***
Tepat pukul 04.00 WIB, bom waktu yang sudah dirancang sedemikian apik, baru saja meledak. Beberapa titik yang dipasangi bom waktu itu telah porak poranda. Semua kalang kabut setelah menerima pesan yang dikirim dari sebuah surel rahasia. Tanpa nama dan tak bisa diidentifikasi.
Anggota OPKN, David Dirgantara, terlibat kasus suap dengan mantan Wali Kota Banten, Geri Ginanjar, yang telah ditahan sejak 2 Oktober lalu. Suap tersebut berkaitan dengan pembangunan hotel yang dibangun di atas tanah milik negara.
Keterlibatan suap di antara mereka berawal dari penangkapan pertama saudara Geri Ginanjar di Banten, pada tanggal 2 April oleh David Dirgantara atas bukti-bukti yang sudah dikumpulkan. Namun, anggota OPKN tersebut menawarkan jalan tikus agar yang bersangkutan bisa terbebas dari jeratan hukum, dengan cara meminta jaminan sebesar 3 miliar untuk menghapus berbagai bukti atas kasusnya.
Semua perusahaan stasiun televisi dan radio di Indonesia dibuat terbelalak setelah membaca isi pesan yang tergurat di dalam E-mail itu.
"Siapkan reporter untuk meliput kasus ini. Kirim beberapa wartawan untuk mendapatkan informasi dari keluarga yang bersangkutan dan pihak OPKN, juga usahakan untuk bisa mendapatkan keterangan langsung dari Geri Ginanjar di lapas. Siarkan segera isi dari surel itu. Jangan sampai kalah cepat dari stasiun lainnya."
Bak mendapatkan telur emas, berita yang belum tentu kebenarannya itu menarik perhatian dan sayang untuk diabaikan. Dari 100 persen kabar yang tersurat, hanya 10 persen yang jelas telah terbukti yaitu, kasus Geri Ginanjar yang sudah menghebohkan jagat maya beberapa waktu lalu.
Tidak peduli tentang kevalidannya, beberapa stasiun televisi lebih memedulikan rating yang akan didapat atas berita yang disiarkan.
***
Siulan mengalun, menemaninya melangkahkan kaki menuju garasi. Jarinya yang sedari tadi bergoyang memainkan kunci motornya berhenti, bersamaan dengan pergerakannya. Pandangannya teralihkan kepada para pekerja rumah yang berkumpul di depan pos penjaga, termasuk Bi Iin. Wanita itu paling antusias di antara yang lainnya.
Merasa tertarik, ia memutuskan untuk mendekat ke kerumunan, memeriksa keadaan.
"Lagi pada ngapain, nih? Pagi-pagi udah pada ngumpul depan TV."
Dalam serentak, 4 kepala menoleh ke arahnya.
"Eh A." Bi Iin nyengir. Tampak kain serbet bermotif kotak menghiasi pundak kirinya. "Ini ada berita di tipi. Anggota OPKN abis suap-suapan sama Wali Kota Banten yang itu lho, yang kemarin sempet piral."
Alis kanannya terangkat dengan bibir yang mengerut. Setelah beberapa saat, kepalanya menganggut, seolah tidak heran dengan berita semacam itu. "Oh. Ya udah—"
"... David Dirgantara menerima suap sebesar 3 miliar dari mantan Wali Kota Banten tersebut...."
Radena melotot ke arah layar kaca.
David Dirgantara? Papanya Nona?
Ia mendengus. Kakinya sontak melangkah ke arah televisi dengan buru-buru.
"Lho A, kok dimatiin?"
Laki-laki yang sudah mengenakan seragam sekolahnya menoleh dengan wajah menahan emosi. Tangannya masih memegang kabel televisi yang baru saja dia cabut paksa.
"Beritanya nggak penting buat ditonton. Udah, pada lanjut kerja, sana."
Mereka saling melempar pandang. Meneguk ludah.
"Iya atuh A. Maap ya."
Tak ingin anak majikannya mengamuk, mau tak mau, mereka harus angkat kaki dan menjauhi televisi dan memutuskan untuk kembali melanjutkan pekerjaan yang tertunda sebelumnya.
Sorot matanya masih mengamati kepergiaan keempat pekerja itu. Sepertinya mereka sedang mengeluhkan perbuatannya.
Dengusan kasar mengalir dari lubang hidungnya. Dia benar-benar terkejut.
"Gimana bisa?"
***
Dering telepon bertubi-tubi menyerang ketenangan di dalam gedung. Menciptakan hiruk-pikuk yang muncul di luar kendali.
"Apa-apaan ini? Bagaimana bisa identitasnya bocor seperti ini?" Pimpinan OPKN, Yohana Kuswandi, marah besar. Membuat bawahannya menggaruk kepala meladeninnya.
"David Dirgantara itu anggota rahasia kita. Kalian sudah tahu itu 'kan? Kenapa beritanya bisa sampai ke media? Siapa yang menyebarkannya? Mengacaukan saja." Dia menyisir rambutnya dengan penuh tekanan. Melibatkan amarahnya di dalam sana. "Apa-apaan juga para reporter itu, sangat hiperbola dalam menyampaikan beritanya."
Andre dan Bahari saling tatap, seolah sudah menduga hal di hadapannya memang akan terjadi.
"Andre."
Ia mengangkat alisnya ketika dipanggil.
"Iya Pak?"
"Kamu cari tahu siapa yang telah membocorkan perihal ini ke media. Dan beritahukan kepada para wartawan di luar sana," tunjuknya ke arah luar gedung, "kita akan mengadakan konferensi pers sore ini untuk menjelaskan semuanya."
Andre berdehem. "Siap laksanakan."
"Sebelum itu, kita adakan rapat besar dengan pihak-pihak yang berkaitan, sekaligus melakukan introgasi satu per satu. Sudah pasti di antara merekalah yang telah membeberkan kasusnya."
***
Berbeda dengan keadaan kacau di gedung OPKN, Lembaga Investigasi Negara hanya terdengar menghela napas mendapati berita yang hari ini terbang ke seluruh penjuru negeri.
Adrian berkacak pinggang selama menontoni layar televisi yang menempel di dinding. Beberapa rekannya juga berada di sana dengan desisan dan decakan memprihatinkan. Membuatnya sesekali melirik cemoohan mereka terhadap subjek di depan sana. Dia menghela napas untuk kesekian kalinya. Dirinya tidak menyangka salah satu rahasia negara yang selama ini terkunci rapat dari publik akan melambung tinggi, dan menjadi sebuah daya tarik yang patut diacuhkan. Siapa sangka, identitas anggota Shadow In The Dark itu akhirnya dikenal banyak orang dengan cara dan kondisi yang memancing pandangan buruk dari jutaan pasang mata.
Bagaimana dengan keluarganya sekarang?
Ia keluar dari kerumunan yang masih anteng mengikuti siaran berita seraya merogoh ponsel di saku celananya.
Anjing Galak is calling....
Nataline yang tengah mengetik laporannya di depan komputer melirik layar ponsel yang menyala karena panggilan masuk.
"Apa lagi sih Pak Adrian ini? Masih pagi udah nelepon aja. Nggak sabaran banget."
Kedua tangannya menjauh dari keyboard dan beralih meraih ponsel yang terus berdering di depan matanya.
"Halo Pak. Pagi...." Sapaannya terkesan tidak tulus.
Adrian mengernyit mendengar sambutannya yang tenang.
"Kamu sudah tahu berita hari ini, Nataline?"
Perempuan itu malah menautkan ujung alisnya. "Berita apa?"
Sudah diduga.
"Apa kamu tidak punya televisi atau radio di rumah?"
Semakin bingung, Nataline memiringkan kepalanya. Telunjuknya juga tampak menggaruk bawah dagunya.
"Tidak ada Pak. Dijual sama adik saya. Nganggur juga di rumah," balasnya sambil menyandarkan punggung pada badan kursi putarnya.
Pria yang sudah sampai di dalam ruangan kerjanya menghela napas panjang. "Pantesan. Kamu tidak memeriksa media sosial?"
"Emangnya berita apa sih Pak?"
"David Dirgantara."
Dia yang sebelumnya berleha lekas menegakkan duduknya dengan mata yang terbuka lebar.
"David Dirgantara?" ulangnya memastikan.
"Semua saluran televisi menjadikannya bahan sekarang. Kasusnya kini melanglang buana di media. Dan sepertinya Pak Presiden juga telah mengetahuinya."
"Kok bisa? Bukannya dia termasuk rahasia negara?"
Terdengar suara ketukan kuku jari di atas permukaan meja berlapis kaca itu. "Entahlah. Sepertinya ada musuh di dalam selimut yang berusaha menggunakannya sebagai umpan."
Nataline menggigit bibirnya. Ia khawatir dengan keadaan keluarga Dirgantara sekarang ini.
"Kamu bilang anaknya sekolah di SMA Berlian, kan?"
"Iya. Kenapa?"
"Sepertinya wartawan akan menyerbu keluarganya. Kamu lindungi mereka."
"Kenapa pihak OPKN tidak memberikan perlindungan?"
Pria itu tertawa. "Mana mau mereka melindungi keluarga dari anggota yang melanggar kode etik."
Iya juga.
"Tapi ingat, jangan abaikan misi utamamu. Waktumu hanya beberapa hari lagi."
Ia mengangguk. "Siap Pak. Perihal itu saya sudah yakin 99% kalau SMA Berlian memang melakukan pelanggaran. Ini, saya sedang menuliskan laporannya. Tapi Pak, ada hal lain yang saya temukan."
"Jangan membicarakan prasangka tanpa bukti, dan jangan bergantung pada firasat saja. Kamu mengerti?"
Bibirnya meniup anak rambut di dahinya dengan kesal. Bosan mendengarkan kalimat itu.
"Iya Pak Adrian yang terhormat. Makanya saya berani bilang begitu karena sudah punya buktinya. Bukti yang valid."
Adrian mulai tertarik. "Hal lain apa yang kamu temui?"
"Pertama, Adiguna Hartigan dan Damar Abraham punya hubungan dengan pelanggaran yang dilakukan SMA Berlian. Kedua, Rama Sudrajat melakukan kegiatan penambangan di tempat terlarang. Dan Anda tahu Pak, anggota PRNI dan OPKN terlibat dengan itu. Kemarin mereka baru saja melakukan penambangan di Kalimantan Timur. Gubernurnya telah mereka suap."
Terkejut? Tentu. Atasannya itu seolah terhipnotis dengan laporannya.
"Dan yang terakhir, kasus 2 Oktober yang melibatkan David Dirgantara itu kasus semu. Dia sebenarnya adalah korban. Bukan tersangka. Saya yakin, penyebar itu masih berhubungan dengan kasusnya." Dia agak ragu ketika menyampaikan poin terakhir. Belum cukup bukti yang bisa mendukungnya.
"Yakin kamu?"
"Yakin," jawabnya seelegan mungkin. "Anda lihat saja nanti. Saya akan membuktikannya langsung. Bukan hanya kepada Anda, tapi kepada semua orang di negeri ini."
Adrian berdecih menanggapinya. Tak bisa disembunyikan, dirinya memang kagum atas kegigihan agen baru yang kini sedang berbicara dengannya.
"Kalau kamu butuh bantuan, hubungi saya."
Nataline terdiam. Ini pertama kalinya sang atasan perfeksionisnya itu menawarkan bantuan.
"Baik. Terima kasih Pak."
"Jangan merasa tersanjung karena saya menawarkan bantuan. Saya hanya tidak menjamin kamu mampu mengatasi semua kasus itu seorang diri."
Mimiknya berubah suram dalam sekejap.
Ish. Tangannya memukul layar ponselnya dengan gemas.
"Ya sudah, itu saja—"
"Tunggu, saya melupakan satu hal."
Ponsel yang sudah menjauh dari telinga mendekat kembali ke arahnya. "Apa lagi?"
"Anda tahu Kombes. Pol. Abrar Suhardi?"
Bola matanya bergerak ke sana ke mari, mengingat nama yang diterimanya.
"Kenapa?"
"Dia—"
Ketukan pintu mengintrupsinya. Membuat dia menoleh ke sumber suara.
"Dia kenapa?"