***
"Permisi."
Nona terbangun karena suara itu. Kepalanya terasa pening, membuat dia memijat keningnya sesekali. Dengan mata yang masih terbuka beberapa persen, ia mengangkat wajah ke arah jam dinding.
Pukul 00.50.
"Malem-malem begini?"
Sambil mengelus leher, Nona turun dari ranjang, berniat untuk membuka pintu rumah yang terus diketuk tanpa henti.
"Kakak—"
Calvin mengintrupsinya dengan telunjuk yang menempel di bibir. "Hust!" Bisikannya menggiring sang adik untuk diam dan bersembunyi.
Nona menurut. Bibirnya langsung terkatup rapat dan kembali melangkah mundur, menutup diri di tembok kamarnya.
"Calvin?" Panggilan Maya semakin menambah ketegangan. "Siapa yang—"
Dengan cepat Calvin memintanya diam.
"Mama ke kamar Nona. Biar Calvin yang periksa," katanya dengan rahang yang mengeras.
"Ada apa?" Maya bertanya dengan bahasa tubuhnya seraya menghampiri putri bungsunya.
"Takutnya itu mereka," bisiknya lagi.
Kedua bola matanya sontak membulat. Ia mendekap Nona begitu erat. Seakan takut kehilangan.
Calvin menghembuskan napasnya sebelum memutar kunci. Berbekal pisau dapur di belakang tubuhnya, ia mengumpulkan segala keberaniannya.
Ketukan pintu berhenti setelah mendengar pergerakan dari dalam rumah. Menunggu balok yang membatasi, memberi celah untuk bertatap muka.
Polisi?
Kartu ID yang mengalung memberinya informasi. Selain itu, kaus dinas di balik jaket pun turut menimpal jati diri para tamu yang datang tanpa berpesan.
Kecemasannya beralih menjadi kebingungan. Ada urusan apa para polisi mendatangi rumahnya dini hari seperti ini?
Tatapan mereka bertemu. Polisi di depannya ini terlihat angkuh.
"Selamat malam." Suara salah satu polisi membuyarkan segala sangkaannya.
Calvin mengusap rambut sekaligus keringat dingin yang mulai membasahi ujung kepala.
"Malam," balasnya sehabis berdehem. "Ada apa?" tanyanya lalu maju melewati garis pintu. Tangan kirinya tetap bersembunyi di belakang tubuh bersama pisaunya.
"Kami dari kepolisian," akunya seraya menunjukkan kartu identitas yang mengalung di lehernya.
"Polisi Ma." Nona berbisik pada Maya yang memberinya anggukan. "Apa kita samperin aja?"
Maya menggeleng. "Nanti dulu. Tunggu."
Satyabara—
"Dengan Calvin Dirgantara?"
Pertanyaan itu mengalihkan perhatian matanya dari deretan huruf pada kartu identitas itu.
Kedua alisnya naik. Kepalanya sedikit miring.
"Iya. Saya Calvin Dirgantara."
Satya menelisik gerak-geriknya yang mencurigakan.
Tertangkap. Sebilah pisau berhasil tertangkap oleh pandangannya.
Jari-jemarinya menyusup ke saku dalam jaket, merogoh surat di atas kertas putih yang dibekalnya. "Kami mendapat surat perintah untuk menangkapmu."
Nona dan Maya saling tatap dalam keterkejutan.
Calvin menoleh ke kamar adiknya, memeriksa reaksi dari keluarganya.
"Saya salah apa ya Pak?"
Satya mengangkat salah satu alisnya saat melihat kehadiran 2 perempuan yang turut bergabung. Sudut bibir kirinya tertarik. Kemudian, ia memutar bola matanya malas sembari menarik ponsel dari dalam saku.
Cahaya dari layar menerangi wajahnya selama mencari sesuatu hal yang ingin dia tunjukkan.
"Kamu telah melakukan pelanggaran. Memanipulasi bengkel yang dikelola untuk melakukan transaksi jual beli senjata api ilegal."
Maya spontan menutup mulut.
"Sepertinya ada kesalahpahaman." Nona menyanggah kemudian. "Kakak saya benar-benar membuka bengkel dengan jujur. Foto itu nggak benar. Bohong."
Satya melirik ke arahnya. "Saya tak ingin berdebat. Bagaimana kalau langsung ke penggeledahan saja? Itu akan membuktikan siapa yang berbohong."
"Baik. Silakan. Geledah saja rumah ini. Saya yakin ada kekeliruan." Maya memberi ruang kepada ketiga polisi itu untuk masuk ke dalam rumah.
Satya menggaruk ujung alisnya. "Tunggu. Apa anak Anda selalu menyambut tamu sembari membawa pisau seperti itu?" Tunjuknya pada ujung pisau yang nampak. "Kenapa? Merasa terancam atau takut hal ini terjadi?"
Genggaman pada gagangnya semakin kuat. Sial. Usaha perlindungan dirinya memperkeruh keadaan.
"Anda salah paham." Calvin membantah setelah melempar pisau ke sofa.
Bahunya terangkat. Tidak peduli.
"Terserah. Mari mulai penggeladahannya di bengkel," intruksinya pada para bawahan.
"Siap Pak."
Mereka pun berjalan ke arah garasi, tempat semua peralatan bengkel berada.
"Calvin mau ambil kunci garasi dulu di kamar." Dia berlari dengan perasaannya yang semakin kacau dan berbelit.
"Ma, apa ini ada hubungannya sama mereka?" Nona menggandeng lengan sang mama. Ia risau.
Maya hanya bisa menggelengkan kepala. Dia tidak yakin. "Semoga kakakmu baik-baik aja. Ayo," ajaknya untuk menyusul ke depan.
***
Suasana amat sepi. Hanya suara jangkrik dan kodok yang muncul mengisi kekosongan malam hari. Tak ada lagi aktivitas dari warga sekitar.