BILA BAHAGIA ITU DIJUAL

Sefiti
Chapter #49

BENANG MERAH?

***

"Selamat siang Pak Adi." Para penjaga yang kebagian shift pertama menyambut kedatangan pria berjaket hitam itu.

"Siang. Pak Setyo ada di dalam?"

Salah satunya mengangguk. "Ada. Beliau sudah memberitahukan kalau Bapak akan datang kemari."

Adiguna manggut-manggut.

Suara bel menerobos masuk ke telinga Setyo yang terduduk di depan meja kerjanya.

"Ada apa?" sahutnya setelah menekan tombol pada benda kecil yang menempel di atas mejanya.

"Pak Adiguna sudah datang."

Salah satu alisnya sedikit naik.

"Selamat siang Pak," timpal Adiguna di balik lubang-lubang kecil itu.

"Tunggu sebentar."

Dia beranjak dan menghampiri pintu untuk membukanya secara manual. Jarak meja kerja dan sofa ke pintu kurang lebih lima meter. Membutuhkan beberapa detik untuk membuka pintu. Tak ketinggalan, dia menempelkan sidik jari jempolnya sebagai kunci utama.

Dua pasang mata di balik masing-masing kacamatanya saling menyapa.

"Mari masuk."

Adiguna mengangguk sebelum menerobos ke dalam ruangan. Tangan kanannya lekas menutup pintu setelah seluruh tubuhnya berhasil melewati perbatasan.

"Ada hal penting tentang apa?"

"Kita perlu bicara di dalam." Wajahnya mengarah ke lukisan besar di sampingnya.

"Oke." Kakinya maju beberapa langkah, mendekati lukisan untuk membuka akses masuk.

"Ayo."

Mereka seperti masuk ke dimensi lain, melalui pintu ajaib yang menghubungkan dua dunia yang berbeda.

Setyo menghela napas menuju duduknya. "Ada hal penting tentang apa?"

"Kacau." Dia tampak geleng-geleng kepala. Kalut sejak kemarin. Dirinya pun tak bisa tidur nyenyak dan tak berselera makan.

"Kacau kenapa?"

"Ada orang yang mengawasi saya selama beberapa hari ini. Dia memanipulasi penyadap." Tangannya merogoh sesuatu dari dalam saku jaketnya. "Ini." Ia menunjukkan benda tak karuan yang terbungkus di dalam plastik bening.

"Apa ini?" Setyo meraihnya untuk mengamati dengan seksama.

"Itu pemantik."

Dua bulatan yang dilapisi kornea itu kembali menatapnya. "Maksudnya, pemantik ini... penyadap?"

"Iya. Dan sial, perihal pertambangan ilegal yang selama ini telah dipoles semolek mungkin di mata media, kini berada diambang kehancuran." Kepalanya digaruk kasar. "Entah apa yang akan terjadi. Semoga Andre berhasil melacak perempuan itu."

"Perempuan?"

"Dia orang yang memberikan pemantik itu ketika saya makan malam bersama Pak Rama di restoran."

Terkejut. Lawan bicaranya tak mampu berkata-kata. Panik. Kecemasan mulai menyerangnya.

"Tunggu, apa... penyusup waktu itu berhubungan dengan masalah ini? Apa mungkin perempuan yang memberi pemantik kepadamu itu adalah perempuan yang sama dengan orang yang menyusup ke sini?"

Kepalanya memiring, meyakinkan perkiraan dan kemungkinan.

"Tapi, penampilannya berbeda. Kalau benar wanita di restoran dan si penyusup itu satu orang yang sama, sepertinya kita memang sedang diawasi."

Bergeming. Keduanya dilanda kegundahan dan rasa penasaran yang sama besarnya.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita sudah tidak bisa bergerak dengan bebas lagi."

"Entahlah." Adiguna menempelkan punggungnya ke sandaran sofa dengan kasar. Memanjakan tulang punggungnya yang terasa pegal. "Semoga kita masih beruntung—"

Ponselnya berdering. Ada panggilan masuk.

AL?

"Siapa?"

"Andre," jawabnya sebelum mematikan nada dering yang terus terulang itu. "Halo Ndre, bagaimana?"

"Perempuan itu tidak teridentifikasi. Identitasnya tidak terdaftar sama sekali. Pelat mobilnya juga."

Adiguna melotot. Mengetahui hal seperti ini membuatnya semakin kalang kabut. Tidak sesuai harapan.

"Shit. Kenapa bisa begitu?"

Setyo memerhatikannya dengan serius. Bohong jika dia tidak mengkhawatirkan reputasinya.

Andre menggeleng. "Sepertinya dia bukan orang sembarangan. Segalanya sudah dia susun dengan rapi, tanpa celah."

Bagian wajahnya diusap tanpa perasaan. Adiguna seolah digantung di atas jurang dengan tali yang nyaris putus.

"Saya akan memeriksanya kembali. Siapa tahu fotonya yang tidak terbaca."

Kepalanya manggut-manggut. "Kamu yang lebih mengerti soal itu. Oh ya, bagaimana dengan anak-anaknya Dirgantara?"

Jari telunjuk dan jari tengahnya bersamaan menggaruk ujung keningnya. "Ada yang menarik, tapi membingungkan."

Kerutan timbul di dahinya. "Apa?"

"Isi chat anak-anaknya mencurigakan. Ada beberapa pesan yang ditulis dengan kode, sepertinya."

Adiguna tertarik. "Kamu bisa menghubungkannya dengan perangkat saya?"

"Tentu. Anda ke depannya juga akan tahu tentang aktivitas mereka di ponsel dan telepon rumahnya."

Senyuman kepuasan terlukis dari sudut bibirnya. "Terima kasih."

"Siapa Dirgantara?" Setyo mengeluarkan rasa penasarannya selama mendengarkan topik obrolan rekannya itu.

Adiguna yang sedang memasukkan kembali ponselnya ke saku celana menoleh padanya. Ia tak langsung menjawab, dan terlihat melipat bibirnya. "¹My biggest threat." ¹Ancaman terbesar saya.

Lihat selengkapnya