***
Situasi di SMA Berlian menegang setelah kabar tentang orang-orang dari OPKN dan kepolisian, juga Pelindung HAM yang datang dengan mendadak, tersebar ke semua penghuni sekolah.
Kedatangan mereka yang tanpa diundang, membuat pihak sekolah terkejut dan kalang kabut. Kegiatan pembelajaran pun menjadi tidak kondusif karena semua guru diperintahkan berkumpul ke aula. Murid-murid pun dipanggil juga. Entah ada apa, mereka dilanda kebingungan dan penasaran yang memuncak sampai ke ubun-ubun.
"Kami mendapat laporan bahwa SMA Berlian ini telah melakukan pelanggaran HAM." Pria yang mengenakan kaus dinas bertuliskan Pelindung HAM di bagian belakangnya, berbicara dengan volume tinggi. Ada kemarahan yang dipendam di dalamnya. "Diskriminasi, perundungan, dan ketidakadilan dijadikan lumrah di sekolah ini, semenjak peraturan istimewa diberlakukan."
Semua pihak yang merasa menjadi tersangka dalam permasalahan yang dimaksud pun meneguk ludah. Jantung berdegup tak karuan. Diintrogasi. Itu yang mereka simpulkan di keadaan ini.
"Kalian tak bisa mengelak, karena kami sudah memegang bukti-buktinya."
Terbelalak. Badan mereka semakin gemetar dan kepalan tangan sudah dibasahi keringat dingin. Namun, berbanding terbalik dengan para korban yang merasa dirugikan. Mereka berpikir kalau ketidakadilan yang bergentayangan di sekolah akan selesai menghantui. Berakhir. Kemenangan ada di depan mata.
"Pak Dani!"
Pak Dani yang berdiri di barisan paling depan tersentak saat namanya bergema di dalam aula. "I-iya Pak?"
Pria dari Pelindung HAM itu tampak memberi perintah lewat matanya kepada para petugas yang turut hadir mengawasi.
Anggukan mereka berikan sebagai respons, lalu mendekat ke pemilik nama yang semula disebutkan.
"Anda ditangkap atas pelanggaran kode etik sebagai seorang kepala sekolah, dan kasus suap antara pemilik sekolah dengan pihak-pihak lainnya yang bersangkutan."
Pak Dani melotot dan memberontak ketika lengannya dikunci oleh borgol di depan semua orang.
"Ini fitnah Pak. Pencemaran nama baik. Sekolah ini baik-baik saja—"
"Bohong!" Sontak para murid biasa mengelak pembelaan dirinya.
"Semenjak peraturan istimewa itu dibuat, kami selalu dianaktirikan di sini!" Aryo mengeluarkan suaranya paling keras, sehingga kini dirinya menjadi pusat perhatian.
Teman-teman senasibnya mengangguk-anggukan kepala dan menyahuti perkataannya.
"Iya Pak!"
"Betul!"
"Secara tidak langsung maupun sengaja, sekolah ini sudah melakukan penindasan terhadap kami para murid biasa!"
Nabila mengulum senyum kebanggaan. I am so proud of you, Kak.
Tak bisa berkutik. Kalah. Pelaku pelanggaran hanya bisa menggigit jari.
Pria di depan sana menghela napas dengan tangan yang disimpan di belakang. Dia kemudian menoleh ke petugas di sampingnya.
"Jadikan beberapa murid biasa itu saksi nanti di persidangan. Terutama yang tadi berani buka suara."
"Siap Pak."
"Dan sepertinya, semua guru terlibat dalam kasus pembohongan publik yang berkaitan dengan peraturan istimewa itu. Introgasi mereka satu per satu di sini. Terutama kepala sekolah, bendahara, dan juga guru kesiswaan, Aldi Mahendra. Pelapor itu bilang, kalau Setyo menyuap mereka."
"Baik Pak."
"Setelah itu, kita akan tentukan siapa yang pantas untuk dijadikan saksi di persidangan terkait kasus utama Setyo Rajendra."
Siapa yang berani ngebocorin?
Walaupun Satria terlihat tenang, senyatanya ia sangat khawatir. Khawatir karena reputasi sekolah dan sang kakek sedang dipertaruhkan. Itu akan berdampak pada dirinya juga, bukan? Semua orang pasti akan memandangnya sebelah mata karena kasus kakeknya itu.
Ia meringis pelan.
Apa yang akan terjadi pada kakeknya? Dipenjara?
Sial.
***
"Pak Setyo ada di dalam?" Orang-orang dari OPKN dan kepolisian membuat dua penjaga di depan saling tatap.
Salah satunya berdehem. "Ada apa ya Pak?"
"Apa Pak Setyo ada di dalam? Jawab dengan iya, atau tidak. Jangan memperhambat pekerjaan kami."
Akhirnya mereka mengangguk dengan anggukan berat. "Iya. Beliau ada di dalam."
Orang itu melirik pintu. Memeriksa sesuatu. "Bisa tolong bukakan pintunya?"
"Maaf. Hanya Pak Setyo yang bisa membukanya."
"Ya sudah. Minta dia membukanya. Tapi jangan beritahu tentang kami. Katakan saja jika ada kiriman paket."
"Ba-baik."
Dengan cepat, ia menekan bel di pintu.
20 detik kemudian, Setyo menyahut, "Iya?"
"Maaf Pak. Ada kiriman paket untuk Anda."
Di dalam sana, Setyo mengerutkan kening. "Paket? Dari siapa?"
Penjaga itu pun menatap orang-orang di depannya. Menanyai apa yang harus dikatakan melalui tatapan matanya.
"Bilang saja, kiriman dari Pak Adiguna Hartigan," bisiknya.
"Dari Pak Adiguna."
"Adiguna?" gumamnya dengan heran. "Kenapa dia tak memberitahu saya kalau akan mengirimi paket?"
Setyo menghela napas. Tak ingin memperumitnya.
"Kamu bawa saja ke dalam."
"Siap Pak."
Suara khas dari pintu itu terdengar. Menandakan jika akses untuk masuk telah dibuka.
Setyo yang sibuk dengan dokumennya di meja kerja, mengarahkan wajah ke arah langkah kaki yang terdengar menggebu.
Di balik kacamatanya, kedua bola matanya melotot saat menangkap kehadiran beberapa orang yang sedang menuju ke arahnya. Beberapa dari mereka membawa boks hitam. Boks yang biasa digunakan untuk membawa barang sitaan, seperti dokumen dan semacamnya.
"Selamat siang Pak Setyo."
Tulisan "OPKN" yang terpampang dengan jelas di salah satu sisi boks, membuat perasaannya tidak enak.
"Ada apa ini?" tanyanya setelah bangkit dari duduk.
"Kami diperintahkan untuk melakukan penggeledahan, penyitaan, dan penangkapan Anda, Pak Setyo Rajendra," katanya seraya menunjukkan sebuah lembaran putih yang berisikan surat perintah.