Pintu kelas terbuka saat pengganti Pak Basuki sedang menjelaskan. Seluruh murid di kelas langsung memasang mata dengan seksama.
"Saya sudah satu jam meninggalkan ruangan ini. Sebelumnya, saya ingin meminta maaf karena tadi perut saya terasa sangat sakit."
Guru itu memperhatikan Maharani yang masih tampak menahan sakit. Ada rasa iba yang muncul di dalam hatinya. Namun, di sisi lain, ia juga sadar bahwa telah melanggar peraturan karena izin hingga satu jam.
"Tidak apa-apa. Bagaimana keadaan perutmu sekarang?"
"Sudah cukup baik. Sekarang saya bisa mengikuti pelajaran lagi," jawabnya sambil berusaha menebarkan senyuman.
Setelah dipersilakan oleh guru, Maharani kembali duduk di tempatnya. Tatapannya langsung tertuju ke arah Arman. Ia melihat Arman memberi kode, menyuruhnya memeriksa kolong meja. Dengan penasaran, tangannya merogoh ke bawah, memastikan apa yang dimaksud oleh Arman.
Senyum merekah di wajah Maharani. Ia merasa senang saat melihat Arman membelikannya makanan. Kini, ia bisa menikmati makanan yang layak, tanpa harus bertahan dengan makanan yang sudah basi. Meski begitu, ia harus menahan diri untuk tidak memakannya segera, karena guru masih memberikan penjelasan di depan kelas.
Beberapa jam berikutnya, pelajaran kosong karena para guru sedang menghadiri rapat. Maharani, yang duduk sambil menyandarkan tubuhnya, tiba-tiba didatangi oleh Arman.
"Memangnya kamu ke mana saja sampai selama ini?"
"Tadi aku hanya berdiam diri di kamar mandi. Waktu itu, aku tak bisa melakukan apa-apa karena tiba-tiba perutku sangat sakit."
"Itu pasti karena kamu terlalu sering makan makanan yang sudah basi. Lain kali, biar aku yang membelikan apa pun yang kamu mau. Jangan ragu untuk memintanya padaku, tak perlu merasa sungkan."
Maharani menggenggam tangan Arman. "Rasanya tidak enak jika selalu hanya kamu yang memberiku banyak hal. Apa untungnya bagimu kalau aku baik-baik saja?"
Pintu kelas terbuka. Basuki masuk sambil membawa beberapa kertas untuk ulangan. Matanya sejenak tertuju pada Maharani dan Arman yang sedang bergandengan tangan. Hanya dalam beberapa detik, ia berusaha bertindak seolah tidak ada yang terjadi. Ia duduk di kursinya dan mulai memilah-milah kertas.
Sementara itu, Arman segera bergegas kembali ke tempat duduknya, mempersiapkan alat tulis untuk mengerjakan ulangan dadakan yang akan dimulai.
Basuki berdiri dengan tatapan yang kurang ramah. "Sekarang akan ada ulangan dadakan. Maaf sebelumnya saya tidak bisa hadir, tapi urusan saya sudah selesai. Rapat sudah berjalan dengan baik, dan kini kalian bisa memulai ujiannya. Dengarkan pertanyaan saya dengan seksama, lalu tuliskan jawabannya di kertas masing-masing."
Ulangan berjalan lancar. Seluruh murid mengerjakannya, meskipun mungkin ada beberapa yang mencontek. Basuki memeriksa beberapa jawaban dan menemukan banyak yang sama. Tapi begitulah anak-anak. Sulit membiasakan mereka untuk jujur.
Pelajaran berlangsung hingga akhir. Setelah lonceng berbunyi, Basuki meninggalkan ruangan. Banyak murid berhamburan keluar tanpa aturan. Namun, berbeda dengan Arman, dia tetap menunggu Maharani.
Kelas kini tinggal menyisakan mereka berdua. Arman berusaha mendekati Maharani yang masih duduk terdiam.
"Apa kamu memutuskan untuk tetap duduk di sini?"
"Tidak. Hanya sebentar, sebelum akhirnya aku pulang. Suasananya akan lebih menyenangkan kalau aku pulang ketika lingkungan tidak terlalu ramai."
"Baiklah. Tapi bagaimana kalau kita berjalan-jalan sebentar?"
"Ke mana kamu ingin pergi?"
"Ikut saja denganku."
Mereka meninggalkan kelas ketika halaman depan sudah sepi, hanya menyisakan sedikit murid dan orangtua. Tidak ada tujuan pasti dalam langkah mereka, hanya keinginan untuk menjelajahi beberapa tempat, seperti taman.
Saat itu, mereka menuju ke taman pusat kota, yang dipenuhi oleh anak-anak yang sedang bermain. Beberapa berlarian, mungkin sebaya dengan Arman dan Maharani. Ada juga yang bermain layangan. Langit yang masih biru segar dipenuhi oleh layangan-layangan yang sangat kreatif. Namun, yang menarik, layangan-layangan itu bukan diterbangkan oleh anak-anak, melainkan oleh bapak-bapak yang hampir berusia setengah abad. Mereka tampak sangat girang, terampil menerbangkan layangan dengan lihai.