Bila Nanti Kau Tak Kembali

Sayidina Ali
Chapter #5

Ruang Kelas Filsafat

Kisah ini mengisahkan hari-hari pertama pertemuan antara Riona dan Oby, dua mahasiswa jurusan ilmu filsafat. Mereka menjadi dekat saat masih menjadi mahasiswa, namun kedekatan yang dimaksud bukanlah kedekatan yang romantis. Sebaliknya, mereka dekat karena keduanya dikenal sebagai mahasiswa yang gemar membuat gaduh di kelas.

Dosen kali ini memperkenalkan sebuah topik perdebatan yang menarik. “Selamat datang di perdebatan filsafat hari ini! Topik kita adalah 'Idealisme vs Materialisme.' Di satu sisi, kita memiliki pendukung idealisme yang berargumen bahwa realitas pada dasarnya bersifat mental atau spiritual. Di sisi lain, pendukung materialisme berpendapat bahwa realitas terdiri dari materi, dan fenomena mental dapat dijelaskan melalui proses fisik. Mari kita mulai!”

Riona, seorang wanita dengan tumpukan buku di depannya, mengangkat tangan. “Izinkan saya membalas mosi perdebatan yang Anda sampaikan. Seperti yang dikemukakan oleh Immanuel Kant, ‘Ruang dan waktu bukanlah realitas objektif, melainkan bentuk intuitif yang memungkinkan kita memahami dunia.’ Dengan kata lain, dunia fisik bukanlah sesuatu yang eksis secara independen dari pikiran kita; dia ada sebagai konstruksi dari pengalaman subjektif. Realitas sejati adalah ide-ide yang mendasarinya, bukan materi.”

Seisi ruangan memberikan tepuk tangan sebagai apresiasi atas pendapat Riona yang baik. Namun, ada satu orang yang merasa tidak puas: Oby yang memang berpikir dengan perspektif materialistis. 

Oby mengangkat tangannya. “Saya ingin menyampaikan pendapat yang berbeda, kali ini dari sudut pandang materialisme. Pernyataan Riona memang menarik, namun seperti yang dikatakan oleh Epicurus, ‘Segala sesuatu terdiri dari atom dan ruang kosong.’ Realitas tidak bergantung pada persepsi subjektif, melainkan pada entitas fisik yang dapat diamati dan dipahami melalui hukum-hukum alam. Materi adalah dasar dari segala fenomena, termasuk pikiran.”

“Tidak bisa. Saya tidak sependapat dengan Oby,” tegas Riona, tampak kesal. “Hegel mengembangkan gagasan ini lebih jauh dengan dialektika idealismenya, yang menyatakan bahwa sejarah dan realitas adalah perkembangan progresif dari ‘Roh Absolut.’ Dunia fisik hanyalah manifestasi dari kesadaran kolektif, bukan substansi sejati. Dengan kata lain, materialisme gagal menjelaskan sifat dinamis dari realitas.”

“Tetapi Karl Marx, yang terinspirasi oleh Hegel namun menolak idealisme, menjelaskan bahwa ‘bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, tetapi keberadaan sosial mereka yang menentukan kesadaran.’ Struktur ekonomi dan materi adalah yang membentuk ideologi serta budaya, bukan sebaliknya,” balas Oby, tetap bersikeras.

“Namun, bagaimana materialisme dapat menjelaskan pengalaman subjektif dan sifat kesadaran? Seperti yang dikatakan Kant, ‘Dunia noumenal’—realitas di luar persepsi kita—tidak dapat sepenuhnya dijelaskan melalui hukum-hukum fisik. Kesadaran manusia memegang peran penting dalam membentuk realitas,” Riona berusaha menggali celah dalam argumen Oby.

“Kesadaran bukanlah hal yang misterius; dia muncul dari proses biologis,” jawab Oby, tetap teguh dengan pendapatnya. “Seperti yang diungkapkan oleh filsuf materialis modern, otak manusia adalah mesin yang sangat kompleks, dan pikiran adalah hasil dari aktivitas neuron. Kita tidak memerlukan entitas non-material untuk memahami kesadaran.”

“Tetapi Hegel akan berargumen bahwa materialisme reduksionis seperti itu mengabaikan elemen-elemen penting: tujuan dan makna. Jika kita hanya memahami manusia sebagai mesin biologis, bagaimana kita bisa menjelaskan aspirasi, seni, atau moralitas? Semua itu adalah bagian dari perkembangan roh yang tidak dapat direduksi menjadi sekadar materi,” jelas Riona dengan tegas.

“Marx telah memberikan jawaban atas hal itu. Aspirasi, seni, dan moralitas adalah produk dari kondisi material dan struktur sosial. Seni, misalnya, sering kali mencerminkan ketegangan kelas dan ideologi yang ada dalam masyarakat. Pada akhirnya, materi adalah dasar dari segala aktivitas manusia.”

“Namun, pandangan tersebut terperangkap dalam determinisme. Hegel menunjukkan bahwa kesadaran memiliki kapasitas untuk melampaui batas-batas materi dan menciptakan realitas yang baru. Idealisme memberikan ruang bagi kebebasan manusia dan perkembangan spiritual.”

“Kebebasan sejati hanya dapat dipahami dalam kerangka realitas material. Seperti yang dikatakan Marx, ‘Kebebasan adalah kesadaran akan kebutuhan.’ Kita hanya dapat meraih kebebasan ketika kita memahami hukum-hukum material yang mengatur dunia kita dan bertindak sesuai dengan pemahaman itu.”

Dosen tertawa mendengar perdebatan dua mahasiswanya. “Perdebatan kalian berdua sangat menarik. Idealisme menekankan pentingnya kesadaran dan makna spiritual, sementara materialisme menyoroti realitas materi sebagai dasar segala sesuatu. Bagaimana menurut Anda semua? Apakah realitas lebih didasarkan pada pikiran atau materi?”

Semua memberikan jawaban yang berbeda-beda. Dalam banyak hal, ideologi yang dimiliki Riona dan Oby sering kali bertentangan. Keduanya memiliki cara berpikir yang sangat berbeda. Hingga suatu ketika, muncul sebuah pertanyaan teologis yang sangat legendaris.

Riona dan Oby sedang duduk di sebuah taman, mengerjakan tugas kelompok mereka. Tiba-tiba, Oby membuka diskusi. "Konsep ketuhanan bisa dipandang sebagai jawaban atas pertanyaan mendasar: Mengapa alam semesta ada? Segala sesuatu pasti memiliki asal-usul, dan alam semesta ini harus memiliki penyebab utama yang menjadi dasar dari keberadaannya. Misalnya, keteraturan yang kita temui dalam hukum-hukum alam menunjukkan bahwa ada sesuatu yang 'mengatur' struktur realitas ini."

Lihat selengkapnya