Sepulang sekolah, aku masuk ke rumah. Ibu sedang duduk, matanya tertuju padaku dengan tatapan yang tidak biasa, mengamatiku perlahan mendekat. Tangan kuulurkan untuk mencium tangannya sebagai tanda penghormatan. Namun, rasa khawatirku semakin tumbuh, sebab tidak biasanya dia mengamatiku seperti itu. Tiba-tiba, dia memerintahkanku untuk duduk.
Sekarang, posisiku sejajar dengannya. Tangannya meremas lembut pipiku, dan debar jantungku semakin cepat. Aku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku merasakan tamparan yang begitu keras. Wajahku terhantam hebat oleh tamparannya yang penuh tenaga. Untuk sejenak, aku masih terdiam, tak mendapatkan penjelasan darinya.
“Kamu memang anak yang sangat cantik. Tidak mungkin ada laki-laki yang tidak terpesona melihatmu. Kecuali jika dia buta atau mungkin penyuka sesama jenis. Tapi kamu sungguh sangat naif. Tindakanmu kadang benar-benar di luar batas akal sehat manusia.”
“Aku tidak bisa memahami apa yang ibu katakan.”
Tamparan kembali mendarat cepat di pipiku.
“Aku tidak pernah mengajarkanmu untuk berbicara sebelum ucapanku selesai.”
Aku hanya menunduk saat dua tamparan itu mendarat dengan cepat. Seandainya aku menghindar sejak awal, mungkin kejadian ini bisa dihindari. Kini, aku hanya bisa menahan diri untuk tidak menangis di hadapannya.
"Aku selalu berpesan padamu untuk tidak menjadi bodoh dalam urusan percintaan. Laki-laki itu tempatnya manusia-manusia brengsek. Ibu saja gagal menemukan pasangan yang tepat, apalagi kamu yang masih muda. Jangan sampai terjerumus dalam masalah cinta dulu, umurmu belum cukup dewasa untuk itu."
Aku baru sadar bahwa ibu sebenarnya membicarakan soal berboncengan dengan Seno.
“Sekarang masuklah ke kamar dan ganti bajumu. Setelah itu, buatkan ibu makanan yang enak.”
Aku segera bergegas menuju kamar untuk mengganti pakaian sekolahku. Setelah itu, aku cepat-cepat masuk ke dapur untuk menyiapkan masakan untuk ibu. Dengan bahan seadanya yang ada di kulkas, aku mulai mencari apa yang bisa dimasak. Saat membuka kulkas, mataku tertuju pada sebuah botol berwarna gelap, hampir hitam, namun sedikit bernuansa ungu. Rasa penasaran menggerogotiku, dan aku pun membukanya. Bau yang menyengat langsung tercium, mirip sekali dengan bau ibu ketika pulang larut malam. Penasaran, aku mencobanya untuk pertama kali. Itulah kali pertama aku mencoba alkohol. Begitu merasakannya, aku langsung memuntahkannya ke wastafel, tak tahan dengan rasa yang sangat tidak enak itu.
Akan menjadi amukan besar jika ibu tahu aku mencobanya. Dengan segera, aku menaruh botol itu kembali ke tempat semula dan buru-buru membasuh mulutku dengan air, berharap rasa dan bau yang menempel bisa hilang. Masih merasa ragu, aku meminum susu yang ada di kulkas, berharap itu bisa menghapus semua rasa itu. Setelah merasa yakin semuanya hilang, barulah aku mulai menyiapkan masakan untuk ibu dan diriku.
Setelah menyajikan makanannya, aku melahapnya dengan cepat dan kemudian kembali ke kamar. Tubuhku terbaring di kasur, menatap langit-langit kamar. Tidak ada yang kupikirkan saat itu. Tidak tentang Seno, tidak tentang Pak Bas, tidak tentang anak yang hilang, atau bahkan ibu. Aku merasa beruntung, karena segala hal yang mengganggu pikiranku seakan lenyap begitu saja.
Namun, aku lupa bahwa segala kejadian ini berakar dari satu hal. Ayahku tidak pernah kembali sejak hari itu. Ada rasa rindu yang ingin kutuangkan begitu dia kembali. Itulah yang kupikirkan saat itu, sebelum akhirnya aku menyadari bahwa dia tidak akan pernah kembali.
Ayah, ini aku, Venesia, anakmu. Sekarang aku sedang sendirian di kamar, merasa seperti dunia benar-benar membenciku. Biasanya, setiap kali aku menghadapi masalah di sekolah, Ayah adalah orang pertama yang selalu memberiku semangat. Aku rindu pelukan Ayah. Dulu, aku menyesal karena sering menolak saat Ayah ingin memelukku. Sekarang, aku benar-benar merindukan pelukan itu—pelukan yang sepertinya tak akan pernah lagi kurasakan sampai saat ini.
Saat itu, pikiranku begitu kacau. Aku sempat berpikir Ayah adalah orang yang jahat. Namun, setelah Ayah pergi, aku mulai memahami alasan di balik kepergian itu. Tapi, apakah Ayah tak pernah merindukanku? Jika Ayah benar-benar menyayangiku, seharusnya, sejauh apapun jaraknya, Ayah akan kembali ke sini.
Ayah, kapan pulang? Ataukah Ayah memang tidak akan pernah kembali? :)
Aku baru menyadari bahwa air mata ini benar-benar mengalir membasahi pipiku. Sekarang, tak ada lagi yang mampu membuatku menangis seperti ini, kecuali rindu pada Ayah. Masalahku sudah begitu banyak, bahkan di usiaku yang baru dua belas tahun. Hingga akhirnya, rasa letih dan beban ini membawaku tertidur dengan lelap.
Mataku kembali terbuka saat pagi menyapa. Seperti biasa, aku bersiap berangkat ke sekolah dan mengikuti pelajaran hingga selesai. Ketika waktu istirahat dimulai, aku segera menemui Seno yang sebelumnya memberi isyarat untuk bertemu kembali dengan satpam.