Pagi selalu menjadi waktu terbaik bagiku untuk keluar dari kamar. Ibu masih terbaring di atas sofa, tidak sadarkan diri. Semalam, amukannya memang tidak berlangsung lama, tetapi aku benar-benar khawatir dia akan melukaiku lagi. Sejak ayah pergi, ibu beberapa kali menyakitiku. Sebagai seorang anak, tentu saja aku merasa sangat takut. Apalagi, aku masih kecil, masih banyak hal di dunia ini yang belum kumengerti.
Hari ini sekolah kembali dimulai seperti biasa. Aku memutuskan untuk tidak berpamitan dengan ibu, takut jika membangunkannya justru memicu amarahnya di tengah mimpi terbaiknya. Dengkurnya yang keras menjadi tanda betapa lelapnya dia tidur setelah amarahnya semalam.
Kini aku sudah tiba di sekolah. Tatapanku langsung berubah sinis, menyambut sosok yang begitu aku benci.
"Kemarin kamu membohongiku. Katamu ada ujian susulan, tapi ternyata sekolah sedang libur, termasuk para gurunya."
Aku memukul pelan anak itu. Namanya Seno, seorang laki-laki yang luar biasa menyebalkan dan gemar menjahiliku. Seolah-olah tidak ada hal lain yang dia lakukan selain membuatku kesal setiap hari. Jadi, wajar saja jika aku melayangkan beberapa pukulan bertubi-tubi untuk membuatnya jera. Namun, sialnya, yang muncul di wajahnya bukan rasa sakit, melainkan tawa lebar. Pukulanku hanya dibalas dengan gelak tawanya yang terbahak-bahak.
"Memang dasarnya kamu saja yang bodoh. Sudah tahu kemarin itu hari libur, tapi masih saja percaya ada ujian susulan."
"Sebenarnya aku tidak mau percaya. Tapi aku khawatir kalau nilainya kecil karena tidak ikut susulan. Bisa-bisa ibu memarahiku habis-habisan."
"Dia masih sering marah-marah akhir-akhir ini?"
"Bahkan semalam dia seperti orang kesurupan. Aku tidak mengerti, dia datang dengan mata yang setengah terpejam, ucapannya melantur, lalu tiba-tiba berteriak ke arahku. Jelas saja aku langsung lari, rasanya seperti dikejar anjing tetangga."
Seno tertawa terbahak-bahak mendengar caraku bercerita. Aku hanya menatapnya dengan sinis. Tidak suka rasanya melihat seseorang tertawa ketika aku jelas-jelas sedang tidak melucu.
"Iya, aku mendengarkanmu. Tidak perlu cemberut seperti itu, Venesia."
Aku tersenyum ketika Seno mencoba membujukku dengan membelai rambutku. Sentuhan itu berhasil meluluhkan rasa marahku. Namun, seperti yang kuduga, tak lama kemudian Seno kembali berulah dengan kelakuan jahilnya.
"Tapi rasanya, Vene tidak akan seperti ini kalau tersenyum."
Tangannya menarik rambutku, membuatku teriak kesal pada Seno. Dia segera melarikan diri dari cakaran maut yang biasa kulakukan. Aku mengejarnya tanpa ampun. Di kelas, kami sudah terbiasa berlarian, saling bertumbukan untuk kabur dan membalas. Kadang aku berada di posisi Seno yang menjahili, dan dia akan mengejarku untuk menarik rambutku jika aku menjahilinya.
Aku sungguh merindukan momen-momen indah sebelum aku dewasa. Ternyata, menjadi dewasa tidak sesenang yang pernah kubayangkan dulu. Setiap hela nafasku dulu adalah bentuk kerinduan, sementara sekarang, setiap hela nafasku terasa seperti petaka.
Kejar-kejaran itu akhirnya berhenti ketika guru masuk kelas. Aku pun mulai menyimak pelajaran dengan seksama. Saat jam istirahat tiba, aku mengikuti ujian susulan. Lukaku juga sudah membaik. Luka ringan yang sebenarnya bisa sembuh dengan sendirinya, namun dokter tampaknya berlebihan dalam menjahitnya.
Setelah sekolah berakhir, aku pulang berjalan kaki seperti biasa. Kegiatan itu terus-menerus terulang, minggu demi minggu aku melaluinya. Hingga suatu hari, Pak Bas menegurku saat aku sedang berjalan sendirian.
"Kamu tidak capek hanya jalan kaki saja?"