Basuki melayangkan pukulan kepada seorang murid perempuan yang tengah duduk di bawah pohon mangga, tak jauh dari gerbang belakang sekolah. Murid itu dikenal sebagai sosok yang cerdik. Beberapa waktu lalu, dia mencoba menggoda Basuki dengan harapan mendapatkan nilai yang lebih baik. Kini, kabar tentang skandal antara mereka telah menyebar hingga ke telinga ibu-ibu kantin. Kemarahan Basuki memuncak saat mengetahui gosip itu merebak tanpa kendali.
Tangis memilukan menggema, menambah suasana mencekam. Anak itu terjatuh setelah menerima pukulan keras yang mendarat tanpa ampun. Basuki berdiri tegak dengan sikap arogan, seolah-olah menunjukkan superioritasnya di hadapan bocah berusia dua belas tahun. Kala itu, Basuki sendiri baru menginjak usia dua puluh lima tahun, seorang pemuda dengan ambisi membara, haus akan pengakuan dan sanjungan dari orang-orang di sekitarnya.
Selain arogansi dan haus akan penghormatan, Basuki adalah seorang guru yang beberapa kali diam-diam berpacaran dengan muridnya. Hubungan yang paling jauh adalah dengan murid ketiga yang pernah menjadi pacarnya.
Basuki menekan pergelangan tangan anak itu dengan kakinya, memastikan ia tak mampu bangkit. "Apa kamu pikir aku ini orang bodoh?" ujarnya dengan nada penuh intimidasi.
"Aku hanya bercanda dengan temanku. Tidak sengaja aku kelepasan mengatakan soal berpacaran dengan Bapak. Tapi dia sulit mempercayainya, mungkin karena nada bicaraku terdengar seperti gurauan."
Tangannya dicengkeram erat. Dengan satu tarikan kuat, Basuki berhasil membuat anak itu berdiri meskipun dengan tubuh yang limbung. Kini pukulan demi pukulan mendarat keras, menghajarnya tanpa ampun. Anak perempuan yang masih dalam masa pertumbuhan itu terpaksa menahan serangan brutal dari gurunya—atau lebih tepatnya, pria yang menjadi kekasihnya.
“Aku bersumpah tidak pernah mengatakan apapun tentang kita. Tidak ada yang tahu soal kebahagiaan yang pernah kita bagi. Aku berjanji, saat bapak—”
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya, memutus ucapannya seketika. Gadis itu hanya bisa terdiam, menahan sakit dan keterkejutannya.
“Segala yang kita lakukan adalah kesepakatan bersama. Tidak seorang pun boleh tahu, dan kamu harus menjaga itu rapat-rapat,” ujar Basuki dengan nada dingin, sementara tangannya menekan perut gadis itu dengan penuh tekanan.
Wajah gadis itu meringis menahan rasa sakit. Basuki tidak menyadari bahwa anak berusia dua belas tahun ini sedang mengandung darah dagingnya. Usia kandungannya baru menginjak tiga bulan, namun perutnya mulai terlihat membesar. Jika kamu bertanya bagaimana dia bisa mengetahuinya, jawaban itu akan terungkap dengan sendirinya nanti.
Basuki meninggalkan gadis itu dan kembali ke sekolah. Saat itu, jam pulang sekolah sudah dekat. Untuk menghindari kecurigaan dari para murid, dia memutuskan untuk mampir ke kantin dan menikmati secangkir kopi. Kopi hitam adalah pilihannya, dan uap panasnya mengepul di udara saat dia menghirupnya. Dengan secangkir kopi dan sebatang rokok, amarahnya sedikit mereda. Ketika api dalam dirinya mulai padam, dia akan kembali menjalankan tugasnya sebagai seorang guru.
Sebatang rokok telah habis, begitu pula dengan segelas kopi yang kini tak terlihat lagi. Basuki kemudian mendekati penjaga kantin untuk membayar kopi yang telah dia nikmati.
“Permisi, Bu, ini uang untuk kopi saya.”
“Eh, iya Pak. Ya ampun, biasanya juga bayarnya waktu pulang.”