Untukmu yang kelak membaca cerita ini, terima kasih telah meluangkan waktu mendengarkanku. Sesungguhnya, tak ada yang istimewa di sini. Namun, aku percaya, siapa pun yang menemukan buku ini mungkin pernah menghadapi persoalan serupa denganku. Jangan berharap terlalu banyak pada kisahku, karena sejatinya ini hanyalah coretan seorang anak yang keberadaannya tak pernah benar-benar diharapkan.
Orang-orang di sekitar rumah biasanya memanggilku Venesia. Namun, seperti kebiasaan banyak orang yang menyukai nama sederhana, beberapa memilih memanggilku Vene. Aku adalah anak tunggal dari pasangan suami istri yang hidup dalam keharmonisan. Keluarga kecil kami seolah tak tergoyahkan—tiga orang yang saling mencintai dengan tulus.
Setidaknya, itulah yang kupikirkan saat usiaku enam tahun. Malam itu, aku sedang tidur di kasurku yang terasa begitu nyaman. Suasana kamar benar-benar hening, tanpa suara apa pun kecuali denting jam yang menggema dari dinding. Hingga suara benda pecah tiba-tiba membangunkanku dari lelap. Meski begitu, aku tak pernah terpikir untuk keluar kamar. Hari itu, aku mendengar sesuatu yang berbeda—sesuatu yang tak pernah terlintas sebelumnya dalam benakku.
“Selama ini aku selalu sabar menghadapi kegilaanmu. Tapi sekarang, aku sudah muak dengan semuanya,” suara lantang seorang pria yang sangat kukenal menggema di telingaku.
Dia adalah cinta pertamaku. Sosok pekerja keras yang selalu meluangkan waktu untuk mendongeng bagi putri kecilnya. Seorang pria yang tutur katanya tak pernah mengajarkanku hal-hal buruk, bahkan sepotong ucapan yang melukai hati pun tak pernah keluar dari bibirnya.
Namun, malam itu segalanya berubah. Ayah begitu marah pada seorang perempuan yang dulu sangat dia cintai. Suaranya terus meninggi, memecah keheningan malam.
Ibu tak tinggal diam saat suara Ayah semakin meninggi. “Bukti perselingkuhan ini jelas-jelas mengarah padamu! Ternyata, kamu hanya laki-laki brengsek yang selama ini berpura-pura baik di depan istri dan anakmu,” seru Ibu, suaranya tak kalah lantang, menandingi teriakan Ayah.
Usia enam tahun adalah masa yang terlalu dini untuk memahami arti kata selingkuh. Saat itu, aku tak benar-benar mengerti apa yang menjadi inti pertengkaran mereka. Yang kutahu, itulah terakhir kalinya aku melihat Ayahku—sosok yang kemudian kusadari betapa penting perannya dalam hidupku di masa depan. Peran yang, ternyata, tak pernah bisa digantikan oleh siapa pun.
Pertengkaran itu berlangsung sekitar satu jam. Ketika akhirnya suasana mulai mereda, aku memberanikan diri keluar untuk melihat keadaan. Itu adalah naluri alami seorang anak berusia enam tahun—khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada orang tuanya.
Saat tanganku memutar gagang pintu kamar, pandanganku langsung tertuju pada lantai yang dipenuhi serpihan keramik pecah. Rasa khawatir benar-benar menguasai pikiranku. Dengan langkah tergesa-gesa, aku menuju kamar mereka. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, aku melihat Ayah sedang mengemasi barang-barangnya.
Wajahnya masih terlihat jelas di mataku. Namun, yang kulihat hanyalah tangisan. Matanya sembab, mungkin karena sudah lama menangis. Itu adalah pertama kalinya aku melihat Ayah menangis—dan sekaligus terakhir kalinya.
Sebab setelah malam itu, hingga detik ini saat aku menuliskan catatan ini, aku tak pernah bertemu dengannya lagi.
Kehadiranku di balik pintu yang sedikit terbuka mulai disadari oleh Ibu. Tanpa ragu, aku segera membuka pintu kamar mereka dan meluapkan semua yang ada di pikiranku saat itu.