***
Jakarta, 02 Oktober 2021 - 06.30 AM
"Pagi Pa." Nona menyambut kedatangan David yang turut bergabung di meja makan.
Seraya menarik kursi untuk diduduki, pria itu tersenyum hangat padanya. "Pagi anak Papa yang cantik."
Nona yang mengunyah roti mengembangkan senyum sampai pipinya mengembung. Terlihat dia menumpukan kedua sikunya pada meja, karena tengah menggenggam roti berisikan selai cokelat di dalamnya.
"Papa mau makan roti atau nasi?"
David menoleh. Dia kembali tersenyum.
"Nasi dong. Biar lebih bertenaga. Apalagi makan masakan istri tersayang." Godaannya berhasil membuat Maya tersenyum.
Nona yang memerhatikan tak kuasa menahan tawa.
"Masih pagi udah ngegombal." Celetukan Calvin datang mengintrupsi.
David meliriknya sok sinis. "Sirik aja," balasnya sambil menerima uluran piring dari sang istri.
Mendengar itu, laki-laki yang memikul tas ransel di bahu kirinya terkekeh. "Calvin berangkat ya," pamitnya setelah meminum segelas susu dengan rusuh.
"Sarapan dulu Vin. Buru-buru amat," komentar Maya menahan tangannya yang ingin berpamitan.
"Pagi ini sebelum masuk kelas Calvin ada urusan lain di kampus. Nanti di sana aja sarapannya."
"Bener ya? Awas aja kalau nggak sempet sarapan." David menodongkan telunjuk padanya.
"Iya-iya," jawabnya sebelum mencium punggung tangan kedua orangtuanya itu. "Kalau inget," sambungnya sebelum tertawa puas.
"Kamu ini." Maya memukul pelan lengannya.
Yang dipukul malah cengengesan.
"Bye Na." Tangannya mengacak-acak rambut Nona sebelum benar-benar pergi.
"Kakakk...," protesnya sembari merapikan rambutnya yang berantakan. Kakaknya sangat menyebalkan.
"Hati-hati bawa motornya!" David berteriak setelah menelan kunyahannya.
"Iya!"
Setiap pagi, hampir setiap hari, hal seperti itu sudah menjadi sebuah rutinitas. Kehangatan yang terbaur di rumah Dirgantara menjadi impian setiap keluarga. Harmonis dan dipenuhi cinta. Keluarga mereka nyaris sempurna. Beruntung. Itu kata yang pantas untuk menggambarkan kehidupan mereka.
"Nona mau Papa anter atau berangkat sendiri?"
"Berangkat sendiri deh. Kan sekarang Nona udah punya SIM." Dia memamerkan senyuman bangga.
"Gaya banget yang udah dapet SIM," goda Maya padanya.
Nona terkekeh sebelum menyeruput minumannya.
David mengangkat wajahnya untuk memeriksa arah jarum jam di dinding. Hampir jam 7.
"Mama kalau mau berangkat ke resto kabarin Papa dulu."
Maya mengangguk. "Iya. Paling nanti agak siangan."
Terdengar bel rumah berbunyi. Menyela obrolan.
"Kayaknya itu Mbak Suri sama Kang Abdul deh. Mama cek dulu ya," katanya sebelum beranjak, membuka pintu utama yang jaraknya 20 meter dari ruang makan.
Nona mengalihkan pandangnya kepada David yang sibuk membaca dokumen kerjanya setelah selasai makan.
"Pa."
"Hmm," sahutnya tanpa melirik.
"Kenapa Mbak Suri sama Kang Abdul nggak tinggal aja di sini? Kan kalau tinggal di sini lebih enak. Nggak harus bolak-balik."
Alis kirinya terangkat menanggapi pertanyaan itu.
"Mereka lebih nyaman tinggal di rumahnya. Papa udah pernah nawarin kok."
Nona terdiam. Bibirnya terlipat. "Gitu ya."
Ketika pintu terbuka, tampak seorang wanita berumur 30 tahun itu mengangguk kecil dengan tersenyum canggung. Dia memainkan jari-jari tangannya.
"Eh, Mbak. Kok baru dateng?"
"Maaf Bu. Tadi anak saya muntah-muntah. Mangkanya saya telat. Suami saya juga izin nggak kerja hari ini. Naira kalau sakit suka manja sama bapaknya. Maaf ya Bu."
Sontak Maya terkejut. "Naira kenapa? Sakit apa?"
"Itu, alerginya kambuh. Dia jajan makanan yang ada kacangnya."
"Udah dibawa ke dokter?"
"Sama bapaknya lagi dibawa ke sana Bu."
"Gitu ya. Ya udah atuh, Mbak Suri hari ini nggak perlu bantu beres-beres di rumah. Jagain Naira aja ya? Kang Abdul juga nggak apa-apa, libur dulu aja. Saya bisa pesen taksi online buat ke resto."
Mbak Suri mengangguk. "Terima kasih Bu Maya. Kalau gitu, saya permisi pamit. Mari—"
"—Tunggu Mbak. Tunggu dulu ya." Maya berbalik dan sedikit berlari menuju dapur.
Mbak Suri hanya mengelus lehernya dengan perasaan bingung.
"Kenapa Ma?" David yang melihatnya terburu-buru saat membuka kulkas keheranan.
"Mbak Suri mana? Kok nggak masuk?" Nona ikut bertanya.
Sambil memasukkan beberapa makanan dan buah-buahan segar dari dalam lemari pendingin, Maya menjawab, "Anaknya sakit. Jadi hari ini pada nggak bisa masuk kerja di rumah."
"Sakit apa?"
"Alergi kacang, Na."
"Kasihan. Udah dibawa ke dokter?" tanya David turut khawatir. Anak perempuan berumur 4 tahun bernama Naira itu sudah dianggap anak baginya.
"Lagi diurus katanya sama Kang Abdul."
David menganggut. "Tolong sampein salam dari Papa. Insya Allah nanti pulang kerja jenguk Naira."
"Nona juga ya. Abis pulang sekolah mau jenguk."
Maya yang akan kembali menemui Mbak Suri pun mengangguk. "Iya."
Ponsel David yang tergeletak di atas meja makan berdering. Layarnya pun otomatis menyala. Ada panggilan masuk.
Pak Alex?
"Halo Pak?"
"Halo David. Kamu di mana?"
"Masih di rumah Pak. Ada apa?"
"Pimpinan mengadakan rapat dadakan pagi ini mengenai kasus Menteri Ari. 30 menit lagi. Jangan sampai terlambat."
"Siap Pak."
***
Orang-orang berjas dan berkalungkan ID-Card satu per satu terlihat melangkah keluar, meninggalkan ruang rapat yang telah usai dilaksanakan. Mereka kembali sibuk kepada urusannya masing-masing dan berhambur ke berbagai titik.
"Pak Alex." David berjalan dengan cepat agar bisa menyusul posisi atasannya itu.
Alex dengan kacamatanya menoleh sebentar tanpa berhenti. "Ada apa?"
"Ini soal Adiguna Hartigan." Bisikannya membuat Alex menghentikan langkah dan mengarahkan tubuh menghadapnya.
"Kenapa kamu sangat terobsesi dengannya semenjak penangkapan Wali Kota Banten itu? Kita tidak pernah mendapatkan hasil yang mutlak dari penyelidikannya, David." Dia kembali melanjutkan langkahnya. Membuat David kembali mengekorinya.
"Bukan tidak, tapi belum waktunya Adiguna Hartigan terbukti bersalah. Jelas-jelas, dia disuap oleh wali kota itu. Sial sekali bukti yang saya miliki lenyap begitu saja."
"Dari pertama kamu mengusut kasusnya, itu kalimat yang selalu kamu ucapkan. Sudahlah. Ada kasus yang sudah jelas bisa kita bereskan daripada sangkaanmu itu. Kasusnya Menteri Ari Wahyudi. Dia buronan sekarang."
Tepat di depan ruangan kerjanya, Alex berhenti. Terdengar helaan napas memunggunginya. David rasa, seniornya sudah muak.
"Pak, ada orang dalam yang membantunya lepas dari setiap jeratan."
Satu kalimat itu mengundang kerutan di kening Alex Antonio. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Dia membalikkan badannya. Tangannya yang akan mendorong pintu, ditariknya kembali.
"Orang dalam? Maksud kamu ... pihak kita?"
David mengangguk pasti.
"Ada musuh dalam selimut. Dia yang telah melenyapkan bukti dan membantu Pak Hartigan lepas dari tuduhan," bebernya setelah memeriksa keadaan sekitar. Memastikan yang dimaksud tak ada di dekatnya.
Alex menggaruk dahinya. Dia menatap David dengan kurang yakin. Tapi, kegigihannya berhasil menariknya.
"Siapa?"
"Tidak aman bila harus membicarakan perihal ini di dalam kantor."
***
BMW X6 abu-abu berhasil memarkirkan diri di parkiran Polrestabes Bandung, yang dipenuhi dengan Outside Broadcasting Van milik stasiun televisi yang sudah berkerumun.
Sial!
"Udah di sini aja mereka." Lengan kirinya terangkat untuk memeriksa arloji. Pukul 08.15.
Hari ini dirinya tak lagi pergi mengajar ke SMA Berlian. Sepertinya penyamarannya di sekolah favorit itu sudah cukup. Apa yang dicarinya telah ditemukan. Dan yang dicurigainya telah terungkap. Sekarang, dia hanya perlu merancang strategi untuk membawanya ke ranah hukum. Butuh penyusunan yang apik agar target tak bisa lari dari jala yang akan dilemparnya.
Nataline membuka laci dasboard mobilnya dan mengambil sesuatu dari dalam sana. Foto berukuran 2R. Sebuah potretan dari seorang wanita tua yang tersenyum hangat.
Telunjuknya mengelus-elus permukaan foto itu. Tepat di wajah neneknya.
"Nek, maafin Nata ya. Nata pake nama Nenek buat bohong ke orang," katanya dengan wajah cemberut tapi terkesan menggemaskan. Mungkin bila ada yang melihatnya, orang itu akan tertawa saat memerhatikan ekspresinya.
"Pak Dani yang terhormat, saya masih tidak bisa masuk sekolah. Nenek saya baru sadar setelah operasi kemarin. Jadi saya belum bisa ke sekolah hari ini. Tolong pengertiannya."
Seperti itulah alasan yang dia lontarkan melalui telepon tadi. Melakukan drama sudah menjadi salah satu rutinitas dalam pekerjaannya.
Namun, raut wajahnya berubah. Matanya mulai berkaca-kaca. "Semoga Nenek mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya."
Ia mengeluarkan napas dengan tegas. Jarinya gesit mengusap butiran bening yang sudah mulai ingin keluar dari wadahnya.
"Okey. Let's go." Diraihnya kain panjang berwarna hitam yang tergeletak di kursi sampingnya, dan lekas digunakannya di bagian kepala untuk menutupi wajahnya dari publik. Tak lupa, sunglasses hitam ikut menyembunyikan sepasang matanya dari kamera para wartawan dan CCTV yang mungkin menyorot ke arahnya.
Didorongnya pintu mobil sampai mampu memberikan celah untuknya keluar dan menghirup udara segar.
Blazer merah yang dipadukan dengan kemeja satin hitam di dalamnya, juga celana yang senada dengan luarannya membuat Nataline terlihat sangat mencolok dibandingkan warna yang ada di sekelilingnya.
Di balik kacamatanya, ia melirik seorang polisi yang sedang diwawancara. Batinnya mendecih, stupid.
Tersenyumlah sepuasnya, Satyabara. Tak lama lagi Anda akan sulit untuk melakukan itu, walau sedetik pun.
Sudut bibir kirinya yang naik mengantarkan langkah kakinya memasuki kantor. Keadaan di dalamnya ramai oleh aktivitas polisi dan orang-orang yang mengajukan laporan.
"Permisi." Dia mengintrupsi pergerakan polisi yang terburu-buru untuk ke bagian depan. Dia Bayu.