Keesokan paginya, aku berjalan menuju sekolah. Jalanan kota ini terasa lengang, begitu sunyi. Tidak banyak anak yang berangkat ke sekolah hari ini. Bukan karena hari libur, melainkan banyak dari mereka yang terpaksa berhenti sekolah akibat tekanan ekonomi. Orang tua mereka memilih mengarahkan anak-anaknya untuk menjadi kuli bangunan, pekerja pabrik, atau melanjutkan menggarap sawah warisan keluarga.
Aku merasa beruntung karena kedua orang tuaku selalu mengutamakan pendidikan. Dulu, ayah berjuang mati-matian melindungiku dari pergaulan yang bisa membuatku terjerumus ke dalam kemalasan dan mengabaikan sekolah. Kini, setelah ayah tiada, ibu mengambil peran itu dengan caranya sendiri. Dia menempatkanku dalam posisi yang harus patuh, menjalani hidup dengan disiplin yang ketat.
Hari ini tepat lima belas hari sejak ayah pergi, sekaligus dua minggu sejak insiden mengejutkan di ruang ujian. Aku berjalan kaki menuju sekolah untuk mengikuti ujian susulan. Sementara itu, sebagian besar temanku hanya diliburkan dua hari. Alasan lain jalanan terasa begitu sepi adalah karena hari ini memang hari libur. Anehnya, aku sendiri tidak tahu mengapa temanku waktu itu mengatakan bahwa aku harus tetap datang ke sekolah.
Di depanku berdiri sebuah bangunan megah, sekolahku. Bangunan ini memiliki empat lantai dan terletak di kawasan yang cukup maju. Berbeda dengan sekolah-sekolah di sekitar yang masih menggunakan papan tulis kapur, di sini sudah beralih ke papan tulis spidol. Selain itu, sekolah ini juga menjadi tempat berkumpulnya siswa-siswi dari keluarga yang sangat mapan secara finansial.
Aku memandang sekolahku dengan kebingungan. Gerbangnya terkunci rapat, membuatku bertanya-tanya bagaimana ujian susulan bisa dilaksanakan dalam situasi seperti ini. Pikiran itu membuatku terpaku cukup lama, hingga seseorang tiba-tiba menghampiriku.
“Hari ini kan tanggal merah. Kenapa kamu malah berdiri di sini, Nak?” tanya seseorang yang kemudian kuketahui bernama Pak Bas.
Aku memasang ekspresi bingung saat itu. “Saya harus melaksanakan ujian susulan, Pak. Kalau tidak, saya bisa tinggal kelas,” jawabku dengan wajah yang semakin murung.
“Siapa nama guru yang menyuruhmu ujian hari ini?” tanya Pak Bas, menatapku penuh perhatian.
“Sebetulnya tidak ada, Pak,” jawabku ragu. “Teman saya yang bilang. Katanya, dia dapat pesan langsung dari guru itu.”
Pak Bas tersenyum kecil mendengar jawabanku. “Kamu ini lucu sekali,” ujarnya sambil tersenyum hangat. Tangannya menepuk pundakku dengan lembut. “Kalau begitu, ikut saya dulu, ya. Kita mampir makan bakso di warung sebelah sana,” ajaknya dengan nada ramah.
Aku sebenarnya tidak tahu siapa dia. Saat itu, kebingungan melingkupiku. Namun, entah kenapa, aku merasa yakin bahwa dia bukan orang jahat. Berinteraksi dengan orang baru memang bukan hal yang mudah bagiku. Sebelumnya, aku punya beberapa teman, tapi hanya sedikit dari mereka yang benar-benar suka berkomunikasi denganku.
Tidak ada pilihan lain selain mengikuti Pak Bas. Kini, kami sedang menuju gerai bakso. Dia memintaku untuk memilih pesanan, tapi sebagai anak berumur enam tahun, aku merasa sangat malu. Aku kesulitan untuk mengungkapkan apa yang aku inginkan. Pada akhirnya, aku hanya memilih untuk diam. Pak Bas tampaknya menganggap itu wajar.