***
"Nih, buktiin kalau lo bisa nembak. Bidik dan tembak mereka. Peluru ini isinya 10 miliampere listrik yang bisa bikin sasaran pingsan seketika. Tapi itu cuma bakalan berfungsi di bagian sisi leher. Jadi, lo harus tepat sasaran. Tanpa jeda, tembak mereka semua."
"Bius yang lo maksud, nyetrum mereka?"
"Iya. Cepet."
Calvin salah mengira. "Okey. Let's shoot them," katanya sembari merapikan topi yang nangkring di kepalanya.
Jarak dirinya dan kelima orang itu kurang lebih 12 meter. Calvin tampak mengatur napas dan memokuskan pandangan sebelum membidik sasaran. Diarahkannya mata kiri ke aparture sight—teropong untuk membidik—sehingga pipinya menempel pada gagang shotgun yang telah bertengger di bahunya.
"Ini pelurunya nggak bakal bikin mereka mati kan?"
Nataline membuang napas kasar. "Calvin, peluru itu dirancang khusus buat nyetrum doang," jawabnya dengan gemas. "Cara kerjanya juga cuma nempel di kulit aja. Kayak magnet. Dan bakal langsung bereaksi waktu nyentuh kulit."
"Oke." Ia kembali memokuskan diri. Berusaha agar tetap tidak ketahuan. Posisinya sekarang setengah bersembunyi pada tembok. Hanya membiarkan pandangan dan senjatanya yang terekspos ke arah sasaran. Sebenarnya dia merasa tidak percaya diri karena ini pertama kali baginya membidik manusia. Sebelumnya, ia hanya membidik benda-benda mati di tempat latihannya. Apa dirinya bisa? Kedua tangannya mencengkram senjata begitu kuat saking gugupnya.
Come on, come on, come on.
Setelah dirasa bidikan sudah tepat, jarinya mulai bergerak, menekan pelatuk dalam satu entakan.
1—
2—
3—
4—
5—
Berhasil.
Tepat sasaran.
Dalam sekejap, lima penjaga itu mulai menunjukkan reaksi dari peluru yang menempel di kulit leher. Dalam jarak per satu detik, tubuh mereka menegang beberapa saat sebelum akhirnya terkapar tak berdaya.
Yes.
"Good job. Ayo cepetan. Reaksinya cuma bertahan maksimal 20 menit doang." Nataline menepuk bahunya sebelum menyusup lebih dahulu.
"Ini, dibawa?" Pertanyaannya membuat perempuan di depannya menoleh.
"Bawa aja. Kalau mau. Siapa tahu lo butuh."
Dari ekspresinya, Calvin memilih untuk membawa shotgun itu. Kakinya pun mulai bergerak, membuntuti perempuan di depannya dengan senyap.
***
Nataline berkacak pinggang selama memerhatikan kelima penjaga yang pingsan di hadapannya. "Sorry Men."
"Apa di dalem aman?"
Nataline meliriknya dengan tatapan sebal. "Menurut lo?"
"Menurut gue sih 100% nggak aman. Siapa tahu, pas kita buka pintunya, ada sambutan mengejutkan."
"Ngadepin keadaan kayak gini, kita cuma perlu cermat sama—"
"—Tangkas." Calvin merebut satu kata yang akan Nataline keluarkan.
"So, let's go." Tangannya mulai menyentuh slide door pabrik yang berukuran besar itu.
"Woy." Suara lemah namun sangar itu menahan pergerakan mereka berdua.
"Si bangsat," umpatnya seraya menoleh ke belakang, tepat ke arah kaki kanannya yang dipegang erat oleh salah satu penjaga. Bola matanya melotot. Kemudian, dia menatap Nataline yang sedang mengarahkan mata ke laki-laki yang posisinya menyerupai buaya itu. Tengkurap.
"Kok dia udah sadar sih? Cepet banget." Calvin mengeluh dan mengomel di waktu yang bersamaan.
Nataline menoleh padanya dengan memberi senyuman naas. "Tergantung daya tahan tubuh."
"Kenapa lo nggak ngasih tahu yang itu tadi?"
"Udah. Lo urus dia. Cepet. Sebelum yang lainnya bangun juga. Gue masuk duluan. Bye. Good luck." Lagi. Dia menepuk bahunya sebelum menerobos masuk tanpa permisi.
"Nataline!" panggilnya dengan berbisik. "Ish."
Calvin menghela napas singkat sebelum kembali mengurusi laki-laki yang sekarang sudah sejajar dengan badannya. Menodongkan pistol ke arah dahinya. Penjaga itu berhasil berdiri tegap walaupun masih terbilang lemas karena setruman yang diterima.
"Siapa—"
Terlambat.
Calvin lebih dulu merobohkannya lagi setelah berhasil memelintir tangannya tanpa aba-aba, sampai pistolnya terlepas dari genggaman. Disikunya dagu sang musuh sampai menengadah. Dan langkah terakhir, ia memukul bagian belakang kepala penjaga tersebut sekeras mungkin dengan ujung shotgun yang dibawanya. Tanpa jeda.
Setelah mengeluarkan napas lega, badannya turun, memeriksa apakah laki-laki itu benar-benar tak sadarkan diri.
"Beres."
Lalu matanya diedarkan ke semua penjaga yang pingsan itu. Memastikan kalau mereka masih terlelap dengan nyenyak.
"Oke." Dia meraba satu per satu bagian pinggang mereka untuk merampas senjata yang dipunya.
Sembari mengokang pistolnya, Nataline berjalan dengan hati-hati. Di bagian depan ini tak ada penampakan dari penjaga. Sepertinya Adiguna terlalu optimis jika nasib tawanannya 100% ada di bawah kuasanya—
Nataline sontak berbalik dengan pistol yang diangkat, tepat ke depan muka seseorang yang baru saja menyentuh pundaknya tanpa sapaan.
"Calvin."
"Santai." Dia meminta Nataline menurunkan senjatanya.
Karbondioksida menghembus ke udara dari kedua lubang hidungnya. "Bikin kaget aja sih. Gimana di luar?" tanyanya kemudian setelah sedikit berkomentar.
"Udah aman. Nih, gue ambil senjata mereka." Dengan polosnya laki-laki itu menunjukkan senjata-senjata yang memenuhi pangkuannya.
Nataline mengangkat kedua alisnya. "Ribet banget. Udah, simpen aja di situ." Telunjuknya menunjuk ke sebuah mesin. Menyuruh Calvin menyimpan senjatanya di celah yang terhimpit dinding.
Calvin pun menurut tanpa sanggahan. Repot juga rasanya bila harus membawa banyak senjata seperti yang sedang dilakukannya itu.
Nataline geleng-geleng kepala sewaktu memerhatikan kegiatan pemuda yang sedang sibuk membenahi para pistol yang dibawanya. "Dasar amatiran."
***
Ningrum meringis karena Rudi melepaskan lakban yang semula menutup bibirnya rapat-rapat dengan begitu kasar.
"Ningrum." Matanya semakin memerah. Panas. Ingin menangis rasanya. Tak menyangka sahabatnya itu bisa dalam keadaan buruk bersamanya.
Yang punya nama pun hanya menatapnya sendu. Namun, senyuman tipis dia tampakkan.
"Bu Ningrum...." Nona memanggilnya dengan suara yang bergetar. Menahan tangis.
"Wanita ini 'kan, yang meneleponmu malam itu?" Adiguna mengangkat dagu wanita di dekatnya dengan ujung pistol.
Tapi saat itu juga, Ningrum menepis dagunya dari sentuhan benda itu.
"Dia juga mengirimimu hasil rekaman kamera pengawasnya, bukan? Di mana kamu menyembunyikan video itu, Nona? Jawab, atau satu peluru lepas kandang ke kepalanya," ancamnya. Mulut senjata api itu kini melekat di kepala Ningrum. Menimbulkan pernapasan yang bekerja tidak stabil.
Nona menggeleng berat. Bibirnya gemetar.
"Apa Anda rela jika putra tunggal Anda, yang mungkin sekarang ini sedang mengkhawatirkan Anda menjadi yatim piatu, Bu Ningrum? Atau Anda ingin dia bergabung di sini?"
Ia menggeleng kuat. "Jangan libatkan anak saya. Dia tidak tahu apa-apa."
"Keputusan ada di tangan gadis itu." Pistolnya mengarah kepada Nona yang dadanya semakin naik turun.
Memberi yang diinginkannya tidak sama dengan selamat. Nona tahu itu. Tapi—
"Setan!" Calvin menendang punggung Adiguna dengan segenap kekesalannya sampai pria itu tersungkur. Membebaskan cengkraman pada senjatanya. Selain itu, kacamata miliknya terlepas, menjauh dari wajahnya. Pecah.
"Kakak!"
Mendengar itu, Adiguna menoleh. Kelopak matanya melebar. "Calvin. Bagaimana bisa kamu—"
"Anda terkejut, Pak Adiguna Hartigan yang terhormat?"
Adiguna menggertakkan gigi-giginya. "Kurang ajar!"
"Berengsek!" Rudi melangkah ke arahnya untuk menyuguhi penyerangan.
"Lo yang berengsek. Bangsat!" Calvin mengunci leher Rudi dengan kedua tangannya. Membuat laki-laki bertato itu kesulitan bernapas.
Calvin benar-benar emosi. Urat-urat di sekujur tubuhnya menegang. Baginya, siapa pun yang telah menyentuh keluarganya tidak layak diberi ampun.
"Bu Anna?" Nona terkejut dengan kehadiran gurunya itu.
"Hai Nona," sapanya selagi melepaskan lakban yang melilit di tubuh muridnya. Responsnya sangat santai, bertolak belakang dengan Nona yang begitu bingung dengan keberadaannya.
"Sialan." Adiguna segera membangkitkan tubuhnya dan lekas mengincar Nataline yang membelakanginya.
"Bu!"
Nataline tertarik ke belakang karena Adiguna menjambak rambutnya, sampai beanie hat di kepalanya terjatuh. Pria itu menyeretnya menjauh dari Nona. Tapi itu tak berlangsung lama, karena dia lekas melakukan perlawanan. Memutar lengan Adiguna 180 derajat. Membuat dia berteriak kesakitan dan refleks melepaskan cengkramannya.
Di sudut lain, Calvin dan Rudi masih berseteru. Rudi berusaha melakukan pembalasan. Ditendangnya perut Calvin sampai ia terdorong beberapa langkah.
"Cari mati lo, Vin?" remehnya setelah mengatur napas.
Calvin memamerkan smirk-nya. "Bacot lo!" Dia menendang lututnya sehingga Rudi hilang keseimbangan. Tak memberi celah, dia memberi pukulan keras ke area wajahnya. Memukulnya bertubi-tubi sampai Rudi hilang kesadaran.
"Mampus lo! Bangsat!"