Aku sedang mengerjakan tugas bersama Seno. Kami sepakat untuk melakukannya di aula sekolah, tempat yang cukup luas untuk dijadikan arena bermain. Beberapa teman lain berlarian, tapi aku memilih untuk hanya bermain dengan Seno. Sesekali aku menarik rambutnya, bahkan mencoret tangannya dengan kuas cat kayu yang masih basah. Sebagai balasannya, dia sering kali menarik kepang rambutku yang terikat rapi.
Sekolah ini terasa sangat sepi. Hanya beberapa dari kami yang memutuskan untuk tetap di sekolah mengerjakan tugas kelompok. Hari sudah hampir petang, meskipun aku tidak menyadarinya karena terlalu asyik bermain dengan teman-teman. Namun, ada satu kejadian yang benar-benar aneh yang terus menghantuiku. Saat aku sedang fokus menggambar sketsa, aku merasa seperti ada yang mengamatiku dari kejauhan. Beberapa kali aku menoleh ke sudut-sudut tertentu, berusaha memastikan tak ada yang janggal.
Ibu sering berkata bahwa makhluk halus hanyalah proyeksi dari halusinasi pemikiran manusia. Namun, ayah berpendapat bahwa dunia kita ini berdampingan dengan entitas-entitas lain yang tidak terlihat. Sesuatu yang bisa disebut berada di alam yang berbeda, atau yang sering disebut sebagai dunia lain. Ada juga yang menyebutnya dengan istilah dunia gaib.
Bagi seorang anak berusia dua belas tahun, penjelasan tentang dunia lain mungkin terasa paling masuk akal. Namun, dalam kasus ini, doktrin yang ditanamkan oleh ibu terasa lebih masuk akal. Artinya, sumber ketakutan manusia sejatinya adalah diri mereka sendiri. Alam ini tidak tercipta dari tangan-tangan yang tidak terlihat. Itu berarti, rasa penasaran yang tumbuh dalam diriku tentang bayangan yang seolah mengamati, membuatku khawatir bukan karena itu makhluk lain, melainkan karena yang datang mungkin adalah manusia.
Karena terus-menerus merasa terancam, akhirnya aku memutuskan untuk memberitahu Seno tentang apa yang sedang terjadi.
"Aku merasa ada yang mengamati kita semua," kataku, berbisik agar tak terdengar.
Seno segera memindahkan pandangannya ke sudut-sudut sekitar, berusaha memastikan semuanya aman. Agar tidak mencurigakan, ia berpura-pura ikut bermain dengan teman-teman lainnya. Namun, matanya tetap waspada, terus mengamati sekeliling untuk memastikan tak ada niat jahat yang mengintai.
Aku mengamati Seno yang perlahan duduk kembali. “Aku juga merasakan ada yang mengawasi kita. Tapi mataku belum cukup tajam untuk menangkap semua detail di sudut-sudut ruangan. Mungkin aku akan pergi ke pos satpam untuk meminta bantuan, menemani kami.”
“Baiklah. Aku akan menunggu kabar baik darimu. Jangan terlalu lama, ya. Aku khawatir meskipun tidak sendirian, tetap saja merasa cemas kalau ditinggal.”
Seno tiba-tiba mengacak-acak rambutku. "Jangan merasa terancam kalau kamu ada di sampingku. Aku yang akan melindungimu dari segala hal. Termasuk dari setan-setan yang bisa kutendang kepalanya."