Maharani melangkah menuju sekolah dengan tempo yang lamban. Perutnya terasa berguncang hebat, mengingat usianya yang baru dua belas tahun—usia yang jauh dari kata wajar untuk sebuah kehamilan. Risiko yang dihadapinya bukan hanya mengancam keselamatan dirinya, tetapi juga menghambat pertumbuhan janin di dalam kandungannya. Hingga kini, tak ada asupan gizi yang memadai untuk bayi tersebut. Masalah utamanya: Maharani tak mampu membeli perlengkapan kehamilan yang dibutuhkannya.
Setelah tiba di sekolah, aktivitas Maharani sehari-hari hanya sebatas duduk diam. Seperti biasanya, dia tak memiliki teman dekat. Saat jam istirahat tiba, sebagian besar siswa berbondong-bondong menuju kantin untuk membeli makanan. Maharani merogoh sakunya, namun yang dia temukan hanyalah kehampaan. Tak ada uang saku dari ibunya hari ini. Hanya sebungkus nasi sisa kemarin yang masih bisa dimakan, meskipun aromanya sudah tak sedap. Di kelas, dia kerap menjadi sasaran cemoohan karena aroma tak menyenangkan yang kadang menguar dari tempat duduknya.
Seseorang dengan wajah penuh kesombongan mendekat. “Beginilah nasib orang miskin, makan makanan basi setiap hari. Tak heran kalau ruangan ini bau tidak sedap. Aku masih heran, kenapa kelas ini tetap saja menerima orang seperti kamu. Meski sekolah ini gratis, bukan berarti semua orang miskin boleh masuk ke sini.”
Maharani hanya terdiam menghadapi ujaran kebencian dari teman sekelasnya. Berkali-kali kata-kata itu menghujam telinganya, meninggalkan luka yang tak terlihat. Bahkan, para guru pun kerap melakukan tindakan serupa, menambah beban yang harus ditanggungnya. Namun, kali ini kejadian tersebut langsung dibela oleh Arman.
“Memangnya kamu sekaya apa, sih?”
“Sepertinya buku pelajaran harus menambahkan daftar baru dalam deretan pejuang kemerdekaan. Kalau dulu para pahlawan memperjuangkan nasib bangsa, sekarang ada seorang anak yang katanya sedang mengangkat derajat para gelandangan.”
“Hebat juga kalau aku dianggap pahlawan karena mengangkat derajat para gelandangan. Tapi kali ini, aku justru sedang berbicara dengan salah satu anak yang menjadi penyebab gelandangan—anak seorang koruptor.”
Sebuah tamparan mendarat di pipi Arman. Namun, tak ada perlawanan darinya—hanya sebuah senyuman tipis yang terukir di wajahnya. “Amarah hanya muncul dari mereka yang merasa tersinggung. Jadi, benar bahwa kamu adalah anak seorang koruptor.”
“Aku akan melaporkanmu kepada ayahku. Biar nanti nasibmu dimiskinkan, sama seperti dia,” ujarnya lantang, dengan telunjuk mengarah tajam ke Maharani.
Arman tetap berdiri tegak, menunjukkan sikap perlawanan yang tegas kepada anak itu. “Aku tidak takut,” ucapnya dengan nada dingin yang penuh ketegasan. “Justru aku lebih yakin, nanti kamulah yang akan menjadi gelandangan saat Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap ayahmu.”
Anak itu pergi, meninggalkan Maharani dan Arman berdua. Sekarang, kondisi Maharani sudah terlihat sedikit lebih tenang. Dalam banyak kesempatan, Arman selalu menjadi tameng setiap kali ada yang mencoba menghina Maharani. Baginya, Maharani hanya boleh menjadi sasaran ledekan darinya—tidak dari orang lain.