedustaan di dalam sana.

Pria itu tak mengindahkan perbuatannya. Dia malah meleos masuk ke dalam ruangan tanpa menanggapi perkataannya.

Kurang asem. Bagian kiri atas bibirnya terangkat. Menyebalkan sekali.

"Pak Aldi emang kayak begitu, Bu." Ucapan Bu Susi membuat wajahnya menetral. "Hayu masuk. Pak Setyo udah nungguin, tuh." Matanya memberi arahan ke seorang pria berjas yang duduk di salah satu kursi.

Nataline memerhatikannya begitu lekat. Pandangannya mengarah kepada kacamata yang kini menghiasi kedua mata pria tua itu. Perlahan, senyuman licik timbul dari bibirnya yang dilapisi lip cream berwarna dark mauve.

"Ayo." Bu Susi akhirnya memberi desakan agar guru pengganti di sampingnya segera melangkahkan kaki, melewati garis pintu.

Nataline akhirnya bergerak dan segera menuju salah satu kursi yang masih kosong. Namun sial, tempatnya duduk berhadapan dengan guru laki-laki yang telah membuat suasana hatinya tidak enak. Lihat saja sekarang, sikapnya yang seakan merendahkan kehadirannya. Sangat jelas terpampang melalui tatapannya.

"Pagi Pak," sapanya sebelum duduk di kursi.

Nataline menipiskan bibir menerima anggukan singkat pria di ujung meja. Tangannya terangkat untuk menyimpakkan rambutnya ke belakang telinga. Berusaha tampil elegan dan tenang di depan Pak Aldi, walaupun isi hatinya memberontak—ingin melontarkan berbagai macam kata kasar padanya.

"Baik. Kita mulai saja." Setyo mengawali acaranya. Jarinya bergerak menyamankan posisi shank kacamata yang nangkring di telinganya.

Semua orang yang sudah memenuhi kursi, lekas menegakkan duduknya, menghadapkan muka ke sumber suara.

"Pak Dani, bagikan bahan rapatnya," titahnya pada kepala sekolah yang duduk paling dekat dengan posisinya.

Pak Dani mengangguk. "Baik Pak." Dia bangkit seraya meraih dokumen dalam map berwarna biru yang telah siap bersamanya.

"Biar saya saja Pak." Pak Aldi menawarkan diri. Membuat geraknya terjeda.

Carmuk. Perempuan di seberangnya mendecih.

Kepala Pak Dani sedikit memiring. Lalu, dia mengalihkan pandang kepada atasannya, meminta persetujuan.

"Silakan." Setyo sedikit mengulurkan telapak tangannya, menyerahkan tugas.

Pak Aldi mengangguk singkat sebelum menghampiri Pak Dani untuk mengambil alih tugasnya. Setelahnya, ia segera membagikan beberapa lembar kertas berisi topik yang akan dibahas di rapat kali ini.

Nataline mengekori setiap pergerakannya dengan mata yang menyelidik. Sangat terbuka sampai objeknya pun menyadari perilakunya.

"Berhenti menatap saya seperti itu," bisik Pak Aldi saat sampai di tempatnya.

Dia sontak mengerjapkan mata dan menelan ludah singkat. Selanjutnya, dirinya berpura-pura tak mengacuhkan perkataannya.

"Saya mengumpulkan kalian di sini untuk memberitahukan pembaruan mengenai peraturan istimewa. Kalian bisa perhatikan poin-poin yang ada di dalam dokumen."

Berbagai ekspresi tergambar dari wajah para guru. Mereka tidak menduga dengan tujuan rapat yang ternyata akan membicarakan seputar peraturan istimewa.

"Jadi, untuk biaya investasi atau pendaftaran sebagai murid istimewa, akan menjadi dua kali lebih besar dari sebelumnya."

Lihat selengkapnya