***
Sudah seharian Radena terduduk di depan meja belajar dan sibuk dengan sketchbook-nya.
"A, makan." Bi Iin mengetuk pintu kamarnya.
"Masuk aja Bi," sahutnya tanpa menghentikan kegiatan dan mengalihkan pandang.
Bi Iin yang menangkap suaranya pun membuka pintu perlahan.
Dan setelah dia berhasil memasuki ruang kamar, pergerakannya terjeda sesaat. Ia terpaku pada remaja laki-laki yang sekarang memunggunginya. Dengan bibir tersenyum, dia mulai mendekat.
"Aa masih gambar? Ini udah sore lho. Nggak pegel tangannya? Dari pagi sibuk banget kayaknya ngegambar."
"Iya Bi. Dikit lagi."
Karena penasaran, Bi Iin mencuri pandang di balik kegiatannya yang meletakkan makanan di atas meja belajar.
Matanya sedikit terbuka. Terpana pada sketsa yang sedang Radena buat.
"Ih, itu kayak si Néng Geulis. Aa udah mulai suka ya sama dia?" godanya dengan mencolek bahu Radena gemas. "Apa Bibi bilang. Pasti Aa bakalan jatuh hati ke si Néng Geulis. Nggak mungkin kalau nggak mah."
"Apa sih Bi. Udah. Sana. Ini urusan anak muda." Radena mengusirnya. Jujur, dia malu.
Bi Iin tertawa kecil. "Ini pertama kalinya lho, Aa kayak gini. Itu, mau dikasih ke si Néng ya?"
Radena mengangguk.
"Aduh, mani so swit si Aa téh geuning. Sok atuh ah. Semoga diterima cintanya."
Radena menoleh dan pergerakannya terhenti.
"Saya cuma mau ngasih doang kok."
"Masa ngasih doang, itu gambarnya ada tulisan, abi bogoh," ledeknya.
"Bibi ngerti Aksara Sunda?"
"Ya jelas atuh. Masa nggak."
Radena meringis malu. Seharusnya ini menjadi sebuah rahasia.
"Jangan lupa dimakan itu makanannya. Biar semangat nyatain cintanya."
"Bibiii!"
Tawaan dari wanita itu terdengar sebelum suara pintu. Bi Iin sangat senang menggodanya.
***
Bandung, 08 Januari 2022 - 04.33 PM
Angin yang menyentuh kulitnya membuat Nona merasa nyaman. Bukit ini ketiga kalinya dia singgahi. Di posisi yang sama, dengan perasaan yang berbeda setiap singgahannya.
Dulu, pertama kalinya dia mendatangi bukit ini, perasaan duka membaluti hati dan pikirannya. Namun sekarang, keadaan telah berubah. Sukacita. Itu yang ia rasakan sekarang. Segala beban dan masalahnya yang lalu telah usai. Walau tak mudah mencapainya.
"Kakekmu gimana?" tanyanya. Mengusir keheningan.
Radena menoleh. Ia menghela napas. "Belum ada perkembangan. Masih dirawat di rumah sakit, tapi ya tetep dalam pengawasan polisi."
Nona mengerutkan kulit bibirnya sambil menganggut.
Tekanan darah tinggi yang Setyo alami selama berada di dalam tahanan, lambat laun menyebabkan dirinya mengalami stroke, hingga membuatnya harus dirawat ke rumah sakit untuk penanganan yang lebih memadai.
"Saya turut prihatin."
"Kakek yang buat pilihan sampai semuanya terjadi." Terlihat Radena membuang napas berat. "Keadaan di keluarga gue jadi makin kalut gara-gara kasus kakek. Nggak cuma sekolah yang ditutup, bokap juga lagi keteteran sama perusahaan. Dia kelihatan banget pontang-pantingnya biar perusahaan nggak sampe bangkrut."
Tak ada tanggapan. Nona hanya mampu melipat bibirnya dengan helaan napas yang panjang. Tak lama, tangannya terlihat merapikan rambut yang tertiup angin.
"Semuanya bakal baik-baik aja. Walaupun nggak mudah buat berusaha berdiri di tengah terpaan masalah, saya yakin semua bisa dilewatin. Semoga urusan keluarga kamu bisa cepet pulih lagi."
Radena kehabisan kata. Tiba-tiba lidahnya kelu.
"Udah sore banget nih. Kamu mau ngasih apaan sih segala harus ke sini?"
Laki-laki itu berdehem. Mendadak dia menegang. Belum pernah setegang ini. Sambil melirik Nona, ia mulai membuka resleting jaketnya untuk mengambil sesuatu yang disimpan di dalam sana.
"Nih. Buat lo."
Ia memberi gulungan kertas putih tebal. Sepertinya selembar sketchbook berukuran A5.
"Ini apaan?"
"Buka aja."
Sebelah alisnya terangkat. "Oke."
Nona pun membuka gulungan yang terikat pita putih tersebut. Sedangkan di sampingnya, Radena terus menghembuskan napas kegelisahan.