BILA BAHAGIA ITU DIJUAL

Sefiti
Chapter #50

THE INFORMANT?

"Your parents."

Aldi keheranan dengan maksudnya. "Anda tidak punya hak untuk tahu tentang keluarga saya, terutama orangtua saya." Dia melangkah pergi, berniat tak menghiraukannya lagi. Guru pengganti itu membuatnya risi. Untuk apa juga ingin tahu tentang orangtuanya? Siapa dia? Enak saja.

"Orangtua Anda meninggal 7 bulan lalu, bukan?"

Langkahnya terhenti. Badannya kembali berbalik. Menatap seseorang yang sudah memiliki jarak 3 meter dengannya.

"Bu Susi yang bilang," katanya untuk menjawab kebingungan di wajah pria itu.

"Bu Susi?" Dirinya tak pernah merasa memberitahukan pada siapa pun kecuali Pak Dani. "Cih. Kepsek cepu." Dia kesal. Sepertinya guru-guru yang lain juga tahu soal itu. Harusnya Pak Dani merahasiakannya. Kehidupannya bukan konsumsi publik. "Sudah. Saya tidak mau membicarakannya. Bukan urusan Anda—"

"Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apa Anda sudah mendapatkan keadilan itu?" Nataline mulai memancing emosinya. "Orangtua Anda meninggal karena tabrak lari. Tapi pihak kepolisian menetapkannya sebagai kecelakaan tunggal. Betul begitu?"

Speechless. "Bagaimana Anda...."

Sebetulnya, dirinya hanya menebak saja. Mengumpulkan prasangka yang menggeluti pikiran. Dan sepertinya... dugaannya valid. Ia menyembunyikan helaian rambutnya ke belakang telinga menggunakan ujung telunjuknya. "Jadi benar?"

Jari-jarinya mengepal sampai urat tangannya tergurat dengan jelas. Kemurkaan yang terpendam dan belum terbaurkan kembali menguasai perasaannya.

"Bagaimana bisa Anda mengetahui itu? Saya tidak pernah menceritakannya pada siapa pun."

"Hmm...," jarinya diketuk-ketukkan ke dagu dengan berkala—ciri khas seseorang yang sedang mempertimbangkan sesuatu, "just follow my feeling."

Tawaan sarkastis menjalar ke telinganya. Aldi menertawakannya.

"Anda jangan bicara omong kosong. Jawab dengan logis!" Telunjuknya nyaris menikam wajah perempuan itu. "Pasti Anda tahu sesuatu yang lebih dari ini."

"Kalau iya... apa yang bakalan Anda lakuin, Pak Aldi?"

Mulutnya sedikit terbuka karena tidak menduga dengan jawabannya.

"Saya tidak akan memercayai Anda semudah itu."

Nataline menarik kedua sudut bibirnya ke samping. "Saya nggak minta Anda buat percaya. Tapi, kalau Anda butuh bantuan, saya bisa kok bantu."

Decihan kembali keluar. "Jangan harap saya akan meminta bantuan Anda, Bu Anna. Saya tidak percaya dengan siapa pun. Anda pasti hanya mempermainkan saya saja. Maaf, permainan Anda selesai sampai di sini."

"Kak! Ayo pulang!" teriak Iqbal di balik jendela mobil.

Mereka menoleh bersamaan.

"Bentar!" sahutnya tak kalah nyaring. Aldi berkacak pinggang. Satu tangannya terangkat, lalu menggaruk ujung alisnya. "Oh ya, satu lagi. Anda," tunjuknya kuat, "harus mengoreksi ini, kesenjangan sosial bagi seluruh rakyat kecil dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat berkuasa. Karena itu yang para penguasa serakah dan egois amalkan, daripada pengamalan yang seharusnya dijalankan."

Garukan jari di belakang lehernya mengantarkan kepergian pria angkuh yang telah memunggunginya. Hembusan napas panjang bertebaran ke udara.

"2 MEI, JAKARTA!"

Tubuhnya seakan tersengat aliran listrik. Dengan bola mata yang nyaris keluar, Aldi sontak berbalik. Bertanya-tanya lewat binar matanya.

Siapa dia sebenarnya?

"Anda terkejut?"

Tak habis pikir. Dirinya tidak tahu sedang berurusan dengan siapa. Apa selama ini, sangkaannya memang benar tentang jati diri perempuan itu? Dia, sosok yang ada di depannya adalah seorang detektif.

***

Nona mendesis selagi memutar otak.

"Bu Ningrum nggak akan ngejual rumahnya, kecuali ditawarin harga tinggi atau... ada kompromi lain."

Ujung bolpoin digigit olehnya dengan mata tak menghindarkan pengamatannya pada abjad-abjad di atas kertas.

"Katanya proyeknya udah mulai, tapi udah jalan 2 minggu belum ada bau-bau mau ngebangun toko. Nggak pernah ada juga pihak konstruksi atau siapa pun yang datang ke rumah itu."

Gadis itu termenung. Ada beberapa alasan dirinya menjadi seperti ini. Pertama, keputusan Bu Ningrum yang mendadak bertolak belakang dengan prinsipnya. Kedua, raut wajah Bu Ningrum sewaktu berpamitan begitu pelik. Dia termasuk wanita periang. Bagaimana bisa, tiba-tiba bersikap pendiam dan terlihat gelisah? Apa dirinya sudah berlebihan menanggapinya?

Nona melempar ingatan ke masa lalu. Di saat tetangga seberangnya itu berpamitan.

"Mari. Saya ... pamit ya."

"Ningrum kenapa pindah? Katanya betah di sini." Maya merasa keberatan untuk berpisah kembali dengan kawan seperjuangannya semasa sekolah.

Wanita itu tersenyum kecil. Senyumannya sangat memaksa.

"I-iya sih. Tapi sayang, rumahnya ditawar dengan harga gedé May."

Maya mengangguk. Ada keraguan dari sorot matanya—

"Na, kamu harus liat ini." Calvin membuyarkan imajinasinya.

Nona mendengus. Terganggu. "Heboh banget sih."

"Pak Adiguna ke pemakaman tempat papa dimakamin," tunjuknya pada layar ponsel yang memperlihatkan lokasi keberadaan mobil Adiguna.

Dirinya yang semula tak berminat, terperanjat.

"Ini, kamu pantau. Dia baru nyampe sana." Ponsel di tangannya disodorkan kepada adiknya dengan paksa. "Kakak mau mastiin ke sana. Siapa tahu kita bisa dapet sesuatu."

"Kakak serius mau ke sana?"

Calvin dengan wajah seriusnya mengangguk.

"Tapi hati-hati. Jangan gegabah. Amatin aja dulu kalau ternyata emang dia itu Pak Hartigan yang dimaksud papa. Jangan lupa ambil gambarnya."

"Siap. Kamu nggak usah khawatir. Bye." Dia segera berlari keluar. Mengejar waktu. Sepertinya mesin motornya akan bekerja sangat maksimal karena ia akan melajukannya dengan kecepatan tinggi.

***

Pria berjaket hitam berdiri dengan tangan yang menyilang di belakang badan. Memandang rendah makam di hadapannya.

"Dirgantara, kalau saja Anda tidak keras kepala, mungkin sekarang udara segar masih bisa Anda rasakan," ucapnya pada pemilik nama di dalam sana.

Lihat selengkapnya