BILA BAHAGIA ITU DIJUAL

Sefiti
Chapter #58

THE GAME?

***

02 Oktober 2021, Warung Kopi Bu Wiwik - 04.45 PM

Sebuah warung kopi sederhana di pinggiran kota yang jarang disinggahi banyak orang, sudah menjadi tempat ternyaman dan paling aman berdiskusi tanpa dicurigai siapa pun.

Sore ini, David dan Alex pergi ke warung kopi tersebut. Tujuan utamanya untuk berdiskusi perihal si pengkhianat, dibalut kegiatan merilekskan diri sejenak.

Saking seringnya berkunjung, Bu Wiwik, wanita berumur 50 tahunan, pemilik warung kopi sudah hafal dengan kopi langganannya itu. Kopi hitam dengan sedikit gula untuk David, dan white coffee tanpa ampas untuk Alex.

"Silakan Mas." Bu Wiwik menyajikan 2 gelas berisi merek dan jenis kopi berbeda di meja paling pojok.

Identitas yang tidak diketahui publik menjadi satu keuntungan bagi mereka. Sebagai gantinya, karyawan kantoran menjadi suatu pekerjaan yang Bu Wiwik ketahui tentang 2 pelanggan itu. Hanya itu.

"Terima kasih Bu."

David menggeser gelas pesanannya agar lebih mendekat.

"Microsoft Office for ¹the corruption case. A for Andre, B for Bahari, H for Hartigan, and G for Geri. Microsoft Word for ²corruption, Microsoft Excel for ³bribery, Powerpoint for ⁴hiding evidence, ⁵office for ⁶accusation, E-mail for ⁷proof, and USB for GPS," bisiknya pada Alex. ¹ Kasus korupsi; ²Korupsi; ³Suap; ⁴Menyembunyikan/menghilangkan barang bukti; ⁵Kantor; ⁶Tuduhan; ⁷Bukti.

Mereka selalu menggunakan kode semacam itu untuk menyamarkan nama subjek dan topik. Sebuah kata kunci. Memanipulasi obrolan penting menjadi sekadar pembicaraan yang tak asing di kalangan karyawan kantoran.

"Jadi maksudmu, mereka?"

David mengangguk seraya menyeruput sedikit kopinya.

"Saya curiga A telah membuat Powerpoint-nya."

"Kenapa begitu? Apa yang membuatmu curiga?"

"E-mail yang saya dapat perihal Microsoft Office H dan G, menghilang karena virus yang menyerang semua komputer di ruangan 13-C, termasuk komputer di meja kerja milik saya. Dan itu, menyebabkan E-mail yang saya miliki di komputer menghilang. Flashdisk milik saya juga terkena virus. Aneh."

"Lalu? Apa hubungannya dengan A?"

"Selain saya, A yang tahu tentang E-mail itu, karena kami menjalankan Microsoft Office-nya bersama. Anda tahu itu 'kan?"

Alex menikmati kopinya dahulu sebelum menanggapi.

"Jadi, A yang menanam? Apa kamu punya E-mail-nya?"

Gelengan dia berikan. "Tapi ada beberapa hal yang memperkuat kecurigaan saya terhadap kakak-adik itu."

"Apa?"

"Pertama, tanggal 2 April kemarin, di hari komputer terkena virus, A tidak cekatan seperti biasanya, dan terkesan mengulur waktu. Bukannya A paling semangat bila diperintahkan mengatasi hal semacam itu? Biasanya dia mampu membereskannya hanya dalam 30 menit saja, karena itu kan salah satu keahlian yang dia senangi juga. Tapi saat itu, hampir 2 jam dia berkutik dengan permainannya."

"Kamu tidak memeriksa CCTV?"

"Saya periksa. Tapi pengawas bilang, kameranya juga terkena virus dan file rekaman pun hilang. Semuanya. Nihil. Dua hal janggal itu terjadi ketika H dan G akan diintrogasi. Kebetulan, atau memang sudah direncanakan?"

Alex membenarkan gagang kacamatanya. "Berasumsi saja tidak cukup, David."

"Maka dari itu, saya mulai mengawasi, dan menyimpan USB di mobilnya A, B, juga H."

"Sejak kapan? Apa ada yang kamu dapat?"

"Sudah 3 minggu, tapi tidak ada yang aneh sejauh ini. Hanya saja, A dan B sering berkunjung ke Rumah Sakit Rastipa. Hampir setiap hari."

"Oh ya, B pernah membicarakan soal ibunya yang sakit kanker darah. Dan katanya, minggu ini ibunya akan melakukan operasi transplantasi sumsum tulang. Dan mungkin, mereka ke rumah sakit untuk keperluan itu."

"Begitu ya—" Notifikasi dari ponsel miliknya membuat perhatian David teralihkan.

"Ada apa?" Alex bertanya ketika melihat David memeriksa ponselnya dengan alis yang naik.

David menoleh sambil menunjukkan layar ponselnya.

"Mereka pergi ke arah yang sama."

***

Area Pabrik Sepatu Terbengkalai - 06.15 PM

"Kamu yakin mereka ke daerah sini? Ini hampir mau ke hutan, lho." Alex sedikit ragu.

David pun menghentikan laju mobilnya sejenak untuk memeriksa lokasi GPS dari ponselnya.

"Mobil mereka berhenti di daerah sini. Tapi sekarang tidak terlacak. Sepertinya karena sinyal yang memengaruhi."

"Ya sudah, coba periksa ke arah depan."

David mengangguk, kemudian kembali melajukan mobilnya dengan pelan. Di sampingnya Alex terlihat merogoh ponsel di saku kemejanya karena ada panggilan yang masuk.

Nata

"Halo Nat. Ada apa?"

"Pa, ini, Nabila udah Nata jemput. Baru nyampe rumah."

Seulas senyuman senang terlukis dari bibirnya.

"Mana dia? Papa mau ngobrol."

"Ada ini. Bentar. Bil, Papa mau ngomong sama kamu."

"Halo Pa. Papa kapan pulang? Nabila kangen."

"Malam ini Papa pulang kok. Kamu sama Kak Nata dulu ya di rumah. Maaf kalau nanti Papa pulangnya telat. Ada kerjaan dulu soalnya."

"Iya. Nabila tunggu ya. Hati-hati. Semangat kerjanya. I love you so much."

"Love you more. Kasih ke kakakmu lagi."

"Iya Pa?"

"Kamu jaga Nabila ya. Papa kayaknya nggak bisa pulang cepet. Ada kerjaan penting yang harus diurus."

"Iya. Ditunggu Pa. Hati-hati ya. Nata sama Nabila tunggu Papa di rumah. Bye. Love you."

"I love you Pa!" Suara Nabila terdengar semangat di seberang sana.

"I Love you more."

David yang sedari tadi mendengar percakapan di sampingnya tersenyum setelah melirik. "Anak-anak?"

"Iya. Anak bungsu saya baru datang dari Bandung. Dia manfaatin waktu libur sekolah buat main. Walaupun beberapa hari."

"Di Bandung dia tinggal dengan siapa?"

"Sendiri. Semenjak istri saya meninggal tahun lalu, dia memilih tinggal di Bandung karena sudah betah. Saya menawarkan dia untuk pindah saja ke sini, tapi tidak mau. Tanggung, katanya."

David manggut-manggut. "Sepertinya anak bungsu Anda seumuran dengan anak bungsu saya, Nona. Dia juga kelas 11 sekarang."

"Oh ya? Kapan-kapan kita kenalkan saja mereka berdua. Siapa tahu bisa jadi teman dekat."

"Ide yang bagus."

Lihat selengkapnya