***
Semenjak menduduki kursi di dalam mobil, ekor matanya tak lepas memerhatikan perempuan yang menyetir di sampingnya. Walaupun sesekali melihat ke luar jendela untuk menghindari tatapan balik.
Seraya melepaskan masker yang semula menutup bagian bawah wajahnya, Calvin berdehem.
Membuat Nataline menoleh sejenak.
"Turunin saya."
Alis kanannya naik mendengar itu. Namun, dia memilih untuk tidak mengacuhkannya.
Merasa tak dipedulikan, Calvin sedikit ternganga. Tidak terima dengan sikap yang didapatinya.
"Turunin saya!" Kali ini nadanya lebih tinggi. "Jangan harap saya bakalan percaya sama apa pun yang Anda lakuin Bu An...." Calvin menggantungkan ucapannya karena sekarang dirinya bingung harus memanggil perempuan itu dengan nama apa. "Terserah nama Anda siapa. Tapi yang jelas, turunin—"
"Lo bisa diem nggak sih?" Nataline mulai risi. "Berisik banget. Udah, diem aja."
"Lo?" Dia semakin dibuat bingung dengan gaya bicaranya yang berubah menjadi informal.
"Kenapa? Nggak suka kalau gue ngomongnya informal? Sorry ya, bukan apa-apa. Cuman, gue kagok aja kalau ngobrol formal sama orang kayak lo."
Kulit kening Calvin menimbulkan garis kasar yang sempurna. "Maksudnya orang kayak lo apaan?"
Di kegiatan menyetirnya, Nataline melirik laki-laki cerewet itu. "Keras kepala, judes, terus curigaan. Berisik, lagi."
Diam sejenak. Dirinya berusaha mencerna komentar yang baru saja terlontar. Tak lama, ia tampak tertawa singkat. "Wajar lah gue curiga sama orang yang tiba-tiba ngaku jadi pengacara keluarga Dirgantara, dan seolah tahu semua permasalahan yang lagi dialamin sama gue sekeluarga. Sebenernya lo siapa? Lo suruhan mereka? Karena gue yakin cuma mereka yang tahu seluk beluk soal masalah yang lagi keluarga gue alamin."
Kedua tangannya tiba-tiba memegang stir lebih kuat. Sepertinya ia kesal, namun berusaha ditahannya.
"Calvin, denger ini baik-baik. Gue, ada di pihak lo. Oke? Kita punya tujuan yang sama."
Decihan keluar sebagai balasan yang tak mengindahkan perkataan Nataline.
"Tujuan yang sama? Gue aja nggak kenal sama lo. Jangan ngarang. Jujur aja. Lo siapa sebenernya? Di kantor polisi tadi lo malah jawab, I am The Chameleon," katanya dengan nada mengejek. "Maksudnya apa? Lo mau bilang kalau lo itu jelmaan bunglon? Atau... siluman bunglon, gitu?" Gelak tawa keluar dari mulutnya.
Merasa terhina, Nataline memicingkan mata ke arahnya, seakan ingin menerkam. Kurang asem.
"Lo nggak tahu seberapa berharganya dan seajaibnya bunglon kayak gue." Dia malah ingin mengerjainya. Sebuah pembalasan atas penghinaan terhadap nama sandinya.
"Ha?"
"Lo mau minta apa? Sebutin aja apa yang lo mau. Nanti gue kabulin."
Calvin dibuat terdiam lagi karenanya. Tapi bukan karena dia berhasil dibodohi. Dia terdiam sebab tahu kalau perempuan itu memang sedang mempermainkannya.
"Gue mau mama sama adik gue pulang dengan selamat. Bisa lo kabulin itu?" tantangnya.
Satu sama.
Kali ini perempuan itu terdiam, seakan telah tertikam senjatanya sendiri.
***
Nataline menghentikan mobilnya tepat di depan pagar rumah yang sederhana. Pekarangannya tak begitu besar. Tapi bagian garasinya terlihat luas. Terbukti dari pintu rolling door-nya yang cukup lebar.
"Bukain pagar. Nih, konci gemboknya," suruhnya seraya memberikan kunci gembok pagar padanya.
Calvin berdecak kesal.
"Kok gue?"
Perempuan itu memutar bola matanya. Lelah. "Ya ampun. Bisa nggak, nurut? Yang sopan sama gue. Gini-gini, gue itu 3 tahun lebih tua daripada lo."
"Beda 3 tahun doang. Lebay."
Nataline menyiuk napasnya. "Cepetan deh. Lo bertele-tele. Waktu kita nggak banyak."
"Iya-iya." Akhirnya. Dengan terpaksa. Ia menurut.
Dari dalam mobil, Nataline memerhatikannya dengan lekat. "Nyebelin banget."
Terdengar suara decitan pagar yang bergeser. Memberi ruang untuk mobilnya masuk ke area pekarangan.
Calvin memiringkan kepalanya selama menutup pagar karena menyadari sesuatu hal yang aneh.
"Hei," panggilnya pada Nataline yang baru keluar dari mobil.
Bukannya menyahut, ia malah menggertakkan gigi-giginya. "Hai, hei, hai, hei. Nggak sopan."
"Terus gue harus manggil lo apa? Bunglon?"
"Gue punya nama. Nataline. Itu nama gue. Oke?"
Calvin mendengus. "Oke, terserah." Matanya kembali melirik kendaraan di sampingnya. "Gue cuma mau tanya doang. Kok warna mobil lo jadi item? Perasaan tadi pas di parkiran warna abu deh."
Nataline refleks menatap mobilnya. Senyuman licik dia tebarkan. "Kan udah dibilangin kalau gue itu bunglon ajaib." Dia menjentikkan jari-jarinya. "Magic."
Kayaknya ini cewek nggak waras deh. Apa gue kabur aja?
Nataline tertawa melihat ekspresi lawan bicaranya. "Bercanda. Mata lo salah lihat, kali. Dari tadi warna item, kok."
Dahinya mengerut. Memastikan penglihatan dan pikirannya. "Tapi tadi...." Calvin bingung sendiri.
"Penglihatan dan pemikiran nggak masuk akal kayak gitu aja lo percaya. Kenapa giliran hal yang nyata kayak gue, lo susah buat percayain?"
Calvin sedikit menoleh. "Sulit buat percaya sama lo."
Nataline tampak menarik kedua sudut bibirnya ke samping. Membuat bibirnya itu menipis.
"Adiguna Hartigan. Selama ini lo cari tahu soal dia 'kan? Gue juga lagi ngincer dia. So, kenapa kita nggak tangkep dia sama-sama?"
Ia terkejut, tapi berusaha untuk menyembunyikannya.
Jangan langsung percaya Vin. Bisa aja karena dia bagian dari mereka, jadi dia tahu soal Adiguna Hartigan.
Calvin benar-benar tidak ingin terperangkap.
Nataline sepertinya sudah sangat lelah menghadapinya.
"Gini deh, keputusan ada di tangan lo. Tapi gue cuma mau ngasih tahu, kalau lo ragu sama sesuatu, ya harus rela ambil risiko buat ngebuktiinnya, walaupun nyawa taruhannya. Kemungkinan 1% buat selamat, tapi seenggaknya lo udah nemu kebenaran yang lo cari. Saran gue, supaya 1% itu berubah jadi 99%, lo harus punya dua hal ini: cermat dan tangkas. Dua hal itu senjata yang bisa nyelamatin lo dari 1% kemungkinan terburuk. Tapi dalam hal kayak gini, 1% lebih besar nilainya daripada 99%. Hidup itu misteri, susah ditebak dan selalu nggak terduga." Itu kalimat terakhirnya sebelum meninggalkan Calvin yang sama sekali belum mengangkat kakinya. Saat ini, ia hanya menyoroti kepergian perempuan berpakaian serba merah itu dengan pikiran yang tertuju pada satu hal.
"Nataline!" panggilnya seraya menyusulnya ke dalam rumah.
Mendengar Calvin memanggil, Nataline menoleh ke belakang. Ia menyambutnya sambil berpangku tangan.
"Kenapa?"
Tak langsung pada tujuannya, pandangan laki-laki itu terpaku pada keadaan rumah yang sepi dan penampakannya yang sederhana. Tak banyak hiasan dan benda-benda yang terpajang di dalam rumah. Foto keluarga pun tidak ada.
Deheman mengawali pembicaraannya. Ia mendekat pada Nataline yang masih terpaku di posisinya.
"Lo dapet semua kalimat tadi dari mana?"
Alisnya naik mendapati pertanyaan itu. "Kenapa emangnya?"
Masalahnya, David pernah mengatakan hal seperti itu.
"Lo bisa jawab tanpa pake pertanyaan lagi nggak?"
Nataline pun menghela napas. "Calvin, udah, nggak perlu dibahas. Mendingan lo duduk. Istirahat dulu. Gue mau ganti baju dulu bentar—"
"Soalnya, semua yang lo bilang tadi sama kayak yang pernah bokap gue bilang."
Perempuan itu terdiam. Di dahinya muncul beberapa garis.
"Oke-oke," kedua tangannya meminta ia tenang, "nanti gue jelasin. Tapi nggak sekarang. Adik sama nyokap lo lebih penting. Jangan buang waktu. Lo nggak mau kan mereka kenapa-kenapa cuma karena kita banyak debat di sini?"
Lidahnya menempel pada langit-langit mulut.
"Okey," pungkasnya kemudian, lalu duduk dengan terpaksa di sofa.
"Gue tinggal dulu. Kalau lo mau bersih-bersih atau cuci muka, kamar mandi ada di sebelah sana," tunjuknya pada bagian kiri rumah paling ujung. "Enjoy aja."
Ia tak memberi tanggapan. Matanya kembali menyoroti perempuan yang tampak masuk ke dalam kamarnya.
Calvin melepaskan napasnya dengan berat lalu mengusap kasar wajahnya. Ia menumpukan kedua siku di atas pahanya.
"Ma, Nona, semoga kalian masih baik-baik aja."
***
Ponselnya berdering saat ia sedang mengenakan trench coat berwarna abu, membalut turtle neck top hitam berbahan rajut yang sebelumnya telah dikenakan.
Anjing Galak is calling....
Ia pun langsung mengangkatnya karena telepon darinya telah dia nantikan dari tadi. Dirinya tahu apa yang akan atasannya itu sampaikan. Semoga kabar baik.
"Halo Pak."
"Nataline, saya sudah mendapatkan beberapa tangkapan kamera pengawas yang kamu minta."
"Oke, bagaimana hasilnya Pak?"
"Ada beberapa mobil yang tertangkap kamera pengawas tak jauh dari lokasi kediaman Dirgantara dini hari tadi, di jam Maya dan Nona diculik."
"Sebentar," selanya karena ingin mengambil buku catatan kecil dari laci meja riasnya. "Bisa dilanjut?"
"Toyota Avanza putih ke arah Jakarta. Honda Jazz abu ke arah Bogor. Suzuki Swift merah ke arah Solo. Daihatsu Rokcy kuning ke arah Yogyakarta...," seraya terududuk di tepi ranjang, Nataline mencatat apa yang didengarnya, "... Mitsubishi Eclipse biru ke arah Malang, dan terakhir, Suzuki APV hitam ke arah Pangalengan."
Nataline menghembuskan napas pelan. 19 mobil ini bisa menjadi petunjuk, walaupun kecil kemungkinannya.
"Terima kasih atas bantuannya."
Adrian mengangguk. "Saran dari saya, kamu fokus saja pada mobil Suzuki APV hitam. Pelat nomornya tidak terlacak. Sedangkan pemilik mobil lainnya memiliki identitas yang valid dan bersih."
"Suzuki APV? Baik."
"Kamu yakin tak memerlukan bantuan untuk turun ke lapangan?"
"Saya yakin masih bisa menanganinya. Lagipula ada polisi yang akan turut membantu."
"Polisi?"
"Ya. Ada satu urusan dengan polisi di sini, makanya saya melibatkannya."
Walaupun Adrian tak begitu paham maksudnya, dia mencoba memahami situasi. "Baiklah. Semoga Tuhan mempermudahmu. Jangan lupa pasang kamera dan siarkan secara langsung ke perangkat saya. Sebagai jaga-jaga apabila sesuatu tak terduga terjadi."
"Siap laksanakan—"
Helaan napas yang panjang dia keluarkan. Atasannya melakukan itu lagi. Menutup panggilan di saat mulutnya masih ingin mengeluarkan kata-kata.
***
"Nih, makan dulu." Nataline menyuguhkan 3 potong sandwich dan segelas susu.
Calvin yang semula menunduk, mendongakkan kepala ke arahnya.
"Nggak perlu. Makasih."
Dia sangat tidak nafsu untuk makan. Mual rasanya bila makan di kondisi keluarganya yang tidak jelas keadaannya.
"Mau nyelametin keluarga juga butuh tenaga Calvin," sindirnya sebelum duduk di sofa yang terpisah. "Cepet makan. Demi nyokap sama adik lo."
Ada benarnya. Beberapa detik kemudian, ia mengambil sepotong sandwich dan segera melahapnya.
"Lo ada curiga nggak sama siapa, gitu? Barangkali ada yang ngawasin kalian selama ini. Karena nggak mungkin Pak Adiguna ngelakuin semuanya sendiri. Dia sibuk sama kerjaannya di PRNI. Dan pasti, sebelum akhirnya dia mutusin buat jebak lo sama nyulik Nona juga Bu Maya, dia nyuruh orang buat ngawasin gerak-gerik kalian."
Pertanyaannya membuat kunyahan di mulut laki-laki itu melambat. "Rudi. Orang baru yang beli rumah di seberang."
"Rudi?"
Sembari menyeruput minumannya, Calvin mengangguk. "Dia bilang, dia pekerja toko material di daerah Pangalengan."
Mendengar nama tempat tersebut, Nataline sedikit membelalak.
"Katanya, bosnya yang beli rumah itu buat bangun cabang toko material. Dan dia tinggal di sana buat ngurus proyeknya sementara. Tapi sampai sekarang nggak ada tuh pihak konstruksi bangunan yang datang. Padahal pas kita tanya kapan mulai proyeknya ... dia bilang, udah dimulai kok. Aneh kan? Awalnya Nona sih yang curiga. Mulai dari Bu Ningrum yang sebelumnya punya prinsip nggak mau jual rumah, tapi akhirnya malah dijual ke orang asing. Terus pergerakan Rudi yang seolah ngikutin ke mana kita pergi."
"Dan beberapa waktu lalu, telepon dari Bu Ningrum ngebuktiin kecurigaan kita."
"Dia bilang apa?"
"Bu Ningrum dipaksa buat jual rumahnya. Setiap dia tolak, dia diancam. Nggak hanya itu, dia juga ngasih tahu kalau Rudi ngincer kita."
"Kok dia bisa tahu?"
"Di rumahnya, dia pasang kamera tersembunyi gitu buat ngawasin anaknya yang suka pulang malam. Dan karena dia curiga sama Rudi, dia nggak copot itu buat ngawasin dia. Dan terbukti, Rudi selalu ngehubungin orang yang dia panggil bos. Pasti itu Pak Adiguna. Bu Ningrum juga kirim videonya ke kami."
Nataline melipat bibirnya dalam-dalam. "Shit."
"Kenapa?"
"Telepon rumah sama ponsel kalian disadap. Dan Bu Ningrum pasti nggak bakal dia biarin gitu aja."
"Gimana bisa lo tahu soal itu?"
Ia menggaruk ujung alisnya. "Gue udah bilang kalau gue juga lagi ngincer Pak Adiguna. Jadi jelas gue ngawasin dia. Sebelum cari lokasi di mana mereka bawa keluarga lo, kita harus amanin bukti yang lo punya. Yang buat mereka kalang kabut."
"Buktinya ada di rumah. Di tempat aman. Kayaknya mereka nggak berhasil nemuin itu karena Nona nggak bakalan ngasih tahu walau diancem segimana juga."
"Oke. Sekarang kita ke rumah lo, terus ke Pangalengan."
"Pangalengan? Ngapain?"
"Nyelametin Nona sama Bu Maya lah."
"Kenapa lo yakin mereka ada di sana?"
Nataline menarik napas singkat. "Udah pasti petunjuknya Vin. Mereka dibawa ke Pangalengan. Denger, gue pernah baca artikel BBC News, yang ditulis oleh Melissa Hogenboom. Judulnya, Seni Berbohong Dengan Mengucapkan Hal Yang Jujur. Jelas, Rudi ngelakuin itu. Dia mengelabui kalian dengan ngasih identitas diri dia, tapi terselip fakta di dalamnya. Karena dia kira kalian nggak bakalan sadar tentang fakta yang dia beberin secara nggak langsung. Pertama, dia kerja di toko material di daerah Pangalengan. Itu artinya, keseharian dia emang berhubungan sama toko material di sana. Dan lo bilang waktu ditanya kapan proyeknya dimulai, dia jawab, udah dimulai 'kan?"
Calvin mengangguk.
"Itu artinya, pekerjaan dia emang lagi dimulai. Ngawasin kalian. Terus, bos yang dia maksud, yang beli rumah itu ya siapa lagi kalau bukan Adiguna Hartigan."
"Bentar, gue keinget sesuatu. Kami pernah pasang alat pelacak di motornya, dan ada hari di mana dia pergi ke daerah Pangalengan. Tapi gue nggak tahu pastinya dia ke mana karena tempat pemberhentiannya nggak kelacak."
Jari-jarinya dijentikkan. "Fiks mereka dibawa ke Pangalengan. Kita gerak sekarang."
"Lo sebenernya siapa sih? Dan kenapa lo ngincer Adiguna Hartigan?" Pertanyaan Calvin membuat raut wajah Nataline berubah datar.
Ia berdehem meresponsnya. "Nanti lo juga tahu. Ayo."
***
Sedari tadi Radena menekan polisi di depannya untuk memenuhi permintaannya. Dia tidak berangkat sekolah hari ini setelah mendapat kabar mengenai Nona. Dan ini pilihan satu-satunya. GPS yang terpasang di gelang tiba-tiba tidak teridentifikasi. Sepertinya rusak atau hilang sinyal. Membuatnya semakin cemas. Di saat seperti ini, gelang itu tidak berguna. Sial.
Bayu, polisi yang berurusan dengannya dibuat tak bisa bernapas dengan tenang.